“STANDAR GANDA HUKUM BAGI PEJABAT INDONESIA”
*Yoyarib Mau
Perwujudan hukum yang dijalankan di Indonesia dalam implementasinya berlaku standar ganda, karena ada pembedaan dalam menjalankan menjalani proses hukum, sejak dari Polisi, kejaksaan dan hingga jatuhnya putusan pengadilan. Sepertinya hukum di mana keadilan hanya ditafsirkan bagi mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan, yang memiliki uang untuk bisa memberikan tips atau komisi bagi aparat penegak hukum seperti yang dialami oleh Artalita yang terlibat suap terhadap Jaksa Urip dalam kasus BLBI, dapat menikmati ruang penjara seperti suasana apartement atau hotel dengan mendapatkan fasilitas yang memadai dan juga mendapatkan ijin keluar dengan pengawalan aparat di penjara wanita Pondok Bambu.
Ironis jika hal ini dibandingkan dengan masyarakat yang miskin dan tidak mampu memberikan komisi bagi para penegak hukum maka akan mengalami proses yang berbelit-belit, mengalami perlakuan kasar bahkan penyiksaan dan sudah tentu harus mendekam di penjara karena tidak dapat membayar para pengacara untuk membela atau melakukan pendampingan hukum terhadap dirinya. Hukum dalam konteks Indonesia saat ini sebagai segmen pasar bisnis dimana sebagai peluang bisnis baru, seorang pengacara tidak lagi berperan sebagai pembela perkara dengan profesinya sebagai pengacara tetapi berperan sebagai “broker” kasus antara klien yang di dampingi dan jaksa dan hakim yang akan memutuskan perkara terdakwanya seperti kasus perkara DL Sitorus dimana pengacaranya tertangkap tangan hendak menyerahkan sejumlah uang bagi Jaksa di bilangan Cempaka Putih.
Polisi dalam kasus ini dapat berperan sebagai penegak hukum awal yang berperan untuk memproses dan menetapkan seseorang dijadikan tersangka atau melanggar hukum, karena kasus ini bisa saja didiamkan serta berkas pemeriksaan tidak diajukan ke kejaksaan dengan alasan kurang bukti, jika orang miskin atau tidak memiliki uang maka disarankan untuk berdamai saja, padahal rakyat butuh kepastian hukum.
Permasalahan hukum dimana rakyat berusaha untuk mencari keadilan namun yang diperoleh bukanlah keadilan yang berperikemanusiaan tetapi berkeadilan bagi mereka yang sanggup membayar, sehingga timbul pertanyaan apakah hukum di Indonesia telah memenuhi asas kemanusiaan yang adil dan beradab atau proses hukum hanya sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan demokrasi ?
Salah satu sendi yang mencerminkan terwujudnya proses demokrasi di Indonesia adalah ”supremasi hukum” atau penegakan hukum, hukum sebagai alat operasional negara untuk menjalankan pemerintahan sehingga tercipta keseimbangan kehidupan, namun juga hukum ada untuk menghukum atau menjerat mereka yang melanggar.
Hukum hadir sebagai rambu-rambu yang harus di taati, jika tanpa hukum maka liarlah bangsa ini. hukum berlaku mutlak dan menyeluruh bagi setiap warga negara tanpa adapengecualiaan. Pancasila dalam sila yang kedua menyatakan bahwa “kemanusiaan yang adil dan beradab” adil dapat diartikan adanya kesimbangan atau kesetaraan di mata hukum.
Aspek hukum dalam penerapannya harus mempertimbangkan kemanusiaan yang adil dan beradab, adil tidak ada pembedaan dalam proses hukumnya, tidak ada perlakuan istimewa, seperti ada mantan pejabat atau pejabat yang menjalani hukuman putusan hukuman dapat dinegosasikan apabila koruptor yang mampu memberikan alasan dan berlaku alim saat dipenjara menjadi manusia soleh atau agamais dengan mudah mendaptkan keringanan hukuman berupa grasi, abolisi dan bebas bersyarat lainnya.
Tempat menjalani hukuman pun dapat dilobi dengan alasan atau pertimbangan tertentu sehingga dapat djalani beberapa tempat yang sebenarnya bukan Lapas seperti di Markos Komando Brimob, apabila yang terpidana adalah mantan Polisi atau seorang Jenderal maka sudah tentu akan mendapatkan perlakuan khusus, atau apabila seorang pejabat yang di penjara jika mampu membayar di peetugas Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) maka akan mendapatkan kamar khusus dengan sejumlah fasilitas.
Sedangkan bagi rakyat biasa yang setiap hari membayar pajak kepada pemerintah dan dengan pajak tersebut gaji para aparat penegak hukum dibayar. Tetapi apabila melanggar hukum dan menjalani proses tersebut melalui proses penyiksaan sejak dari kepolisian sudah mengalami berbagai penyiksaan oleh aparat penegak hukum sebagai upaya untuk mempercepat proses BAP (Berita Acara Perkara).
Masyarakat langsung didakwa dengan sejumlah pasal tanpa ada pendampingan hukum dari para pengacara, pengakuan bersalah di akui melalui berbagai tekanan dan tindak kekerasan, padahal besar kerugian yang dilakukan tidak sebanding dengan kerugian yang dilakkukan para pejabat, seorang Nenek yang hanya mencuri 5 piring di rumah majikannya harus ditahan dan menerima ancaman 5 tahun penjara. Apabila keadilan diibaratkan dengan timbangan maka hukum yang diharapkan memberikan rasa keadilan tidak akan terwujud karena jika 5 tahun penjara di bandingkan dengan 5 piring maka timbangan keadilan yang ditawarkan hukum akan berat sebelah.
Hukum akan menjadi terbalik bagi mereka yang melakukan pelanggran dalam hal ini mencuri uang rakyat dengan tersangkut korupsi uang rakyat dengan segala argument hukumnya membuat proses hukum diulur-ulur seperti apa yang di lakukan Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihsa Mahendra melakukan “judicial review” sehingga dirinya juga belum ditahan. Demikian juga yang dilakukan oleh Anggota DPR dari PDIP yakni Panda Nababan yang diduga sebagai “broker” antara 16 Angggota DPR lainya yang di dakwa menerima untuk memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur BI.
Panda Nababan berpendapat bahwa hal itu wajar jika yang mengundang untuk pertemuan dengan para anggota DPR, pengundang harus bertanggung jawab atas operasional para undangan, sehingga terkuak bahwa setiap pejabat publik yang ingin mengkikuti pemilihan pejabat lembaga negara seperti BPK, Pemilihan Deputi Bank Indonesia, Pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang pemilihannya dilakukan oleh anggota DPR dibenarkan bahwa melalui proses lobi karena menyangkut kepentingan politi.
Padahal hal ini sudah dikategorikan sebagai pelanggran karena menerima gratifikasi namun tidak di sentuh oleh hukum, tetapi jika di bandingkan dengan rakyat kecil karena alaan kebutuhan mendesak dan melakukan pencurian karena dengan alasan lapar harus menjalani hukuman.
Padahal jumlah yang diambil tidak langsung mematikan atau membunuh sang empunya, tetapi yang diambil atau dikorupsi oleh pejabat yang bermiliaran rupiah dapat membunuh sejuta anak yang tidak dapat makan dan menikmati susu karena uang negara yang haursnya di nikmati oleh rakyat hanya di nikmati oleh para pejabat.
Sehingga dimanakah hukum yang seyogianya menitik beratkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, kemanusiaan berarti hukum itu memanusiakan manusia sehingga proses hukuman harus sesuai procedural yang berlaku, adil berarti hukuman harus setimpal dan senilai dengan angka yang dilakukan bukan pada pertimbangan jabatan atau kelas sosal karena akan menodai asas keadilan hukum yakni semua sama di mata hukum.
Hukum yang beradab bukan pada penafsiran akan konteks peradaban yakni kehidupan primitif dan modern seperti pejabat yang mengerti hukum dan berargument hukum jika dibandingkan dengan rakyat yang hanya bisa menerima hukum dalam keterbataannya.
Beradab sejatinya menempatkan peradaban negara yang menjungjung tinggi negara hukum dalam sistem negara yang demokratis dengan menerapkan hukum itu bagi semua tanpa ada pengecualian.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar