Kamis, 19 November 2009

"TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT"

TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT
Oleh : Yoyarib Mau

Era Demokrasi semua warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dan berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada masa kolonial berbagai organisasi social atau terang-terangan menganut asas politik dalam jumlah yang cukup semuanya memainkan peranan dalam masa pergerakan national.

Sehingga pada pemilu 1955 partai politik yang menggikuti pemilu berkisar 29 partai, masuk dalam kekuasaan orde baru tahun 1973 dari sekian partai di kelompokan menjadi 3 (tiga) partai saja yakni PPP, GOLKAR dan PDI. Sejalan dengan lengsernya Soeharto dan berakhirnya masa orde baru salah satu tuntutan reformasi adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai.

Hal ini memberikan peluang bagi semua orang untuk mendirikan partai dengan berbagai alasan diantaranya; karena partai-partai besar atau tradisional yang ada telah mengalami kegagalan dalam membangun kesejahteraan terutama merubah social-ekonomi masyarakat, adapula yang ingin memperjuangkan ideologi tertentu, ada sebagian membentuk partai karena barisan sakit hati, adapula yang lebih ekstrim lagi yakni mencari keuntungan dan peluang kerja baru dikarenakan anggota legislative mendapatkan gaji dan sejumlah tunjangan tertentu.

Menjelang Pilkada di Provinsi NTT hadir fenomena dan polemik yang berkepanjangan dalam penentuan kandidat cagub-cawagub dalam pilkada NTT turut diwarnai oleh partai-partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 2004 ada yang langsung mencalonkan kandidatnya seperti PDIP dan Golkar akan tetapi ada yang harus melakukan koalisi yakni partai-partai politik yang memiliki minoritas kursi di legislative.

Penulis menyebut partai minoritas ini dengan sebutan Partai Kecil karena otomatis mereka tidak dapat mencalonkan kandidatnya secara langsung dan jalan satu-satunya hanyalah berkoalisi.
Inilah yang dilakukan sejumlah Partai Kecil di NTT yang berkoalisi menyambut Pilkada 2008 namun menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan sehingga penentuan kandidat yang akan diusung sangat sulit untuk ditentukan apakah karena konsolidasi antar partai yang mengalami kemandekan karena berbeda ideologi atau karena belum tergenapinya transaksi nilai yang diharapkan? Dengan demikian memberikan preseden buruk bagi partai-partai kecil,

GADIS-GADIS YANG BODOH

Perumpamaan tentang gadis-gadis yang bodoh dalam Injil Matius dapat menggambarkan bagaimana peran Partai Kecil dalam menghadapi pilkada Prov. NTT sebagai sebuah pesta. Seharusnya partai-partai ini melakukan mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melakukan survei atau dengar pendapat dari rakyat NTT sebagai basis pemilihnya sehingga ada kader atau figure yang layak dan dikenal oleh rakyat.

Realitas yang terjadi adalah pribadi atau figure yang memiliki keuangan yang kuat dapat mencetak poster atau kelender sebagai daya tarik atau mengiklankan diri terlebih dahulu, yang disebarkan ke pelosok-pelosok, di pajang dirumah-rumah rakyat kemudian lembaga survei melakukan penelitian dan menentukan bahwa figure inilah yang dikehendaki oleh rakyat indikatornya hanyalah sebuah kelender tahunan.

Fenomena ini membuktikan bahwa partai-partai kecil yang diharapkan sebagai kekuatan demokrasi atau penyeimbang bagi partai-partai besar atau traditional hanya sekedar pajangan. Partai-partai kecil ini telah mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan figure yang berpotensi dari kelas masyarakat bawah. Seharusnya partai-partai kecil memiliki militansi dan nilai jual (posisi tawar) dimata rakyat sebagai pemberi perubahan (agen of change), contoh kasus dalam Pilkada Sumatera Utara dan Jawa Barat PKS-PAN mencalonkan kadernya sendiri bahkan mereka berdomisili di luar Jawa Barat mampu mengalahkan incumbent dari partai-partai besar.dengan demikian Partai-Partai kecil diharapkan aktif menyelesaikan masalah, bukan menjelang hari pelaksanaan Pilkada barulah beramai-ramai mencari siapa yang mau dicalonkan.

CITRA PARTAI BERWAJAH DUA

Partai politik haruslah memiliki program kerja yang jelas yang dapat di lakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti keberpihakan terhadap rakyat, karena komitment awal partai di bentuk dengan harapan ingin memperbaiki sistem di Negara ini yang tidak baik menjadi lebih baik.

Kenyataannya proses pengkaderan dan pembinaan kader hanya dalam bentuk seremonial belaka yakni adanya Rapimda dan Musda di tingkat daerah, atau apapun namanya untuk pergantian atau memperpanjang kepengurusan guna lolos dalam verifikasi partai guna turut dalam pemilu.

Akan tetapi mengkhianati fungsi partai sebenarnya dengan melibatkan semua golongan untuk berpartisipasi guna menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.

Para stakeholder Partai-Partai kecil tidak mempersiapkan kader, sebab bagi mereka dengan membina hubungan emosional dengan keluarga dan kerabat saja dalam pemilu nanti, targetnya dapat memperoleh 1 atau 2 kursi di legislative sudah menjadi keuntungan bagi partainya karena figure yang berkeinginan untuk menjadi kandidat akan mendekatinya dan membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki pola yang sama sehingga terjadilah transaksi nilai.

Momentum Pilkada seharusnya di jadikan sebagai turbelensi politik dimana partai-partai kecil memanfaatkanya secara optimal menaikan citra partai untuk menarik simpati rakyat yang otomatis berpengaruh besar dalam Pemilu 2009. Namun Pilkada di coreng sebagai ajang “penjarahan” dan “pemerasan” dari pada aktor-aktor, akhirnya partai politik mengalami pergeseran makna tidak berjuang untuk memakmurkan rakyat namun sebaliknya berisi para penjarah dan pemeras dengan demikian Negara pun bersifat penjarah (predatory state) tidak salah apabila salah seorang kandidat dari partai tertentu mengatakan “maling jangan teriak maling”.

Penulis: Yoyarib Mau
Anggota GMKI Cabang Jakarta
Kannutuan@yahoo.com - (tulisan ini sudah di publikasikan di Media Lokal Timor Express)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar