Kamis, 19 November 2009

"AMBIGUITAS PELAKSANAAN DEMOKRASI DISAAT PILKADA"

AMBIGUITAS PELAKSANAAN DEMOKRASI DISAAT PILKADA
*Yoyarib Mau

Aksi demontrasi 19 Mei 2008 untuk memprotes keputusan KPUD NTT tentang penetapan tiga paket Cagub-Cawagub diwarnai dengan kekerasan, peristiwa ini mencoreng demokrasi yang sejatinya sebagai sebuah tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada diri demokrasi tidak ada kesalahan tetapi proses pelaksanaannya selalu mengalami distorsi yang menyebabkan kekaburan, ketidakjelasan, bahkan bermakna ganda. Kesalahan dapat saja dilakukan oleh para demonstran yang melakukan aksinya sebagai alat control terhadap para pengambil kebijakan (KPUD) atau juga oleh aparat kepolisian sebagai penegak ketertiban dan keamanan.
Demokrasi hadir untuk meniadakan kekerasan yang selama ini dipraktekan oleh Negara-Negara yang menerapkan sistim monarki, aristokrasi dan lainnya yang terkesan repressive terhadap hak asasi manusia dimana ketidakbenaran, kecurangan, penipuan harus di tentang.
Dengan melihat kondisi yang terjadi dalam aksi yang diduga dari kelompok pendukung salah satu Bakal Calon Gubenur tertentu, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan demokrasi baru melalui masa transisi sehingga pemahaman dari kelompok pendemo dan pihak polisi masih sangat terbatas sehingga perlu memperdalam pemahaman tentang demokrasi sehingga tidak menimbulkan kekerasan.

MANAJEMEN AKSI

Team sukses yang dibentuk oleh Bakal Calon atau Calon Gubernur yang bertarung dalam pilkada tidak hanya mampu memobilisasi massa tetapi harus mampu menata masa yang dihimpun namun proses penataan ini membutuhkan strategi yang tepat untuk mencapai kekuasaan sehingga ada profesional yang dapat mengarahkan pelaksanaan aksi, biasanya di sebut “teknokrat” juga dapat disebut ideologiwan yang memikirkan prnsip-prinsip, perencanaan aksi yang efisien dan productive sehingga aksi ini dapat diarahkan dengan baik dan tidak anarkis.
Seorang teknokrat mampu menyiapkan perangkat aksi dan membagi peran ada yang menyusun isu, meredam massa, bertugas sebagai intel untuk mengawasi para provokator atau penyusup yang memperkeruh suasana, instrumen-instrumen inilah yang sangat diperlukan dalam sebuah aksi sebagai fungsi control.
Proses Pilkada adalah sebuah ajang pembelajaran bagi rakyat mengenai riak-riak demokrasi, karena hampir seluruh rakyat berperan dan memberikan dukungannya. Demontrasi dalam era demokrasi ini perlu dilakkukan dengan baik dan benar sehingga memberikan dampak yang baik bagi kemajuan demokrasi saat ini, apabila tidak ditata dengan baik maka akin menjadi momok dan masyarakat menjadi kecewa dan mendambakan romantisme masa lalu.
Tidak hanya para demonstran yang perlu memperhatikan hal ini tetapi pihak-pihak lain yang turut memberikan pengawasan dalam aksi ini yakni aparat kepolisian. Karena mereka pun harus memberikan jaminan bagi kebebasan rakyat menyampaikan pendapatnya, padahal militer memiliki pancamarga dan sumpah prajurit yang mengakui dan menghormati HAM (Hak Azazi Manusia) dan hukum humaniter secara universal.

Jika dipelajari dan menjadi karakter diri aparat maka tidak memperlakukan para demonstran dengan kekerasan. Tetapi melakukan dengan penuh persuasive dan sensual sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dan mitra tetapi bukan menganggap para pendemo ini sebagai musuh yang harus di benci.

POLITIK ETIS
Ketika para demonstran yang mengalami penganiayaan saat berjuang untuk kandidat tertentu, dan sudah sepantasnya memberikan perhatiannya sebagai tangggung jawab morilnya dengan mendatangi para pendukungnya yang di tahan oleh aparat. Perilaku ini yang disebut sebagai “politik etis” atau “politik balas budi” bukan habis manis sepah dibuang.
Gaya politik ini harus di tiru oleh semua kandidat, bukan hanya memberikan biaya personal untuk melakukan aksi mendukung setelah itu menganggap telah selesai tanggung jawabnya tetapi sebaiknya memberikan perhatian penuh. Namun politik balas budi pun tidak harus membuat seseorang buta dan overlap, bahkan melakukan tindak kekerasan yang tidak semestinya dilakukan. Apabila ini terjadi maka akan menyebabkan kontra productive bahkan citra buruk bagi kandidat tersebut.
Politik balas budi sebaiknya di barengi dengan perilaku yang santun. Hal ini akan terkesan premature dan kelihatan belum siap untuk bertarung, kembali lagi ke alinea di atas bahwa team sukses juga harus mempunyai team yang khusus mendampingi kandidat dari hal psikologis sehingga tatkala emosi yang meledak dapat di redam oleh team psikologis dan mengarahkan kepada team hukum untuk melakukan tuntutan secara hukum guna menunjukan bahwa hukum di jungjung tinggi.
Mungkin kita harus berkaca pada pertarungan pemilihan calon president di internal Partai Demokrat di Amerika Serikat. Dimana demokrasi cukup mengalami kemajuan yang pesat, di saat Barack Obama di serang dan diledek oleh Hilary Clinton ia tidak memperdulikan ocehan tersebut tetapi Obama mengalihkan isu kampanye tentang kekerasan yang di timbulkan oleh perang. Demokrasi bukan hanya dapat di wujudkan oleh figure tetapi bagaimana team yang bekerja sesuai dengan potensi diri dan dari berbagai aspek perlu di sertakan sehingga tidak membuat demokrasi menjadi kabur.......
*Penulis : Anggota GMKI Cabang Jakarta
kannutuan@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar