Selasa, 12 Oktober 2010

“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA ”

“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA ”
*Yoyarib Mau


Adil dan Beradab adalah dua suku kata yang masing-masing memiliki makna tersendiri, adil menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berimbang, tidak berat sebelah, tetapi juga memiliki arti berpihak pada yang benar. Sedangkan kata beradab lebih diartikan bagaimana seseorang mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan dan pada pengertian lain lebih pada majunya sebuah kehidupan atau tingkat kehidupan.

Pengertian dua kata ini memiliki makna ganda seperti adil pada kondisi tertentu diharapkan berlaku adil dimana berimbang tidak berat sebelah tetapi juga menekankan akan keberpihakan pada yang benar. Demikian juga dengan kata beradab juga memiliki pengertian ganda yakni harapan akan perilaku yang baik tetapi juga merujuk pada sebuah tingkat kehidupan.

Adil dan beradab menjadi bermakna apabila di lekatkan pada sebuah identitas yang menyangkut sebuah asas kehidupan yang berlaku mutlak bagi semua manusia. Sehingga kedua kata ini menjadi dua padanan kata yang bermakna ketika di lekatkan dengan asas tersebut seperti ungkapan, ”kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Ungkapan ini merupakan sebuah makna filosofis karena asas kemanusiaan menyangkut sesuatu nilai (values), cara pandang, yang terpatri dalam diri setiap insan manusia bahwa manusia itu adalah ciptaan yang berakal budi, makhluk yang memiliki kekhusuan atau keunggulan dari makhluk atau ciptaan lainnya.

Keunggulan yang dimiliki manusia inilah yang membuat manusia itu bermartabat karena keunggulan dan kekhususan. Keberadan Manusia yang memiliki keunggulan membuat manusia menjadi manusia bebas, tanpa tekanan tanpa ada pembatasan menyebabkan manusia manusia bersaing secara bebas untuk mempertahankan diri, hidup mengikuti naluri kebebasannya, sehingga menghasilkan pemikiran siapa yang kuat ia yang akan menang, sebaagaimana kehidupan rimba berlaku hukum rimba siapa yang kuat ia akan memangsa yang lemah. Kondisi ini menyebabkan manusia bertanya, siapakah yang berperan untuk menyatukan dua arus nafsu yang bertolak belakang tersebut ?

Kenyataan ini merupakan realitas yang mendorong munculnya konsep yang di tuliskan oleh Thomas Hobbes, dimana dirinya mampu membangun “sebuah psikologi politik yang mengajukan sebuah pandangan tentang manusia yang digerakan oleh gariah-gairah dan nafsu-nafsu untuk menciptakan, namun meskipun terdapat gairah-gairah yang mendorong kita masuk ke dalam konflik juga terdapat gairah-gairah yang membuat kita condong menuju kedamaian karena takut akan kematian” (Joseph Losco & Leonard Williams – Rajawali Pers – 2005) .

Naluri kebebasan ini membuat manusia bersikap ingin menguasai akan komunitas, kelompok ataupun individu tertentu, kondisi inilah menghadirkan ketidak percayaan antara manusia, semua hidup didalam kewaspaadaan dan menunggu waktu untuk saling memaksa. ketidakadilan dan membuat nilai manusia itu rendah, manusia hanya bernilai jika ia memiliki kekuatan.

Dalam kebebasan manusia ada dua unsur yang saling tarik menarik seperti dua kutub magnet utara – selatan atau aliran listrik positik – negatif, ada nafsu yang menggebu untuk menguasai orang lain tetapi juga ada kemauan untuk melakukan kebaikan karena suatu waktu di perhadapkan pada suatu kondisi yang lemah di mana pasti ada kelompok yang dulu lemah menjadi kuat akan melakukan pembalasan dan ini akan tak akan berakhir tetapi akan terus berputar seperti roda pedati.

Kondisi liar ini membuat Hobbes menelurkan sebuah kesimpulan bahwa manusia perlu bersatu di bawah sebuh ”kontrak keselamatan dan penjagaan bersama”. Kontrak keselamatan inilah yang menjadi awal atau cikal-bakal terbentuknya negara-bangsa dengan pemerintahan yang didaulat untuk mengatur kehidupan bersama, Karena masyarakat mau menyerahkan seluruh hak dan kewenangannya kepada lembaga masyarakat dan kepada lembaga tersbutlah mereka mau tunduk.

Indonesia merupakan sebuah negara – bangsa berdasarkan kontrak kesepakatan, kontrak kesepakatan ini bertujuan untuk menghimpun semua masyarakat dalam aturan-aturan bahkan pandangan hidup yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan. Pemerintahan di harapkan dalam menjalankan fungsinya menciptakan kebaikan bagi semua pihak namun kondisi ini terkadang tidak berimbang, kebaikan itu hanya berpihak bagi mereka yang mengendalikan kekuasaan, yang memiliki uang untuk bisa membeli kekuasaan.

Kontrak kesepakatan yang disepakati untuk menciptakan kebaikan bagi semua pihak tidaklah terwujud sebagaimana para penguasa yang menikmati uang rakyat sehingga para penguasa menjadi tetap kaya sedangkan yang miskin tetap miskin. Padahal tujuan di bentuknya negara adalah untuk menciptakan kebaikan bersama namun pada kenyataanya kebaikan (kesejahteraan) hanya di nikmati oleh mereka yang berada di kota tetapi di desa tetap hidup dalam kemiskinan kondisi ini sepertinya tidak menciptakan kebaikan bersama tetapi menambah perlawanan kutub magnet antara kota dan desa menegang dan meningkat.

Mereka yang di daulat untuk menciptkan kehidupan bersama malah mencederai hak rakyat dengan mengambil hak rakyat bahkan di perlakukan khusus oleh negara seperti yang dilakukan Mantan Kepala Bulog terlibat korupsi sebesar Rp. 20, 2 milyar kemudian di vonis 4 tahun namun karena kasasi maka bebas bersyarat. Abdulah Puteh Mantan Gubernur NAD terlibat korupsi Rp. 3.687 milyar di vonis 10 tahun penjara namun kemudian bebas bersyarat pada tahun 2009 padahal baru menjalani masa tahanan sebanyak 6 tahun . Syaukani HR yang adalah Mantan Bupati Kutai Kertanegara terlibat korupsi senilai Rp. 49,367 milyar di hukum 6 tahun sejak 2007 namun di bebaskan dengan mendapatkan grasi pada tahun 2010 dengan alasan sakit padahal masih dua tahun masa tahanannya. Aulia Pohan yang nota bene besanya SBY, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin dimana keempatnya adalah Mantan Deputi Gubernur Gubernur Bank Indonesia, mereka besekongkol melakukan korupsi berjamaah dalam pengucuran dana Rp.100 milyar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) di vonis masing-masing 3 tahun penjara pada tahun 2008, namun pada tahun 2010 mendapatkan grasi president (sumber : Kompas 04/10/2010).

Kondisi ini berbeda dengan rakyat kecil seperti; Nenek Minah yang melakukan pencurian 3 buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan di vonis hukuman percobaan selama 1 bulan 15 hari. Sedangkan Rusnoto, Juwono, Manisih dan Sri Suratmi melakukan pencurian satu karung plastik buah randu sisa panen hasil perkebunan di hukum 24 hari penjara. Basar Suyanto dan Kholil melakukan pencurian sebuah semangka di kebun Gaguk Prambudi di hukum 15 hari namun sebelum proses hukum sudah di hukum selama 2 bulan 10 hari. Aspuri yang mencuri sehelai kaus milik tetangganya di hukum 3 bulan 5 hari (sumber : Kompas 04/10/2010).

Jika di bandingkan dengan mereka yang dipercayakan untuk menjalankan negara keadilan itu tidak berpihak tidak berimbang nilai sebuah semangka harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman selama hampir 3 bulan, jika dibandingkan dengan mencuri uang rakyat sebesar Rp. 100.000. milyar hanya 3 tahun apabila harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman 3 bulan sedangkan Rp. 100.000 milyar mendapatkan hukuam 3 tahun itupun mendapatkan keringanan.

Hukum yang dijalankan harus memenuhi syarat kemanusiaan yang adil dan beradab apakah sudah sesuai jika makna ”adil” itu adalah berimbang, tidak berat sebelah, dan berpihak kepada kebenaran apakah ini sesuai jika Rp. 10.000 : 3 bulan penjara, sedangkan Rp 100. 000 milyar : 3 tahun. apakah hal ini memenuhi unsur keadilan ? atau karena pertimbangan pemerintah yang di percayakan untuk menjalankan negara ini memakai pertimbangan ”beradab” dalam pengertian karena memiliki bahasa yang sopan santun serta memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik, berpendidikan tinggi, menikmati fasilitas yang memadai ? sedangkan Nenek Minah yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, yang kemungkinan sehari bisa makan hanya 1 (satu) kali makan, hanya bisa berbahasa Jawa, hanya tamat Sekolah Dasar dengan tingkat ekonomi yang sangat memprihatinkan.

Seandainya kemanusian yang adil dan beradab adalah sebuah sebuah filosofis atau cara pandang negara untuk menyatukan atau menjembatani kehidupan, ibarat arus magnet yang berlawanan diantara rakyat maka sejatinya penegakan hukum harus di lakukan berimbang dan tidak mencederai rasa keadilan, keadaan ini terwujud maka manusia ini akan kembali kepada kehidupan siapa yang kuat siapa yang kaya siapa yang memiliki kekuasaan maka dialah yang berkuasa dan layak hidup. Ketika hal ini di biarkan terus berlarut maka negara yang di daulat dalam kontrak sosial untuk mewujudkan kehidupan manusia untuk dapat hidup bersama telah gagal.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI – NPM : 0806383314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar