EKLUSIFISME (KITA ORANG - KAMU ORANG) JELANG PILKADA
*Yoyarib Mau
Politik memperlihatkan wajahnyanya yang ambigu; wajah arif bijaksana-sekaligus licik, wajah luhur-busuk, jujur-penuh tipu daya, wajah humanis-juga antihumanis, wajah moralis-juga amoralis. Ironi memang tetapi inilah realitas yang terjadi namun diharapkan rakyat mampu menciptakan era baru dimana dapat dihasilkan pencerahan politik.
Dinamika dan tensitas politik pilkada Prov. NTT dalam kehidupan masyarakat semakin meningkat, paska penetapan kandidat yang lolos sebagai kandidat yang turut dalam pemilihan kepala daerah di Prov. NTT. Hal ini membentuk kehidupan masyarakat menjadi terkotak-kotak karena dukungan politik berdasarkan ikatan emotional dengan para kandidat. Sehingga wilayah, kabupaten, suku, agama telah disegel, diklaim, dikapling bahkan lebih ekstrim di police line oleh para kandidat bahwa wilayah ini dibawah kekuasannya. Pola ini di jadikan isu politik oleh masing-masing kandidat untuk politik jangka pendek. Pemilihan pasangan untuk berpasangan menjadi paket dalam Pilkada NTT telah menciptakan masyarakat hidup dalam eklusifisme kelompok tertentu menguatnya kesukuan dan sentimen keagamaan.
Masyarakat terjebak dalam pemikiran kita orang (kitorang) dukung Si A sedangkan kamu orang (kamorang) orangnya Si B. Pilihan ini tak dapat dipungkiri dan dihindari dalam kehidupan politik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia bahkan semangat kebersamaan yang ada dalam masyarakat yang tertuang dalam syair lagu flobamora yang menggambarkan kehidupan masyrakat NTT dengan filosofi “flobamora’ sebagai sebuah tanah air bersama, masih dapat dipertahankan atau semakin luntur dan melemah hanya karena hadirnya Pilkada langsung?
Pada massa penjajahan membangun semangat kebersamaan untuk mengusir penjajah terkesan lebih muda dari pada membangun semangat flobamora guna mengusir kemiskinan dan keterbelakangan. Kepentingan politik menghasilkan masyarakat hidup dalam dikotomi persaingan antara “kita-mereka (lu-beta) kitong-bosong dan sebagainya“, bahkan hidup bertetanggapun tanpa bersinggungan dan bersapa hanya karena berbeda pilihan dengan melihat kondisi ini, mungkinkah demokrasi dapat di bangun dengan baik guna menuju masyarakat yang adil dan sejahtera?
BUDAYA POLITIK CAMPURAN
Tak dapat dipungkiri bahwa agama dan entitas dari setiap kandidat ini dibentuk dalam agama dan adat, sehingga membudaya dalam diri mereka dan tak bisa dihilangkan. Saat ini para kandidat mencapai orientasi politik mereka, hal ini akan dipengaruhi oleh perilaku bahkan simbol-simbol yang telah membentuknya. Orientasi politik masyarakat pun dalam menentukan pilihan atau afiliasi politiknya berdasarkan sikap, keyakinan, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Almond and Powell).
Budaya politik dalam Pilkada Prov. NTT dikategorikan sebagai budaya politik campuran, karena kondisi masyarakat di NTT secara “cognitive” mengalami kematangan dan kedewasaan yang tak di ragukan lagi hal ini dibuktikan dengan tokoh-tokoh politik yang berkiprah dalam sejarah bangsa Indonesia dan tingkat pendidikan yang menghasilkan ahli (Prof. W.Z. Yohanes - ahli Medis). Namun tak dapat dihindari dengan mengentalnya aspek “affective” yakni perasaan dan ikatan emotional dalam masyarakat yang menghasilkan perasaan sesuku, seagama, sekampung dan sebagainya.
Tiga budaya yang penulis paparkan dalam tulisan ini sesuai dengan kondisi masyarakat kita, yakni ada kelompok masyarakat tertentu menganut:
(a). budaya politik kaula Masyarakat sadar dan mengetahui terhadap sistem politik adannya Pilkada tetapi tidak berpartisipasi mungkin karena kekecewaan terhadap kondisi ekonomi yang menghimpit, kenaikan BBM, kemiskinan yang tak beranjak, atau perilaku pejabat yang koruptor, atau masyarakat melihat para kandidat dengan sebutan 4L (lu lagi, lu lagi), sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi. Kelompok ini kebanyakan pendatang ataupun mereka yang dari daerah lain.
(b). budaya politik parochial Frekuensi budaya ini yang kelihatan menguat dalam kehidupan masyarakat NTT jelang Pilkada nanti, karena eklusive masyarakat atau otoritas feodal atau masyarakat. Pilihan masyarakat akan memberikan pilihannya kepada kandidat yang memiliki hubungan emotional dengannya atau sealiran, apa kata kepala suku atau tua adat. Pengetahuan kelompok ini akan kandidat sangat rendah, pilihan didorong oleh emosi yang mengalahkan perimbangan akal, namun karena sentimen kedaerahan (kesukuan) sehingga termobilisasi untuk memberikan dukungan.
(c). budaya politik partisipan Masyarakat yang menganut budaya ini dapat dikategorikan sebagai pemilih yang ideal dan pro perubahan, karena memiliki minat dan harapan yang tinggi. Kelompok ini aktif berpartisipasi penuh menggalang kekuatan untuk mengkritisi dan memprotes kepijakan atau visi dan misi para kandidat yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kelompok didominasi oleh para Intelektual, Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai penegak moral (moral force).
Kelompok-kelmpok penganut budaya ini akan berbenturan dan saling mengais jelang proses kampanye, hari pencoblosan, bahkan pasca pilkada karena jargon yang dijagokan menang atau kalah. Kondisi budaya yang ada ini dapat memicu terjadinya konflik vertikal antar masyarakat karena di satu sisi hadirnya pilkada sebagai salah satu model demokrasi tetapi sisi lain dorongan primordial dan semangat otoritarian suku juga menderu guna menunjukan bahwa dialah yang layak.
RUANG PUBLIK
Politik adalah bagaimana memperebutkan ruang (kapling, kursi dan wilayah) sehingga semua isu dikerahkan untuk menggapainya (Machiavellian) namun politik pun harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan, pilkada di beberapa daerah diwarnai dengan kekerasan yang menyebabkan banyak korban jiwa.
Menurut Michael Foucault “ganguan pada pikiran (mind) pada diri sebagai manusia adalah akibat dari penyerahan buta kita hasrat-hasrat (desire) kita sendiri, tanpa ketidakmampuan mengontrol atau menjinakan hawa nafsu (passion) kita” model politik seperti ini tidak dilandasi dengaan sila Perikemanusiaan dalam Pancasila.
Untuk menghindari konflik kekerasan di tengah masyarakat, pemerintah (birokrasi) seperti stadion, pasar. Lembaga/institusi keagamaan sebagai alat hegemoni (Gereja, Katedral, Masjid, Pura, Wihara) dan lembaga/intitusi adat, publik figure yang mampu membentuk opini sebagai repsentasi publik. Seyogianya tidak terkooptasi tetapi menciptakan ruang-ruang publik yang mampu menjembatani masyarakat yang berbeda dukungan kandidat dan partai politik pengusung.
Ruang tersebut sebagai ajang rakyat dapat berkumpul, berinteraksi, bersosialisasi dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda pilihan dan dukungan politik, dapat berkumpul dan membangun semangat kebersamaan dan pemaknaan sebagai makhluk social. Ruang ini dapat diakes oleh siapa saja karena sebagai oikos, untuk bercanda tawa dan saling menghargai (homoioi) dan bukan untuk saling memangsa satu dengan yang lain, dengan demikian dapat meminimalisir konflik dalam Pilkada dan mengkristalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Penulis : Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Cabang Jakarta, email : kannutuan@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar