Kamis, 19 November 2009

"Menakar Cagub dan Cawagub dalam Pilkada NTT"

MENAKAR CAGUB DAN CAWAGUB
DALAM PILKADA NTT*
Hajatan dan pesta demokrasi besar bagi provinsi NTT yakni dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Gubernur secara langsung, ini merupakan sejarah baru dan kali pertama rakyat memilih kebebasan yang longgar, terbuka, dan bahkan terkesan liberal dalam babakan baru, hal ini merupakan torehan amat penting bagi perjalanan provinsi NTT untuk keluar dari penyebab kemelut keterbelakangan (ekonomi) yang berkepanjangan. Kita semua harus jujur dan mengakui bahwa keterbelakangan ini terjadi dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena merosotnya political trust di kalangan elite dan hancurnya social trust di tingkat masyarakat.
Pesta ini dapat pula menggiring masyarakat untuk bereuforia yang berlebihan karena rakyat akan terlibat untuk memberikan dukungan bagi para calon dengan imbalan uang transport atau uang operasional yang dibagikan saat hadir dalam kampanye, namun yang menakutkan apabila sebagian rakyat yang antipati terhadap proses pilkada ini karena trauma dan mengganggab bahwa pemimpin boleh berganti tetapi keadaan tidak pernah beranjak ditambah dengan kekecewaan rakyat akan kader partai di legislatif yang korup bahkan para eksekutif yang hanya memperkaya diri dan keluargannya. Momentum ini membutuhkan komitment rakyat untuk berpartisipasi bersama untuk menakar dan meneropong Cagub dan Cawagub yang tepat guna membawa perubahan bagi masa depan provinsi NTT;
Dikotomi Orang Daerah dan Orang Pusat
Kebanyakan para kandidat menata karier politik dari birokrat (PNS) dan mencapai jenjang karier sebagai Bupati atau posisi strategis lainnya di Pemda, namun ada kandidat yang berasal dari pekerja sosial dan kemudian memilih untuk mengaktualisasikan diri lewat partai politik, ada yang berasal dari militer (Polisi) dan tidak ketinggalan juga para profesional yakni akademisi dan pengacara turut dalam pertarungan ini. Mereka yang menata karier di daerah sebagai birokrat dan kegiatan administratif pemerintahan daerah otomatis mereka lebih banyak berada di daerah dan memahami karakteristik budaya dan perilaku (behavioral) masyarakat penulis sebut saja sebagai Orang Daerah, sehingga terkadang mereka merasa bahwa merekalah yang layak untuk memimpin. Akan tetapi mereka yang memang berasal dari daerah tetapi karena pendidikan serta profesi mereka mengabdikan diri di Ibu Kota atau Kota Besar lainya yang kaya akan informasi-teknologi dan syarat dengan pemikiran global, konsep strategis dan sistematis yang matang karena pengamatan akan kemajuan di daerah lain mereka yang menghabiskan banyak waktunnya di kota besar penulis menyebut mereka sebagai Orang Pusat tidak menutup pintu bagi mereka untuk memajukan NTT.
Latar belakang para kandidat ini penulis sebut sebagai dikotomi orang daerah-orang pusat semua kandidat memiliki keunggulan namun secara mendasar dan faktual sudah terbentang kontradiksi diantara para kandidat terjadi faksi yang mendukung kandidat Orang Daerah yang berhak karena mereka yang membangun dan mengawal proses pembangunan di daerah tetapi faksi yang lain sebagai pendukung Orang Pusat merasa bahwa kandidat ini memiliki keterbebanan mereka untuk membangun daerah asalnya dan jaringan yang mereka jalin selama ini menjadi modal dan aset yang berharga untuk memberikan kontribusi berupa pemikiran dan investasi ke daerah asalnya karena NTT tidak hanya bergelut sebagai kota pegawai saja dimana peluang kerja hanya sebagai PNS akan tetapi dengan hadirnya investor ke daerah dapat membuka peluang kerja baru, komitment untuk memajukan dan mensejahterahkan masyarakat NTT merupakan kebaikan bersama (bonnum comune) dari semua pihak.

Polarisasi Etnik – Agama
Para kandidat terpolarisasi dengan memilih paketnya yang strategis untuk mencapai kemenangan dalam Pilkada ini, terlihat dari paket-paket yang ada yakni pola etnis (geografis) dan agama; pola etnis (geografis) maka akan terbentuk pola Flores-Timor (timor,rote,sabu) atau sebaliknya Timor (timor,rote,sabu)-Flores, Flores-Sumba dan bentuk lainya, jika pola agama maka akan terbentuk pola Katolik-Protestan atau Protestan-Katolik, penulis melihat pola ini terbentuk atas pertimbangan basis atau jumlah suara pemilih terbanyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada etnis lain atau agama lain di NTT yang memiliki figur atau kandidiat yang layak akan tetapi kecenderungan di NTT adalah pola-pola paket di atas hal ini berdasarkan pengamatan penulis pada Pilkada Walikota Kupang yang telah berlalu, pola ini yang dapat di eksploitasi dan dipolitisasi oleh Partai Politik untuk mencapai kekuasaan (moving) dengan demikian terciptalah fanatisme etnis dan agama peran partai politik hanyalah batu loncatan atau kendaraan politik yang dapat di sewa dengan sejumlah uang, para kandidat hanya menggunakan partai politik sebagai sarana dan bukan penentu sebab bagi mereka perimbangan geografis, etnis, dan agama lebih mendominasi dan kwalitas bukan sebagai penentu.
Peran tokoh agama dan adat sangat diharapkan untuk memiliki peran yang independent dan netral dengan memberikan pencerahan (insight) pemikiran bagi umat dan masyarakat guna memilih pemimpin yang memiliki kwalitas yang baik berdasarkan pertimbangan moral-etis dalam agama dan adat, mengapa demikian sebab apabila tokoh agama terlibat contohnya struktur hierarki yang dimiliki agama seperti Keuskupan (Katolik) atau Sinode (Protestant) terlibat dan memberikan arahan bagi umatnya maka semua akan mengikuti arahan tersebut. Seyogiannya peran tokoh agama dan tokoh adat membangun kesadaran warga dan umat agar tidak mudah terhasut oleh simbol-simbol agama dan etnis yang melekat pada para kandidat. Visi dan misi setiap kandidat akan dipaparkan sebagai daya tarik bagi rakyat untuk memilih, para kandidat akan berupaya untuk membahasakan visi dan misinya sebagai sebuah komitment apabila terpilih maka dirinya akan mengelola pemerintahan daerah ini dengan baik dan salah satu program dalam pemerintahannya adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) karena tema ini mungkin sebagai obat penawar bagi sinisme masyarakat akan para figure, namun kita tentu paham bahwa rakyat dibingungkan oleh visi dan misi tersebut karena janji pribadi kandidat terhadap para team sukses apabila dirinya terpilih posisi atau jabatan strategis akan di emban oleh mereka yang telah berperan mensukseskan dirinya. Dengan demikian bahasa hanya dipakai hanya untuk membangkitkan emosi manusia sehingga manusia terdorong melakukan tindakan tertentu, Seorang Filsuf Yunani Socrates mengatakan bahwa “janganlah percaya dan menerima suatu pengertian begitu saja sebelum diuji benar salahnya” pemikiran ini begitu penting karena tidak hanya kata-kata yang menarik yang dapat dijadikan indikator bagi pilihan rakyat tetapi ada hal lain yang tak kalah pentingnya dapat dijadikan bahan pertimbangan adalah rekam jejak (track record) dari para kandidat perlu diketahui atau dipublikasikan secara proporsional sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi rakyat untuk menentukan pilihan, dikala para kandidat ini mendaftarkan diri sebagi calon pejabat publik maka publik berhak untuk mengetahui kehidupan pribadi para kandidat ini untuk menentukan pilihan mereka dengan demikian proses demokrasi yang cukup baik akan tercipta dan bukan memilih karena kedekatan emosional; satu suku, satu agama.
*Yoyarib Mau (Masyarakat NTT bekerja di Jakarta)Alamat: Jl. Salemba Tengah Gg. Jubleg No. 15A Kec. Senen, Jakarta Pusat. Hand phone = 0813-1015-9683, kannutuan@yahoo.com (Tulisan ini sudah di publikasikan di media local : “Timor Exprees”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar