“KONFLIK SEBAGAI BENTUK KEGAGALAN SBY”
*Yoyarib Mau
Indonesia sejak berdiri sebagai negara tidak melepaskan diri dari konflik sosial baik itu konflik horisontal maupun vertikal, konflik horisontal terjadi diantara masyarakat sedangkan konflik vertikal terjadi antara negara (aparat pemerintah) dengan masyarakat atau rakyatnya sendiri.
Konflik vertikal terjadi akibat kesenjangan yang terjadi antara pusat dan daerah sehingga muncul ide untuk memisahkan diri, kesenjangan ekonomi, sosial dan politik membuat rakyat di daerah menuntut untuk di perlakukan adil namun respon itu tidak di tanggapi sehingga membentuk diri melalui isu serta mengorganisir diri melalui organisasi guna membangun kekutan dan basis masa yang kuat.
Organisasi-organisasi yang dalam sejarah berkonflik dengan negara antara lain seperti; RMS (Republik Maluku Selatan), DI/TII Karto Suwiryo di Jawa Barat, DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, DI/TII Daud Beureuh di Aceh, Gerakan Permesta di Sulawesi Utara dan Tengah semua ini terjadi pada masa Orde Baru, selain perjuangan kelompok atau sekelompok rakyat atau sering dibahasakan dengan sebutan separatis seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua Merdeka), selain itu ada konflik yang merupakan pelanggran HAM (Hak Azasi Manusia) oleh negara seperti kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari di Lampung, kasus Kedung Ombo, dan kasus 27 Juli di Jalan Diponegoro - Jakarta.
Selain konflik-konflik dimana negara berperan karena negara terlibat bahkan bagian dari konflik tersebut, ada juga konflik yang merupakan konflik karena kegagalan negara sehingga terjadi konflik antar masyarakat sendiri seperti konflik yang dibangun dengan sentiment agama di Ambon, Ternate dan Poso, konflik karena sentiment suku seperti yang terjadi di Kalimantan Barat antara Dayak dan Madura. Dan terakhir konflik di Tarakan antara Dayak dan Bugis-Makasar. Bahkan konflik antar organisasi kepemudaan di Tanah Kusir antara Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rembug (FBR), bentrok antara kelompok pemuda di Jalan Ampera.
Konflik juga terjadi antar ormas yang mengatasnamakan agama seperti FPI (Front Pembela Islam) yang melakukan kekerasan terhadap umat beragama tertentu yang akan menjalankan ibadah seperti yang terjadi atas Jemaat HKBP – Pondok Indah Timur – Bekasi, GKI Yasmin di Bogor dan pembakaran tempat Ibadah Jama’ah Ahmadiah di Bogor dan NTB, Konflik juga terjadi pada arena politik dalam era otonomi daerah dimana konflik antar pendukung kepala daerah dalam PILKADA Gubernur (Pemilihan Kepala Daerah) yang pernah terjadi berlarut-larut di Maluku Utara antara Kubu Abdul Gafur – Abdul Rachim Fabanyo Vs Kubu Thaib Armain – Abdul Gani Kasuba, Konflik di Sumatra Utara dimana terjadi pemukulan terhadap Ketua DPRD SUMUT hingga meninggal dunia akibat permintaan pembentukan Propinsi Tapanuli.
Konflik – konflik yang terjadi sepanjang masa ini merupakan akumulasi dari persoalan-persoalan negara yang belum terselesaikan atau terabaikan sehingga muncul ke permukaan sebagai bentuk depresi sosial dari masyarakat, kondisi ini menghadirkan pertanyaan, dimanakah peran negara untuk mengatasi persoalan serta mengakomodasi kepentingan tiap kelompok sehingga tidak terjadinya konflik ?
Kedamaian merupakan dambaan dari tujuan nasional bangsa Indonesia yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur atau yang dikenal dengan sebutan ”summum bonum” atau kebaikan umum. Namun kondisi manusia yang mengalami pergeseran dari natur semula yang adalah makluk sosial bergeser menjadi makhluk yang saling memangsa antar sesamanya (homo homini lupus) sebagai sikap reflektif akibat tidak mendapatkan atau tidak terpenuhinya kebutuhan primernya menyebabkan dirinya berkonflik atau melakukan perlawanan.
George C. Homans menuliskan bahwa, ”dalam kondisi tidak alamiah, seperti hewan laborotorium yang lapar namun tidak terlatih, contohnya burung merpati, akan mengekplorasi kandangnya dan cepat atau lambat akan mematuki sebuah kunci yang sudah di letakan psikolog di dalam kandang, agar ketika si hewan mematuk kunci dengan benar, pelet makanan diberikan padanya” (Anthony Gidens dan Jonathan Turner – Social Teory Today – 2008).
Gambaran yang dianalogikan oleh George C. Homans menunjukan bahwa konflik terjadi jika tidak terpenuhinya kebutuhan hakiki dari manusia itu sendiri akibat tidak terpenuhinya kebutuhan hidupnya dia akan berespon dengan aksi-reaksinya dengan satu tujuan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tidak perduli dengan pola apa yang akan di pakai untuk mendpatkannya namun hanya dengan tujuan kebutuhannya dapat terpenuhi.
Akiabt reaksi manusia yang responsif tersebut tidak mengenal ini milik siapa ? karena baginya hanya satu tujuan terpenuhinya kebutuhan, kondisi mengibaratkan manusia sebagai mangsa bagi manusia lain, perilaku ini menghadirkan hukum alam siapa yang kuat dialah yang akan menang.
Akiabt dari perilaku manusia ini maka Thomas Hobbes menyatakan bahwa, manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes), keadaan inilah membuat manusia untuk saling berperang dan membunuh untuk mempertahankan hidup dan kondisi ini menyebabkan manusia berpikir untuk menghindarkan diri dari kematian yang mengancam bahkan membuat manusia hidup tidak tentram sehingga Menurut Hobbes nalar manusia mendorong orang untuk hidup damai.
Hidup damai merupakan ”kebutuhan bersama” yang mengatur akan kehidupan manusia sehingga Hobbes berargumentasi bahwa, terbentuknya sebuah negara atau kedaulatan pada hakikatnya sebuah kontrak atau perjanjian sosial, dalam istilah Hobbes, Covenant. Dalam perjanjian itu manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada seorang penguasa negara atau semacam dewan rakyat Ahmad Suhelmi – Pemikiran Politik Barat – 2007).
Dengan demikian untuk mengatur kehidupan manusia maka tanggung jawab telah di serahkan kepada negara. Kekuasaan ada pada negara untuk mengatur keterpenuhan hak atau kebutuhan dari masyarakat. Pertikaian dalam masyarakat terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhannya isu-isu yang memicu pertikaian yakni (Demokrasi di tingkat Lokal – International Institute For Democracy And Electoral Asistance - 2002 :
Kebijakan transportasi : Metode pemerintah untuk menghubungkan antar kelompok masyarakat atau antara masyarakat dan pusat-pusat bisnis.
Peluang mendapatkan pekerjaan, dan persamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan berbagai pekerjaan dan berbagai tunjangan.
Perumahan, akses kepemilikan lahan, bea sewa rumah yang terjangkau dan kualitas proyek publik bagi kelompok - kelompok ekonomi yang tidak beruntung
Kebijakan pemakaian bahasa, terutama disekolah-sekolah negeri dan forum-forum publik resmi, misalnya pada sidang dewan kota dan pertemuan-pertemuan terbuka untuk mengambil keputusan
Pelayanan ketertiban yang tidak diskriminatif atas dasar kelompok etnies,ras, atau agama, dan masalah keamanan di wilayah rawan kejahatan
Praktik pelaksanaan ibadah, dan dukungan atau kekangan publik terhadap suatu kepercayaan agama tertentu, terutama apabila nilai-nilai yang terkandung dari agama tersebut membentuk basis hukum atau undang-undang yang berdampak pad penganut agama lain dan,
Ekspresi Budaya, misalnya pengaturan tata cara sekelompok masyarakat dapat merayakan tradisi budayanya, terutama pad situasi-situasi ketika ekspresi kecintaan atau rasa bangga pada kelompok itu bisa menyinggung kelompok yang lain.
Isu-isu di atas tidak semuanya menjadi penyebab yang mengakibatkan konflik di Indonesia namun ada hal-hal yang disebutkan di atas menjadi persoalan yang sering menyulut terjadinya konflik, konflik-konflik ini tak dapat dipisahkan atau tak terhindarkan dari diri manusia, sehingga keberadaan negara di harapkan kehadirannya atau dibentuk dengan tujuan menjamin masyarakat untuk dapat hidup aman dan damai.
Untuk dapat memberikan jaminan kemanan dan ketentraman dari masyarakat maka tugas negara sanagat di harapkan untuk mensiptakan kondisi aman, kondisi aman merupakan kebutuhan publik maka dengan itu kemanan merupakan kebutuhan kebijakan publik, kebijakan publik merupakan bagian dari administrasi publik keberadaanya sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan publik dengan memanfaatkan kelompok pegawai negeri sipil (civil servant) yang tugasnya melaksanakan perintah dari orang-orang yang dipilih oleh rakyat (Wayne Parson – Public Policy – 2008).
Kebijakan Publik merupakan hasil keputusan atau kebijakan pemimpin yang di pilih oleh rakyat, kondisi Indonesia yang menganut sistem pemerintahan Presidensial, maka Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat bertanggung jawab atas semua konflik yang terjadi di tanah air karena kebijakan pemerintah dalam hal ini President yang lemah atau gagal memanfaatkan birokrasi yang ada.
Penentu kebijakan merupakan ”agent moral” dimana setiap kebijaknnya harus mengandung kadar kandungan moral, sehingga perilaku penentu kebijakan dalam hal ini Presiden harus mampu merefleksikan moral dalam kebijakannya sehingga mencerminkan pemimpin yang bijak. Penekanan sebagai agen moral karena hal ini akan berdampak pada setiap kebijakannya setiap kebijakan akan berdampak positif dan negatif berdasarkan penilaian moral.
Melihat Fenomena kekacauan saat ini menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa gagalnya negara mengakibatkan konflik hal ini sesuai dengan pendapat ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahmud MD yang berpendapat bahwa aksi kekerasan akhir-akhir ini terjadi karena negara tidak hadir (Kompas 4/10/10), negara dalam hal ini kepemimpinan nasional, karena kepemimpinan yang egoistis yang menurut Alois Agus Nugroho, ”kepemimpinan yang menjadikan dirinya moral patient tunggal dari seluruh kiprah organisasi. Organisasi dan kekuasaan tidak ditujukan pada kebaikan bersama atau kepentingan umum melainkan diabadikan bagi kepentingan diri sang penguasa” (Keadilan Sosial – Kompas – 2004).
Kepentingan diri sang penguasa saat ini jelas terlihat, anak presiden dan keluarga yang mendapatkan kemudahan untuk melakukan pembagian souvenir tentang publikasi diri mereka melalui tulisan buku yang melukiskan kepemimpinan positif sang Presiden yang dibagikan secara gratis dalam acara kenegaraan pada perayaan hari kemerdekan 17 Agustus 2010, sedangkan ketika seorang anggota TNI-AU Adjie Suradjie mengkritik kepemimpinan minus sang Presiden dirinya mengalami disiplin hanya karena pertimbangan etika keprajuritan.
Kepentingan diri sang penguasa tidak hanya terbatas pada lingkaran keluarga tetapi berdampak pada lingkran organisasi pendukung seperti pada periode sebelumnya untuk mengamankan majunya sang Presiden dalam periode berikut maka ketua Partai Demokrat sebelumnya dipimpin oleh Hadi Utomo yang merupakan Ipar sang President, dan kemudian dalam kepengurusan Partai Demokrat kepemimpinan Anas Urbaningrum lingkaran kekusaan istana pun sebagai faktor penentu dimana Sekertaris Jenderal dikondisikan untuk kepentingan sang penguasa yakni di jabati oleh Edhie Baskoro (Ibas) putra bungsu sang Presiden.
Kebijakan lain yang terasa tidak memenuhi kebaikan bersama masyarakat, menyangkut pemberian remisi bagi nara pidana yang diberikan bagi Aulia Pohan yang merupakan ”besan” dari sang Presiden, pada kampanye untuk maju sebagai Presiden, sang kepala negara berkomitment untuk membasmi para koruptor, namun kebijakan atau keputusannya tidak sejalan dengan kebijakan afirmatif bagi kepentigan ego sang penguasa.
Kasus bank century yang merugikan uang rakyat senilai 6,7 triliun, hingga bergulir dengan isu ”impeachment” terhadap sang Presiden oleh legislatife, namun kondisi ini diredam dengan kompromistis yakni dibentuknya partai koalisi yang mendukung pemerintah secara permanent dengan membentuk SEKBER (Sekretariat Bersama) mematikan proses hukum dari kasus bank century, bahkan kehadiran SEKBER sebagai kekuatan sang presiden untuk menyepakati setiap kebijakannya, akhirnya menghilangkan peran DPR sebagai wakil rakyat dan lebih sebagai wakil partai politik. Peran SEKBER sebagai penulis sekaligus aransemen lagu paduan suara dan peran DPR hanya sebagai Paduan Suara yang hanya menyanyikan sesuai teks yang ada, seperti sebagian lirik lagu dari Iwan Fals.
Kebijakan lain yang terlihat pemaksaan yakni penentuan Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), posisi ini sepertinya merupakan jabatan karena pertimbangan keluarga dekat sang Presiden diman Pramono Edhie adalah adik kandung dari istri sang Presiden. Sebelumnya juga hadir kepermukaan tentang nama kandidat pengganti Kapolri yang akan diajukan adalah Inspektur Imam Sudjarwo yang adalah besan Aulia Pohan, kan tetapi respon masyarakat yang begitu kuat terutama tercipta resistensi di petinggi polri mengakibatkan sang Presiden membatalkan nama tersebut sehinggga nama Timur Pradopo yang diajukan sebagai pengalihan isu bahwa kekuasaan di kuasai keluarga istana.
Realitas ini merupakan salah satu faktor frustasi sosial dalam kehidupan masyarakat karena kekuasaan dimana peran negara, yakni kebijakan yang diharapkan mampu menjamin kepentingan umum tidak terpenuhi yang kelihatan adalah menjamin kepentingan segelintir orang di lingkaran penguasa. Negara sepertinya tidak hadir untuk kepentingan umum atau kebutuhan bersama, negara sepertinya hadir untuk kepentingan penguasa saja. Kondisi ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada negara, serta ketidakadilan yang merata bagi semua pihak sehingga masyarakat memilih menyelesaikan persoalan dengan cara sendiri.
Negara di bentuk dengan kesepakatan bersama untuk menjamin terpenuhinya rasa keadilan serta pemenuhan kebutuhan oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, namun hal ini tidak lagi terpenuhi maka mereka memilih kembali kepada perilaku alami, yakni saling memangsa untuk menundukan lawan guna mendapatkan pemenuhan kebutuhannya. Bentuk reaksi ini sebagai pengingatan dimana ketika dirinya lapar maka rakyat akan bereaksi dengan mematuk (baca : konflik) apa yang ada di sekitarnya dengan tujuan negara bergerak untuk memberikan pelet (baca : pemenuhan kebutuhan) kepada rakyat.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
demokrasi kan biasa mas kalaw ada konflik karena kalaw gk da konflik ya bukan demokrasi namanya
BalasHapus