“MENGAPA HARUS EKONOMI NAGA DAN BUKAN EKONOMI KANGURU”
*Yoyarib Mau
Indonesia berada diantara dua kekuatan ekonomi yang berusaha membangun hubungan baik dan juga menjadikan Indonesia sebagai pasar yang efektif, hubungan ekonomi antara kedua negara dilakukan dengan bergabung dalam organisasi regional yang dibangun untuk bekerjasama di bidang ekonomi.
Untuk menancapkan kekuatran untuk dapat menjalin kerjasama maka perlu dilakukan perjanjian kerjasam yang dilakukan dengan membentuk organisasi kerja sama regional dilakukan untuk menyepakati aturan-aturan perdagangan tertentu yang saling menguntungkan. Sebagaimana hubungan kerjsama ekonomi regional dengan dibentuknya APEC (Asia Pacifik Economic Cooperation) dimana Australia menjadi salah satu negara pendiri bersama dengan Indonesia.
Australia merupakan salah satu negara terbesar yang memiliki pengaruh di negara-negara Pasifik dan juga dekat ke Asia terutama Indonesia, sehingga gagasan pembentukan APEC sangat menguntungkan karena sebagai negara yang cukup besar dapat menjadikan negara-negara di pasifik dan asia sebagai tujuan pasar dan sebaliknya.
APEC didirikan pada tahun 1989 di Canbera - Australia yang memiliki anggota hingga hari ini sebanyak 18 anggota, keberadaan organisasi ini pada awalnya negara-negara Asia Tenggara berharap keberadaan APEC ini hanya bersifat non kelembagaan karena negara-negara Asia Tenggara telah memiliki organisasi negara regional sendiri yakni ASEAN. Negara anggota ASEAN menghendaki APEC sebagai forum komunikasi dan konsultasi saja, namun dalam perkembangananya Amerika Serikat (AS) dan Australia menginginkan APEC bersikap aktif.
Kekuatan negara AS mampu merubah pemikiran negara – negara Asean dan menyepakati beberapa tujuan antara lain (www.garudamuda.com) :
1. Menjadi tempat usaha negara maju untuk membantu negara yang sedang berkembang
2. Meningkatkan perdagangan dan investasi antar anggota.
3. Menjalankan kebijakan ekonomi secara sehat dengan tingkat inflasi rendah, serta
4. Mengurangi atau mengatasi sengketa ekonomi perdagangan.
Kemudian dalam perjalanan APEC yang pasang surut maka para pemimpin negara-negara APEC kembali menegaskan komitment kerjasamanya di Indonesia yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Bogor dan salah satu butir penting dalam deklarasi itu menyatakan bahwa di antara negara-negara anggota APEC akan diberlakukan suatu sistem yang disebut perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan diberlakukan dalam dua tahap, yakni diterapkan pada tahun 2010 di kalangan negara-negara maju anggota APEC dan untuk negara-negara yang masih berkembang diterapkan pada tahun 2020 (www.crayonpedia.org).
Hubungan kerjasama yang telah berlangsung sejak tahun 1989 hampir 20 tahun lebih terjadinya hubungan kerjasama di bidang ekonomi namun kebangkitan ekonomi Indonesia tidak mengalami pertumbuhan signifikan sehingga menimbulkan pertanyaan, apa yang menyebabkan peran besar negeri kanguru itu tidak aktif dan mampu membantu membangun perekonomian Indonesia dan sekitarnya, sedangkan saat ini yang memiliki power dan pengaruh, kontribusi terhadap perekonomian Indonesia adalah China ?
Ekonomi Naga
Penetapan inilah yang memberikan celah bagi China untuk menikung Australia, karena waktu yang ditetapkan yakni 2020 adalah waktu yang cukup lama sedangkan China dengan pola ekonomi naganya melihat bagaimana menguasai perekonomian di Asia, di suatu sisi negara-negara berkembang tidak ingin menanti hingga tahun 2020 untuk kemajuan ekonomi negaranya, sehingga China yang juga anggota APEC segera melakukan sebuah terobosan baru yakni melakukan hubungan kerjasama baru yakni ACFTA (Asean – China Free Trade Center).
Hubungan kerja ACFTA ini memberikan peluang yang sangat luar biasa bagi China untuk membangun hubungan perdagangan bebas, Perjanjian perdagangan yakni ACFTA memberikan kesan bahwa ada penggolongan negara center (pusat) dan satelit/ peri-peri (pinggiran) sehingga tercipta ketergantungan sebagaimana diungkapkan oleh ekonom Amerika Andre Gunder Frank yang mengungkapkan tentang hubungan yang tidak sehat antara negara-negara pusat dan pinggiran. Menurutnya keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah dari sebuah masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kekurangan modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme. Keterbelakangan di negara-negara pinggiran (yang oleh Frank disebut sebagai negara satelit) adalah akibat langsung dari terjadinya pembangunan pembangunan di negara-negara pusat (Frank : negara-negara metropolis) (Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga-Gramedia- 2000).
Kondisi ini tidak serta merta membuat Indonesia diam dan tidak memanfaatkan hubungan dagang dengan China, Indonesia menanggapi hubungan ini dengan baik Indonesia mengikuti berbagai event expo di China dan beberapa negara-negara yang memiliki keterkaitan dengan ekonomi naga atau berperan sebagai negara peri-peri atau pinggiran yakni Taiwan, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Singapore, hal ini memberikan dampak yang cukup baik bagi ekonomi Indonesia.
Kegiatan ini memberikan dampak yang cukup baik dimana para pengusaha China memiliki minat untuk melakukan investasi di Indonesia, demikian juga pengusaha Indonesia bersedia untuk mengirimkan barang mentah untuk di produksi di China, pilihan ini sangat menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia 2009 seperti yang di ungkapkan anggota DPR RI Komisi VI Mukhamad Misbakhum, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,3 % (Batavia.co.id), jika di bandingkan dengan saat ini hingga triwulan II tahun 2010 pertumbuhan ekonomi telah mengalami peningkatan hingga 6, 2 % (www.tempointeraktif.com).
Kenaikan pertumbuhan ini tidak terlepas dari kinerja ekspor produk migas dan nonmigas ke China yang hingga 2010 ini mencapai USD 116 miliar, Menurut Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Diah Maulida, diakuinya saat ini pasca ACFTA, Indonesia menghadapi serbuan produk impor negeri tirai bambu mulai seperti tekstil, kita jangan hanya melihat sisi serbuan produk China ke Indonesia, namun jangan lupa China juga sebagai penimpor bahan baku yang cukup besar sebagai bahan baku peralatan, konsumsi. Eksport nonmigas ke China tumbuh hingga enam persen, dan diharapkan bisa meningkat menjadi sembilan persen (ekonomi.okezone.com).
Ekonomi Kanguru
Kondisi ini membuat Indonesia lebih memilih untuk membangun hubungan ekonomi dan perdaganangan dengan China di bandingkan dengan Australia. Sanagat lemah padahal berdirinya APEC pada tahun 1989 sudah berlangsung cukup lama namun permintaan pasar disana belum banyak tergarap padhal secara geografis benua tersebut relatif dekat jika di bandingkan ke China.
Sudah tentu ada penyebab mengapa Indonesia tidak melakukan hubungan dagang yang lebih optimal dengan Australia, apakah karena tingkat kepercayaan antara kedua negara yang rendah sehingga tidak terbangun hubungan komunikasi yang baik untuk pertumbuhan ekonomi ? di suatu sisi Australia melihat Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis, sebagaimana hasil Poling yang dilakukan oleh Lowy Institute (Juli 2009), misalnya memperlihatkan bahwa sebanyak empat puluh lima persen tingkat kepercayaan masyarakat Australia masih sangat rendah terhadap Indonesia. Menurut Colin Brown (2009), salah satu sebabnya adalah karena sebagaian besar masyarakat Australia masih melihat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam masih sebagai momok. Sehingga tidak mengherankan juga bila dalam polling di atas, Iran menduduki peringkat yang paling rendah yaitu tujuh puluh lima persen (75%), sebaliknya pada sisi lain masyarakat Indonesia juga masih melihat Australia sebagai negara kurang bisa dipercaya dan memiliki maksud-maksud yang tidak baik, pengalaman kiprah Australia pada waktu dan setelah penentuan pendapat di Timor Leste nampaknya masih tidak begitu mudah untuk dihapuskan dari memori ingatan sebagaian besar masyarakat, keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di Australia terhadap gerakan separatisme di Papua juga menambah kuat munculnya perspektif negatif atas negara tetangga (Genawati Wuryandari – www.politik.lipi.go.id).
Krisis kepercayaan yang terjadi antara kedua negara menyebabkan hubungan ekonomi perdagangan antara kedua negara juga mengalami pasang surut, hal ini ditambahkan dengan kaum imigran yang diselundupkan oleh nelayan Indonesia ke Australia, penangkapan ikan yang melewati batas teritorial kedua negara, dan sebaliknya Australia yang tidak konsisten untuk membantu menyelesaikan persoalan tumpahan minyak di laut Timor, intervensi Australia dalam penyusutan aktifis RMS (Republik Maluku Selatan ) yang meninggal di penjara di Ambon yang diduga di siksa oleh aparat Densus 88.
Bukan saja masalah krisis kepercayaan yang menimbulkan sikap antipati antar kedua negara serta image yang bertumbuh di masyarakat kedua negara. APEC sebagai lembaga moderator perdagangan antar negara atau sebagai mediator untuk membangun hubungan perdagangan antar negara sebagaimana semangat atau spirit berdirinya organissasi ini dalam perjalanannya sepertinya mengalami pergeseran. Keberadaan organisasi ini sepertinya tidak lagi memfokuskan pada proses hubungan perdagangan secara langsung, tetapi mengalami pergeseran yakni lebih pada bagimana menciptakan suasana atau iklim yang kondusif untuk terciptanya sebuah proses perdagangan.
Sehingga pergeseran kajian kerja APEC lebih pada penanganan teroris, sebagaimana Makarim Wibisono mengungkakpkan bahwa Pada pertemuan para pemimpin APEC di Shanghai pada tahun 2001, upaya-upaya untuk melawan terorisme ditempatkan secara tegas dalam agenda APEC. Alasannya sederhananya adalah karena terorisme adalah salah satu ancaman yang paling deskruktif terhadap tujuan APEC untuk mengembangkan perdagangan bebas dan investasi di wilayah Asia-Pasifik (MakarimWibisono – Tantangan Diplomasi Multilateral- LP3ES).
Kondisi ini yang membuat Australia tidak memfokuskan pada hubungan ekonomi dengan streotip dan tesis Samuel Huntington mengenai benturan peradaban antara ”Islam dan Barat) karena kondisi Australia yang merupakan warisan model Westminster dari Kerajaan Inggris dan Australia menjadi negara federal sehingga secara tidak langsung Australia menjadi bagian dari Barat.
Namun suatau sisi kedua negara dalam hal ini Indonesia Australia sangat membutuhkan karena Australia dalam melakukan hubungan dagang dengan dunia yakni dengan negara Asia lainnya semisal; Jepang. Filipina, Korea dan lainnya harus melalui wilayah teritorial Indonesia, dan juga Indonesia sangat membuthkan bantuan dari Australia dalam pembangunan infrastruktur dan pengembangan sumber daya Manusia melalui lembaga Ausaid.
Jika Australia dan Indonesia ingin membangun hubungan baik dalam bidang ekonomi perdagangan yang dilakukan melalui kemitraan dalam eksport – impor, dengan kemjuan demokrasi di Indonesia saat ini dapat dijadikan dasar bahwa streotip sebagai negara Islam sebagaiman tesis Huntington tidak relevan karena Indonesia tidak diidentikan dengan terorisme. Pemerintah Indonesia juga harus mampu memberikan jaminan tersebut bahwa terorisme sudah tidak ada Indonesia, karena traumatis bom bali 12 Oktober 2002 yang menewaskan sejumlah WNA asal Australia.
Pembangunan demokrasi yang baik akan menentukan hubungan ekonomi yang baik karena dengan tumbuhnya demokrasi maka ada rasa saling mempercaya cukup tinggi, China yang bukan negara Demokratis saja mampu membangun hubungan perdagangan yang cukup menguntungkan.
Hubungan ekonomi yang baik dapat di lakukan jika kedua negara konsisten dalam mewujudkan demokrasi sehingga dengan sendirinya meruntuhkan kecurigaan dan ketidakpastian di tengah masyarakat domestik kedua negara. Iklim demokrasi yang baik akan membuat hubungan antar dua negara dapat melakukan hubungan antar pribadi berupa pertemanan yang terjalin melalui pendidikan, bisnis, turisme dan jaringan begitu besar jika hubungan ini terjalin dengan baik maka akan tercipta pemahaman yang baik pula dan memberikan keuntungan jangka panjang, apalagi letak geografis dengan Australia yang cukup dekat.
Sebagaimana hubungan perdagangan baik dengan China dapat di lakukan karena begitu kentalnya budaya China yang sudah ada sejak lama di Indonesia yakni kentalnya dialek lokal Hokkian yang sudah tentu memiliki ikatan dengan orang China, sehingga penguasaan budaya dan bahasa China inilah yang menyebabkan kemudahan serta unsur mempercayai dalam perdagangan bebas, kondisi memberikan gambaran bahwa kerjasama antar lembaga atau melakukan kerjasama reigional antar bangsa saja tidak cukup jika tidak membangun hubungan budaya untuk menghadirkan rasa saling percaya.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Senin, 27 Desember 2010
Kamis, 23 Desember 2010
"WIKILEAKS TERJEPIT ANTARA GLOBALISASI DAN DEMOKRASI"
“WIKILEAKS TERJEPIT ANTARA GLOBALISASI DAN DEMOKRASI”
*Yoyarib Mau
Globalisasi merupakan tata dunia baru yang membuat dunia dalam gengaman tangan, globalisasi merupakan bagian dari sejarah dunia yang hanya mimpi tetapi dalam perjalan sejarah menjadi nyata dan terwujud. Dunia terasa tidak lagi terbatas oleh bentangan jarak tetapi sat ini telah di perpendek dalam ruang yang sempit dan jaringan teknologi.
Penguasaan akan teknologi maka dengan sendirinya dunia dapat dikendalikan oleh mereka yang memiliki keahlian tersebut, penguasaan teknologi merupakan sebuah kekuatan adidaya baru yg bisa menguntungkan bagi semua pihak namun juga mengancam akan pihak lain. Menguasai dunia menurut Bill Gates, kecepatan merupakan jantung dunia masa kini, yang akan mampu mengangkat manusia kearah produktifitas dan kualitas hidup yang lebih baik. Akan tetapi, tidk sedikit pemikir yang melihat dominasi kecepatan atas kehidupan (power/speed) ini sebagai sebuah gambaran suram masa depan umat manusia (Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Jalasutra – Bandung, 2004).
Kemajuan teknologi dunia menyebabkan kekuatan fisik atau material semakin melemah kekuatannya, klaim Amerika Serikat sebagai negara super power dengan memiliki infrastruktur yang mapan di semua bidang baik itu teknologi, ekonomi,politik dan sains. Kemapanan ini sebagai penentu kemajuan negara AS. Keadaan ini kemudian membuat AS merasa sebagai negara kuat yang tak mungkin terkalahkan dan membuat AS ingin tampil sebagai penguasa dunia atau hegemoni dunia.
Amerika tidak sadar bahwa globalisasi teknologi menunjukan kebaikan tetapi mereka lupa bahwa sepertinya ada dampak buruk dari kecepatan teknologi tersebut sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bill Gates di atas, yang tanpa sadar gedung kembar WTC diruntuhkan oleh para teroris membajak pesawat terbang dan menabraknnya dan tidak hanya itu tetapi juga para teroris menyempatkan diri melakukan penyerangan ke ke gedung Pentagon yang di kenal dengan system keamanan yang luar biasa .
Tragedi runtuhnya gedung WTC di AS, merupakan tamparan keras bagi sistem kemanan dan teknologi di Amerika Serikat (AS), tidak cukup dengan itu AS sepertinya kembali dipermalukan dengan pembocoran ratusan ribu dokumen rahasia negara oleh Julian Assange, pendiri sebagai pendiri situs wikileaks. Pembocoran dokumen ini menyebabkan berbagai pihak menyimpiulkan bahwa kemajuan teknologi yang dikemas dalam teknologi dunia maya memiliki kekuatan yang dasyat yang tidak dapat diremehkan oleh kekuatan fisik yakni alustista (alat untuk sistim pertahanan) maupun kekuatan infrastruktur.
Anggapan buruk terhadap wikileaks tidak saja dilakukan oleh dunia luar tetapi dilakukan pula oleh pemikir dalam negar sendiri sebagaiman opini saudari Esther Dyson seorang Chaiman Edventure Holdings yang dalam tulisan opininya di Koran Tempo mengarahkan pernytaannya kepada pendiri wikilleaks bahwa, “jika lembaga-lembaga yang ada tidak sepenuhnya akuntabel, ada gunanya kita memiliki suatu lembaga penyeimbang yang tidak akuntabel juga guna menyinggung rahasia-rahasia mereka” (Koran Tempo – 22/12/2010).
Pendapat diatas sepertinya menyalahkan wikileaks yang telah melakukan penelanjangan sebagai sebuah kenyataan bahkan fakta yang tak terbantahkan bahwa kekutana teknologi sebagai penentu utama. Akibat penelanjangan yang dilakukan oleh situs wikileaks menghadirkan dikotomi dalam masyarakat dunia yakni adanya kelompok bangsa yang mendukung apa yang dilakukan oleh para aktifis yang mengoperasikan situs ini dan juga ada kelompok bangsa yang sangat membenci para pendiri bahkan pengelola situs ini.
Bahkan akibat kebencian terhadap situs wikileaks maka berbagai upaya dilakukan oleh para negara pendukung untuk mendeskreditkan bahkan menjerat sang pendiri dengan proses hukum, dimana sang pendiri ditangkap di Inggris di London pada 07 Desember 2010, kemudian di ekstradisi ke Swedia tempat dirinya di cari atas tuduhan pelecehan seks (metrotvnews.com).
Akibat dari muatan situs wikileaks membuat masyarakat dunia bertanya, di suatu sisi AS sebagai negara terbesar di dunia yang menerapkan sistim demokrasi, bahkan demokrasi di Amerika Serikat menjadi acuan bagi negara-negara di belahan dunia lain. Menurut opini Yasraf Amir Piliang, betapa sistem demokrasi liberal khususnya AS – yang selama ini diagung-agungkan sebagai pembela kebebasan, keterbukaan, kejujuran dan keadilan ternyata tak lebih dari sebuah sistem korup, palsu dan biadab (Koran Kompas, 16 Desember 2010).
Perilaku yang dilakukan oleh AS membuat banyak pertanyaan yang harus di jawab diantaranya, apakah tuntutan globalisai lebih kuat sehingga membuat demokrasi dapat di plintir atau demokrasi diperalat oleh AS untuk meraup keuntungan untuk mempertahankan diri sebagai negara adidaya ? siapakah yang lebih demokratis apakah pihak wikileaks atau mereka yang membenci wikileaks ?
Wikileaks Melek Globalisasi
Wikileaks adalah non-profit media organisasi yang bermarkas di Swedia, berdedikasi untuk membawa berita penting dan informasi kepad public, Wikileaks adalah media nirlaba yang menyediakan cara yang inovatif, aman dan menjaga kerahasiaan sumber-sumber independen di seluruh dunia yang membocorkan informasi kepada wartawan kami, menerbitkan bahan signifikansi etis, politis dan sejarah sekaligus mempertahankan identitas sumber anonim, dan dengan cara yang universal untuk mengungkapkan ketidakadilan yang di tekan atau di sensor, Wikileaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award, dari majalah Ekonomist untuk tahun 2008, Pada bulan Juni 2009 wikileaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun2008 beroleh Pljudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances, sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya tentang pembunuhan oleh Polisi di Kenya. Pada bulan Mei 2010, New York Daily News menempatkan Wikileaks pada peringkat pertama dalam situs yang benar-benar bisa mengubah berita. Pada Juli 2010 situ ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan, selanjutnya pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, wikileaks mulai merilis kabel diplomatic Amerika Serikat (wikipedia.com).
Berbicara globlasisai berarti wikileaks telah berada pada pusaran tersebut dimana mereka memanfaatkan teknologi informatika untuk kebaikan bersama, terutama merweka yang berlatar belakang NGO untuk menciptakan tatanan dunia baru yang hidup damai bersama semua orang. Dan jika dikaitkan dengan dengan demokrasi maka yang menjadi persoalan dari kedua hal ini ada tiga variabel yang sangat berpengaruh yakni negara (state), pemerintah (governance), pasar (market). Ketiga hal ini merupakan variable penentu dalam globalisasi terutama menyangkut ukuran berhasilnya sebuah negara menjadi negara dengan tingkat ekonomi yang mapan dan maju, sebuah negara yang kuat akan ditentukan oleh pemerintahan yang mampu menetapkan strategi untuk membangun ekonomi negrinya dengan menghasilkan berbagai produk yang dapat di pasarkan ke pasar, namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana menguasai pasar dunia.
Kebergantungan negara-negara besar seperti AS degan negara-negara berkembang sangatlah besar karena sebagai penyedia bahkan memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup tinggi untuk dapat dikuasai dan di eksplotasi dan hal yang berikut adalah bagaimana membangun hubungan dengan negara-negar untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan.
Viktor K. Fung dan kawan-kawannya menuliskan bahwa kekuatan politik telah menentukan untuk membuat dunia tetap tidak rata, dengan menetapkan berbagai penghalang baru dan membangun terowongan dan superhighways bagi mitra dagang yang di sukainya (Viktor K. Fung dkk, Competing In A Flat World, @kademia – 2008)
Kebijakan luar negari AS yang lebih mementingkan kepantingannya sebagai negara adikuasa menyebabkan, AS menerjemahkan tatanan hidup dunia berdasarkan perpespketif dirinya sebagai negara adikuasa dimana semua negara bergantung pada AS sebagai negara sentaral dan negara-negara dunia ketiga berperan sebagai negara peri-peri. Padahal yang sangat disayangkan yakni berperilaku machiavelian, dimana tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai demokratis yang sangat fundamental yakni egalitarian, terbuka, setara dan adil.
Kenyataannya dengan alasan demokrasi, dimana Irak, Afganistan dinyatakan tidak demokratis karena tidak adanya kebebasan dan kesetaraan disana AS melakukan intervensi dan melakukan pendudukan untuk menciptakan demokrasi namun kenyataannya hanyalah demokrasi procedural yang dilakukannya pemilu secara langsung dengan pola “one man one vote” akan tetapi substansi demokrasi yang mengusung nilai-nilai luhur manusia, mereka hanya menafsirkan hanya pada kepentingan ekonomi yakni demokrasi dalam konteks kepentingan ekonomis.
AS sepertinya melakukan pembatasan dan control dengan perpanjangan tanggannnya yakni para diplomat yang di utus ke negara-negara. perilaku AS yang menggunakan kekuatan diplomasi luar negerinya telah di usahakan pasca perang dunia ke II menurut Muhadi Sugiono, Sesudah perang dunia II muncul sebagai produk dari persaingan sengit antara dua orientasi kebijakan yang bertentangan di AS maupun di negara-negara kapitalis utama lainnya: antara orientasi internasionalisme liberal yang menghendaki sebuah perekonomian dunia yang terbuka, di satu pihak, dengan kapitalisme nasional yang menuntut lebih banyak peran aktif negara dalam mencapai tujuan-tujuan sosial, di lain pihak orang-orang Internasionalisme Liberal, yang diwakili oleh Wall Street dan Departemen Luar Negeri di Amerika dan City Of London di Inggris bahwa satu-satunya solusi bagi probel ekonomi dunia liberal terbuka (Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia ketiga, Pustaka Pelajar – 1999).
Pendapat Muhadi Sugiono sebenarnya ingin menegaskan bahwa negara-negara dunia ketiga tidak berdaya atau tidak melakukan “bargaining power” untuk mengakan perekonomian nasional, kekuatan departemen luar negeri AS di manfaatkan sebagai alat penekan melalui kedutaan-kedutaannya di negara- negara berkembang untuk melakukan negosiasi dan penekanaan.
Nilai Kebebasan dan Kesetaraan Esensi Demokrasi
Wikileaks sebagai lembaga sosial menaruh perhatian pada persoalan hegemoni AS dan sekutunya yang ingina mengenguasai perekonomian dunia melihat hal ini maka para inisiatorpembentuk situs wikileaks melakukan investigasi dan mencari informasi untuk mengetahuui apa yang yang dilakukan oleh AS untuk mengusai perekpnomian dunia.
Penguasaan ekonomi dunia dilakukan dengan strategi ekonomi yang cukup baik dimana lembaga-lembaga dunia di manfaatkan oleh AS sebagaimana IMF (International Moneter Financial) dan World Bank, bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia lainnya, tawaran kesanggupan AS serikat untuk menyediakan bantuan keuangan dan pinjaman luar negeri dengan proses pengembalian yang mudah serta ada syarat-syarat tertentu yang harus di penuhi.
Pola yang dilakukan AS ini menurut Robert Cox bahwa mengkarakteristiknya menjadi negara neoliberal dimana dicirikan dengan merasuknya peran negara dalam proses akumulasi, ekspansi peran negara untuk menyediakan jarring pengaman bagi mereka yang tidak beruntung dalam mekanisme pasar dan segmentasi pasar ke dalam kosentrasi modal besar pada sector oligopolistic dan bisnis kecil dalam sektor kompetitif (Muhadi Sugiono - Pustaka Pelajar – 1999).
Perilaku yang di utarakan oleh Robert Cox sangat menguntungkan bagi AS yang kebetulan berada pada posisi sebagai pemilik hak veto di PBB sehingga dapat meberikan tekanan kepada Bank Dunia atau IMF untuk tidak meberikan bantuan atau membekukan pendanaan kepada Negara tertentu.
Perilaku AS inilah yang menurut para pendiri wikileaks sebagai bentuk hegemoni atas negara –negara yang tidak berdaya, dilatar belakangi oleh persoalan ini maka meraka sadar bahwa ada permaslahan dengan demokrasi, demokrasi dijadikan sebagai topeng untuk meraup keuntugan. Para pendiri situs ini adalah pekerja – pekerja sosial yang memiliki komitment untuk memberikan informasi benar dan beredikasi untuk menegakan nilai-nilai demokrasi yang telah di peralat untuk kepentingan negar-negara tertentu.
Situs ini hadir sebagai salah satu pilar demokrasi yakni sebagai alat control jika ada penyimpangan yang dari kekuasaan, situs ini melihat media elektronik dalam hal ini website sebagai sebuah alat yang sesuai dengan kebutuhan global, sehingga proses penyampaian informasi untuk memberikan transparansi bagi dunia tidak dapt di salahkan sehingga, sehingga negara-negara yang memiliki hubungan baik dan bagian dari hegemoni dunia sebagaimana Inggris berperan dalam penangkapan terhadap Julian Assange yang kemudian di ekstradisi ke Swedia.
Menarik dari persoalan penangkapan ini bahwa tuduhan yang diberikan kepada Julian Assange yakni pelecehan seksual hal ini sebagai alasan agar dapat di penjarakan atau dilakukan penghukuman, tetapi apabila di hukum karena menyebarkan rahasia negara atau di tunttut dengan UU Spionase AS maka hal ini tidak relevan bahkan menghadirkan persepsi miring terhadap AS sebagai negara yang demokratis.
Kemudian pemikiran saudara Esteher Dyson bahwa apa yangdilakukan oleh Julian Assange dan teman-temannya tidak akuntabel hal ini sangat tidak akurat sebab sudah banyak penghargaan dunia yang di sabet oleh media ini, jika pengakuan dunia akan keberadaan situs ini berarti situs ini telah mendapatkan kepercayaan dunia.
Sehingga pemikiran saudari Esther yang diberi judul jawaban wikileaks ke dunia yang cacat sebenarnya sangatlah prematur. Perlu dilihat bahwa globalisasi bagaikan pisau yang bermata dua yakni tajam dibagian yang menghadap keluar dan juga tajam di bagian dalam, Indonesia bagian dari dunia globalisasi, bahkan Indonesia juga di muat dalam bocoran situs tersebut mengenai masalah penentuan pendapat di Timor Timur dan pemilu presiden 2004.
Memprihatinkan adalah masalah ini tidak menjadi agenda pemerintah dalam menegakan wibawa nya sebagai negara yang berwibawa dan otonom, permasalahan ini malah di serahkan bagi Kementrian Koordinator Informasi dan Komunikasi, padahal masalah ini persoalan dunia yang mebutuhkan pernyataan sikap resmi dari pemerintah apakah mendukung atau menentang apa yang dilakukan oleh wikileaks.
Melakukan permohonan klarifikasi dari pihak kedutaan AS mengenai isu tersebut, apakah benar hal tersbut dilakukan oleh pihak kedutaan atau tidak. Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan demokrasi di Asia Tenggara, namun permasalahan ini sebenarnya memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk mempertegas diri apakah Indonesia menjalankan demokrasi substansial atau demokrasi prosedural, penilaian dunia membuat harga diri bangsa tidak direndahkan di mata dunia.
*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI
*Yoyarib Mau
Globalisasi merupakan tata dunia baru yang membuat dunia dalam gengaman tangan, globalisasi merupakan bagian dari sejarah dunia yang hanya mimpi tetapi dalam perjalan sejarah menjadi nyata dan terwujud. Dunia terasa tidak lagi terbatas oleh bentangan jarak tetapi sat ini telah di perpendek dalam ruang yang sempit dan jaringan teknologi.
Penguasaan akan teknologi maka dengan sendirinya dunia dapat dikendalikan oleh mereka yang memiliki keahlian tersebut, penguasaan teknologi merupakan sebuah kekuatan adidaya baru yg bisa menguntungkan bagi semua pihak namun juga mengancam akan pihak lain. Menguasai dunia menurut Bill Gates, kecepatan merupakan jantung dunia masa kini, yang akan mampu mengangkat manusia kearah produktifitas dan kualitas hidup yang lebih baik. Akan tetapi, tidk sedikit pemikir yang melihat dominasi kecepatan atas kehidupan (power/speed) ini sebagai sebuah gambaran suram masa depan umat manusia (Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Jalasutra – Bandung, 2004).
Kemajuan teknologi dunia menyebabkan kekuatan fisik atau material semakin melemah kekuatannya, klaim Amerika Serikat sebagai negara super power dengan memiliki infrastruktur yang mapan di semua bidang baik itu teknologi, ekonomi,politik dan sains. Kemapanan ini sebagai penentu kemajuan negara AS. Keadaan ini kemudian membuat AS merasa sebagai negara kuat yang tak mungkin terkalahkan dan membuat AS ingin tampil sebagai penguasa dunia atau hegemoni dunia.
Amerika tidak sadar bahwa globalisasi teknologi menunjukan kebaikan tetapi mereka lupa bahwa sepertinya ada dampak buruk dari kecepatan teknologi tersebut sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bill Gates di atas, yang tanpa sadar gedung kembar WTC diruntuhkan oleh para teroris membajak pesawat terbang dan menabraknnya dan tidak hanya itu tetapi juga para teroris menyempatkan diri melakukan penyerangan ke ke gedung Pentagon yang di kenal dengan system keamanan yang luar biasa .
Tragedi runtuhnya gedung WTC di AS, merupakan tamparan keras bagi sistem kemanan dan teknologi di Amerika Serikat (AS), tidak cukup dengan itu AS sepertinya kembali dipermalukan dengan pembocoran ratusan ribu dokumen rahasia negara oleh Julian Assange, pendiri sebagai pendiri situs wikileaks. Pembocoran dokumen ini menyebabkan berbagai pihak menyimpiulkan bahwa kemajuan teknologi yang dikemas dalam teknologi dunia maya memiliki kekuatan yang dasyat yang tidak dapat diremehkan oleh kekuatan fisik yakni alustista (alat untuk sistim pertahanan) maupun kekuatan infrastruktur.
Anggapan buruk terhadap wikileaks tidak saja dilakukan oleh dunia luar tetapi dilakukan pula oleh pemikir dalam negar sendiri sebagaiman opini saudari Esther Dyson seorang Chaiman Edventure Holdings yang dalam tulisan opininya di Koran Tempo mengarahkan pernytaannya kepada pendiri wikilleaks bahwa, “jika lembaga-lembaga yang ada tidak sepenuhnya akuntabel, ada gunanya kita memiliki suatu lembaga penyeimbang yang tidak akuntabel juga guna menyinggung rahasia-rahasia mereka” (Koran Tempo – 22/12/2010).
Pendapat diatas sepertinya menyalahkan wikileaks yang telah melakukan penelanjangan sebagai sebuah kenyataan bahkan fakta yang tak terbantahkan bahwa kekutana teknologi sebagai penentu utama. Akibat penelanjangan yang dilakukan oleh situs wikileaks menghadirkan dikotomi dalam masyarakat dunia yakni adanya kelompok bangsa yang mendukung apa yang dilakukan oleh para aktifis yang mengoperasikan situs ini dan juga ada kelompok bangsa yang sangat membenci para pendiri bahkan pengelola situs ini.
Bahkan akibat kebencian terhadap situs wikileaks maka berbagai upaya dilakukan oleh para negara pendukung untuk mendeskreditkan bahkan menjerat sang pendiri dengan proses hukum, dimana sang pendiri ditangkap di Inggris di London pada 07 Desember 2010, kemudian di ekstradisi ke Swedia tempat dirinya di cari atas tuduhan pelecehan seks (metrotvnews.com).
Akibat dari muatan situs wikileaks membuat masyarakat dunia bertanya, di suatu sisi AS sebagai negara terbesar di dunia yang menerapkan sistim demokrasi, bahkan demokrasi di Amerika Serikat menjadi acuan bagi negara-negara di belahan dunia lain. Menurut opini Yasraf Amir Piliang, betapa sistem demokrasi liberal khususnya AS – yang selama ini diagung-agungkan sebagai pembela kebebasan, keterbukaan, kejujuran dan keadilan ternyata tak lebih dari sebuah sistem korup, palsu dan biadab (Koran Kompas, 16 Desember 2010).
Perilaku yang dilakukan oleh AS membuat banyak pertanyaan yang harus di jawab diantaranya, apakah tuntutan globalisai lebih kuat sehingga membuat demokrasi dapat di plintir atau demokrasi diperalat oleh AS untuk meraup keuntungan untuk mempertahankan diri sebagai negara adidaya ? siapakah yang lebih demokratis apakah pihak wikileaks atau mereka yang membenci wikileaks ?
Wikileaks Melek Globalisasi
Wikileaks adalah non-profit media organisasi yang bermarkas di Swedia, berdedikasi untuk membawa berita penting dan informasi kepad public, Wikileaks adalah media nirlaba yang menyediakan cara yang inovatif, aman dan menjaga kerahasiaan sumber-sumber independen di seluruh dunia yang membocorkan informasi kepada wartawan kami, menerbitkan bahan signifikansi etis, politis dan sejarah sekaligus mempertahankan identitas sumber anonim, dan dengan cara yang universal untuk mengungkapkan ketidakadilan yang di tekan atau di sensor, Wikileaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award, dari majalah Ekonomist untuk tahun 2008, Pada bulan Juni 2009 wikileaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun2008 beroleh Pljudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances, sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya tentang pembunuhan oleh Polisi di Kenya. Pada bulan Mei 2010, New York Daily News menempatkan Wikileaks pada peringkat pertama dalam situs yang benar-benar bisa mengubah berita. Pada Juli 2010 situ ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan, selanjutnya pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, wikileaks mulai merilis kabel diplomatic Amerika Serikat (wikipedia.com).
Berbicara globlasisai berarti wikileaks telah berada pada pusaran tersebut dimana mereka memanfaatkan teknologi informatika untuk kebaikan bersama, terutama merweka yang berlatar belakang NGO untuk menciptakan tatanan dunia baru yang hidup damai bersama semua orang. Dan jika dikaitkan dengan dengan demokrasi maka yang menjadi persoalan dari kedua hal ini ada tiga variabel yang sangat berpengaruh yakni negara (state), pemerintah (governance), pasar (market). Ketiga hal ini merupakan variable penentu dalam globalisasi terutama menyangkut ukuran berhasilnya sebuah negara menjadi negara dengan tingkat ekonomi yang mapan dan maju, sebuah negara yang kuat akan ditentukan oleh pemerintahan yang mampu menetapkan strategi untuk membangun ekonomi negrinya dengan menghasilkan berbagai produk yang dapat di pasarkan ke pasar, namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana menguasai pasar dunia.
Kebergantungan negara-negara besar seperti AS degan negara-negara berkembang sangatlah besar karena sebagai penyedia bahkan memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup tinggi untuk dapat dikuasai dan di eksplotasi dan hal yang berikut adalah bagaimana membangun hubungan dengan negara-negar untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan.
Viktor K. Fung dan kawan-kawannya menuliskan bahwa kekuatan politik telah menentukan untuk membuat dunia tetap tidak rata, dengan menetapkan berbagai penghalang baru dan membangun terowongan dan superhighways bagi mitra dagang yang di sukainya (Viktor K. Fung dkk, Competing In A Flat World, @kademia – 2008)
Kebijakan luar negari AS yang lebih mementingkan kepantingannya sebagai negara adikuasa menyebabkan, AS menerjemahkan tatanan hidup dunia berdasarkan perpespketif dirinya sebagai negara adikuasa dimana semua negara bergantung pada AS sebagai negara sentaral dan negara-negara dunia ketiga berperan sebagai negara peri-peri. Padahal yang sangat disayangkan yakni berperilaku machiavelian, dimana tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai demokratis yang sangat fundamental yakni egalitarian, terbuka, setara dan adil.
Kenyataannya dengan alasan demokrasi, dimana Irak, Afganistan dinyatakan tidak demokratis karena tidak adanya kebebasan dan kesetaraan disana AS melakukan intervensi dan melakukan pendudukan untuk menciptakan demokrasi namun kenyataannya hanyalah demokrasi procedural yang dilakukannya pemilu secara langsung dengan pola “one man one vote” akan tetapi substansi demokrasi yang mengusung nilai-nilai luhur manusia, mereka hanya menafsirkan hanya pada kepentingan ekonomi yakni demokrasi dalam konteks kepentingan ekonomis.
AS sepertinya melakukan pembatasan dan control dengan perpanjangan tanggannnya yakni para diplomat yang di utus ke negara-negara. perilaku AS yang menggunakan kekuatan diplomasi luar negerinya telah di usahakan pasca perang dunia ke II menurut Muhadi Sugiono, Sesudah perang dunia II muncul sebagai produk dari persaingan sengit antara dua orientasi kebijakan yang bertentangan di AS maupun di negara-negara kapitalis utama lainnya: antara orientasi internasionalisme liberal yang menghendaki sebuah perekonomian dunia yang terbuka, di satu pihak, dengan kapitalisme nasional yang menuntut lebih banyak peran aktif negara dalam mencapai tujuan-tujuan sosial, di lain pihak orang-orang Internasionalisme Liberal, yang diwakili oleh Wall Street dan Departemen Luar Negeri di Amerika dan City Of London di Inggris bahwa satu-satunya solusi bagi probel ekonomi dunia liberal terbuka (Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia ketiga, Pustaka Pelajar – 1999).
Pendapat Muhadi Sugiono sebenarnya ingin menegaskan bahwa negara-negara dunia ketiga tidak berdaya atau tidak melakukan “bargaining power” untuk mengakan perekonomian nasional, kekuatan departemen luar negeri AS di manfaatkan sebagai alat penekan melalui kedutaan-kedutaannya di negara- negara berkembang untuk melakukan negosiasi dan penekanaan.
Nilai Kebebasan dan Kesetaraan Esensi Demokrasi
Wikileaks sebagai lembaga sosial menaruh perhatian pada persoalan hegemoni AS dan sekutunya yang ingina mengenguasai perekonomian dunia melihat hal ini maka para inisiatorpembentuk situs wikileaks melakukan investigasi dan mencari informasi untuk mengetahuui apa yang yang dilakukan oleh AS untuk mengusai perekpnomian dunia.
Penguasaan ekonomi dunia dilakukan dengan strategi ekonomi yang cukup baik dimana lembaga-lembaga dunia di manfaatkan oleh AS sebagaimana IMF (International Moneter Financial) dan World Bank, bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia lainnya, tawaran kesanggupan AS serikat untuk menyediakan bantuan keuangan dan pinjaman luar negeri dengan proses pengembalian yang mudah serta ada syarat-syarat tertentu yang harus di penuhi.
Pola yang dilakukan AS ini menurut Robert Cox bahwa mengkarakteristiknya menjadi negara neoliberal dimana dicirikan dengan merasuknya peran negara dalam proses akumulasi, ekspansi peran negara untuk menyediakan jarring pengaman bagi mereka yang tidak beruntung dalam mekanisme pasar dan segmentasi pasar ke dalam kosentrasi modal besar pada sector oligopolistic dan bisnis kecil dalam sektor kompetitif (Muhadi Sugiono - Pustaka Pelajar – 1999).
Perilaku yang di utarakan oleh Robert Cox sangat menguntungkan bagi AS yang kebetulan berada pada posisi sebagai pemilik hak veto di PBB sehingga dapat meberikan tekanan kepada Bank Dunia atau IMF untuk tidak meberikan bantuan atau membekukan pendanaan kepada Negara tertentu.
Perilaku AS inilah yang menurut para pendiri wikileaks sebagai bentuk hegemoni atas negara –negara yang tidak berdaya, dilatar belakangi oleh persoalan ini maka meraka sadar bahwa ada permaslahan dengan demokrasi, demokrasi dijadikan sebagai topeng untuk meraup keuntugan. Para pendiri situs ini adalah pekerja – pekerja sosial yang memiliki komitment untuk memberikan informasi benar dan beredikasi untuk menegakan nilai-nilai demokrasi yang telah di peralat untuk kepentingan negar-negara tertentu.
Situs ini hadir sebagai salah satu pilar demokrasi yakni sebagai alat control jika ada penyimpangan yang dari kekuasaan, situs ini melihat media elektronik dalam hal ini website sebagai sebuah alat yang sesuai dengan kebutuhan global, sehingga proses penyampaian informasi untuk memberikan transparansi bagi dunia tidak dapt di salahkan sehingga, sehingga negara-negara yang memiliki hubungan baik dan bagian dari hegemoni dunia sebagaimana Inggris berperan dalam penangkapan terhadap Julian Assange yang kemudian di ekstradisi ke Swedia.
Menarik dari persoalan penangkapan ini bahwa tuduhan yang diberikan kepada Julian Assange yakni pelecehan seksual hal ini sebagai alasan agar dapat di penjarakan atau dilakukan penghukuman, tetapi apabila di hukum karena menyebarkan rahasia negara atau di tunttut dengan UU Spionase AS maka hal ini tidak relevan bahkan menghadirkan persepsi miring terhadap AS sebagai negara yang demokratis.
Kemudian pemikiran saudara Esteher Dyson bahwa apa yangdilakukan oleh Julian Assange dan teman-temannya tidak akuntabel hal ini sangat tidak akurat sebab sudah banyak penghargaan dunia yang di sabet oleh media ini, jika pengakuan dunia akan keberadaan situs ini berarti situs ini telah mendapatkan kepercayaan dunia.
Sehingga pemikiran saudari Esther yang diberi judul jawaban wikileaks ke dunia yang cacat sebenarnya sangatlah prematur. Perlu dilihat bahwa globalisasi bagaikan pisau yang bermata dua yakni tajam dibagian yang menghadap keluar dan juga tajam di bagian dalam, Indonesia bagian dari dunia globalisasi, bahkan Indonesia juga di muat dalam bocoran situs tersebut mengenai masalah penentuan pendapat di Timor Timur dan pemilu presiden 2004.
Memprihatinkan adalah masalah ini tidak menjadi agenda pemerintah dalam menegakan wibawa nya sebagai negara yang berwibawa dan otonom, permasalahan ini malah di serahkan bagi Kementrian Koordinator Informasi dan Komunikasi, padahal masalah ini persoalan dunia yang mebutuhkan pernyataan sikap resmi dari pemerintah apakah mendukung atau menentang apa yang dilakukan oleh wikileaks.
Melakukan permohonan klarifikasi dari pihak kedutaan AS mengenai isu tersebut, apakah benar hal tersbut dilakukan oleh pihak kedutaan atau tidak. Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan demokrasi di Asia Tenggara, namun permasalahan ini sebenarnya memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk mempertegas diri apakah Indonesia menjalankan demokrasi substansial atau demokrasi prosedural, penilaian dunia membuat harga diri bangsa tidak direndahkan di mata dunia.
*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI
Minggu, 19 Desember 2010
"RESTORASI INDONESIA"
“RESTORASI INDONESIA”
*Yoyarib Mau
Menatap perjalanan adanya Indonesia adalah sebuah kemustahilan sehingga tidaklah salah jika para pendiri bangsa dalam pembuk aan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ketiga tercantum kalimat ….Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…….. kalimat ini memiliki nilai filosofis – teologis yang mendalam, sebuah refleksi yang patut diberi ancungan jempol.
Pengakuan tulus dari para pejuang kemerdekaan bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang membahagiakan karena keadaan yang menjadi hak mutlak dari semua bangsa namun harus melalui perjuangan yang panjang, namun para pendiri bangsa sadar bahwa ketika perjuangan panjang yang dilakukan bukan hanya semata-mata keringat mereka tetapi kemerdekaan ini adalah perkenan anugerah dari Sang Pencipta.
Mendasari terbentuknya sebuah negara dengan keyakinan bahwa ada kekuatan yang melampaui diri manusia yang mengelorakan perjuangan karena tanpa intervensi tersebut tak ada gelora perjuangan dalam diri para pejuang. Perjuangan untuk terbentuknya apa yang dinamakan Indonesia bukanlah hal yang mudah karena keberagaman budaya, etnik, agama serta negara kepulauan yang terbentang dari Sabang – Merauke, dari Miangas – Pulau Rote.
Proses menjadi bangsa Indonesia didasari karena memiliki tanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, berbangsa satu bahasa Indonesia. Proses menyatukan ini tidaklah mudah tetapi melalui perdebatan yang panjang, sehingga mampu menghasilkan susunan negara Republik Indonesia tidak berdasarkan dominasi atau kekuatan salah satu agama , kekuatan individu tertentu, tidak dipengaruhi oleh tawaran material namun dilakukan dalam niat untuk memajukan kesejahteraan umum maka musyawarah mufakat dilakukan dengan berasaskan kedaulatan rakyat untuk memfinalkan apa yang hari ini masih di kenal dengan Indonesia.
Namun perjalanan berbangsa sampai hari ini, Indonesia tidak luput dari persoalan keutuhan bangsa bahkan kembali mencuat persoalan ketuhan finalisasi NKRI yang sudah mutlak, persoalan kelam yang dilalui untuk mencapai kemerdekaan bangsa sepertinya tidak membekas dan terpendam dalam diri seluruh rakyat Indonesia, persoalan kesenjangan social, kemiskinan, pembangunan yang tidak merata membuat kelompok masyarakat memilih jalan pintas untuk memisahkan diri dari NKRI.
Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri karena ini persoalan Indonesia Kemaren, Hari ini dan Esok, persoalan pergolakan di daerah seperti PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta), persoalan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua, RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku, persoalan pemisahan diri secara geopolitik pemisahan diri berdasarkan etnisitas dan letak geografis, perjuangan pemisahan diri melalui ideologi politik agama pun terjadi seperti DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Daud Beureuh, Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan terus ada hanyalah berganti nama dan baju organisasi.
Konflik yang terjadi sepanjang proses menjadi Indonesia silih berganti, terus menerus terjadi sepertinya menghadirkan pertanyaan yang perlu didiagnosa bersama; Pertama; apakah fondasi kebangsaan Indonesia rapuh dan tidak lagi kuat menopang akan keutuhan NKRI ?, Kedua; apabila Indonesia diibaratkan dengan perspektif pertimbangan ekonomi, seandainya Indonesia ini adalah sebuah produk maka sudah saatnya Indonesia harus menemukan desain produk yang baik sehingga mampu mempertahankan apa yang diinginkan para pendiri bangsa ? Ketiga; apakah pembangunan yang saat ini dilakukan sudah tepat atau sebaliknya menimbulkan ketidakkeseimbangan dan perlakuan diskriminatif dalam mengakses pembangunan ekonomi ? pertanyaan-pertanyaan ini sebagai alat diagnosa untuk menemukan jalan keluar bagi persoalan bangsa ini.
Kondisi konflik dan pemisahan diri bukanlah keinginann para pendiri bangsa Indonesia, namun hal ini merupakan situasi konflik yang lebih bernuansa kedaerahan ini menurut Maswardi Rauf bahwa pegolakan daerah tidak perlu terjadi dan karena pergolkan daerah ini sebenarnya tidak ingin memisahkan diri dari NKRI tapi sikap ini merupakan protes terhadap perkembangan politik pada tingkat pusat dan ketidakpuasan beberapa daerah terhadap penanganan hubungan pusat-daerah oleh pemerintah pusat yang dianggap lebih menguntungkan Jakarta (Maswardi Rauf, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional 2001).
Ketika penerapan pemerintahan yang berpusat di Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan sentralisasi dimana semua berpusat dan dikendalikan di Jakarta, daerah memiliki wewenang yang terbatas, semua pajak dan sumber pendapatan lainnya harus di serahkan ke pusat kemudian inisiatif pemerintah pusat untuk memberikan berapa persen ke daerah. Kondisi ini membuat Jakarta sebagai penentu kebijakan dari pusat hingga ke daerah baik provinsi maupun kota/kabupaten.
Pola dalam menjalankan strategi pemerintahan ini menurut pemikiran Cornelis Lay bahwa, Jakarta, dengan ini, menemukan sebuah alat yang sedemikian powerfull untuk menuntaskan hasrat “penaklukan daerah`- daerah” secara total, sekalipun cita-cita pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas ekonomi dihadirkan secara terus-menerus sebagai selubung ideologinya. Model perencanaan ini pembangunan yang dikembangkan, Jakarta bertukar wajah secara cepat menjadi sentrum ketergantungan yang tampaknya “pemurah” (benevolent) –tampak dari sistem alokasi anggaran yang menempatkan Jakarta seolah-olah adalah sumber bukan saja perencanaan tapi sekaligus pembiayaan bagi daerah-daerah(Abdul Gaffar Karim - Pustaka Pelajar – 2006).
Model roda pemerintahan yang dijalankan dengan berpusat di daerah membuat rakyat menggerutu karena sepertinya semua hasil keringat didaerah semua di larikan ke Jakarta, semua didinikmati sepenuhnya di Jakarta, daerah hanya mendapatkan sisa anggaran yang di berikan oleh pusat, hal ini berdampak kepada pembangunan di daerah pembangunan di daerah sepertinya terabaikan.
Kebijakan pemusatan pola pemerintahan berimplikasi pada pembangunan ekonomi dan penentuan politik dimana proses menjalankan pemerintahan daerah segenapnya pun dikerahkan melalaui Jakarta sehingga terkesan Jakarta centris. Hal ini juga membuat mereka yang berada dekat lingkaran kekuasaan yang menikmati kekuasaan baik dari perhitungan ekonomi maupun akses untuk mendapatkan berbagai peluang usaha bahkan mendapatkan legitimasi untuk menjadi pemerintahan daerah.
Pembangunan Ekonomi
Sentralisasi mengakibatkan keterbelakangan di daerah karena semua kekayaan daerah yang melimpah dikeruk dan di bawa untuk membangun gedung-gedung tinggi di Jakarta, sebagaimana kita ketahui Aceh yang memiliki sumber alam yang melimpah tetapi rakayat di Aceh berada dalam lingkaran kemiskinana. Papua dengan kekayaang alam dan kandungan mineral yang melimpah dikuasai asing atas rekomendasi Jakarta, Jakarta menjamin perijinan serta jaminan keamanan bagi asing untuk melakukan eksploitasi tambang terbesar di Papua namun keuntungan tidak di nikmati oleh orang Papua keuntungan di nikmati oleh asing dan orang Jakarta, sedangkan orang Papua hanya mendulang dari hasil pembuangan tailing.
Kasus yang sama juga di alami oleh Provinsi-Provini yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi mereka tidak mendapatkan keuntungan tidak adannya keuntungan yang didapatkan oleh orang daerah, jika pengalokasian dana pusat bagi pembangunan di daerah berdasarkan jumlah penduduk maka masyarakat di luar pulau jawa yang memiliki keuntungan dari sumber daya alam yang melimpah tetapi mereka tidak mendapatkan keuntungan lebih banyak dari keuntungan tersebut.
Alam yang melimpah namun rakyatnya tetap menderita karena keuntungan di kuasai oleh elit pemerintah pusat kondisi ini kemudian membuat rakyat di daerah menuntut lebih, perjungan daerah untuk mendapatkan haknya di anggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap pusat sehingga stigma bagi mereka yang menuntut dianggap sebagai separatis, stigma ini kemudian membuat mereka berjuang dengan mengangkat senjata.
Membangun Demokrasi
Kehidupan masyarakat lokal di Indonesia yang dikenal dengan budaya gotong royong dan musyawara mufakat menjadi modal sosial bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan di daerah, budaya yang di miliki di seluruh etnik di nusantara masing-masing memiliki nama dan konsep yang berbeda-beda. Seperti konsep pemerintahan desa yang coba di seragamkan di tanah air sebenarnya telah mengkhianati bahkan mengabaikan konsep lokal dimana ada konsep pemerintahan lokal yang berbeda – beda sebagaimana di Padang ada konsep desa yang kita kenal dengan sebutan “nagari”, di Maluku dikenal dengan sebutan “negeri” dan Kepala Negeri merupakan sebutan untuk kepala negeri sebagaimana kepala desa untuk pemimpin desa di daerah lain, atau penerapan nama “distrik” di Papua untuk konsep pemerintahan di tingkat kecamatan.
Proses homogenisasi ini sebenarnya telah mengabaikan akan keberadaan konsep – konsep lokal yang substansi struktur pemerintahannya memiliki kesamaan dengan homogenisasi yang dilakukan pemerintah pusat yakni pemerintahan desa dengan dipimpin oleh seorang kepala desa. Padahal menurut Jhon Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung tercapainya kesejahteran social. Artinya demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antar warga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat social (Demokrasi Di Tingkat Lokal, Institute For Democracy And Electoral Assistance 2002).
Pemikiran Jhon Stuart Mill sebenarnya memberikan penekanan bahwa demokrasi sebenarnya bukan seutuhnya mengabaikan konsep pemerintahan lokal tetapi sebenarnya bagaimana konsep lokal dikembangkan demi terwujudnaya kesejahteraan social, sebagaimana juga konsep “subak” di Bali, konsep subak merupakan sebuah kesepakatan musyawarah masyarakat desa untuk mendaulat seseorang menjadi Subak untuk mengatur pembagian jatah air untuk mengairi persawahan warga.
Desa atau nagari atau negeri dimana di strukturkan sebagai bagian dari bangunana strukturt pemerintah pusat yang di beri tanggung jawab oleh negara sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengontrol rakyat dan sebagai sasaran tujuan dari megaproyek pemerintah, pemerintah desa dijadikan target kepentingan penguasa dimana melakukan utang luar negeri kemudian melakukan berbagai bantuan ke desa sebagaimana kita kenal dalam orde baru ada dana IDT (Inpres Desa Tertinggal), dana subsidi desa yang besaran dananya sudah disunat untuk dana administrative dari pemerintahan provinsi hingga pemerintahan desa sehingga saat sampai ketangan rakyat jumlahnya tidak memadai lagi dapat untuk melakukan pembangunan desa.
Desa sebenarnya dapat melakukan pembangunan desa dengan melalui proses musyarwarah bersama, kebutuhan pembangunan seperti apa yang dibutuhkan oleh desa tersebut disepakati ditingkat desa sendiri, kemudian mengajukan proses pendanaannya ketingkat kota atau kabupaten, pola pembangunan buttom up yang harus dilakukan dan bukan top down.
Keberadaan kedaerahan di Indonesia sangat variatif dalam sistim pemerintahan yang cukup mengakar kondisi Indonesia terbentuk dari berbagai kerajaan kecil atau kesultanan yang keberadaannnya di seluruh nusantara dan proses demokrasi lokal yang dikembangkan di sana adalah musyawarah untuk mufakat sehingga penyesuaian demokrasi pun harus disesuaikan dengan budaya lokal sehingga keunikan lokal merupakan kekayaan dari masyarakat adat di Indonesia tidak dihilangkan.
Kesalahan terbesar dari pemerintah orde baru menempatkan etnies tertentu sebagai etnies dominan terhdap etnies yang lain, tak dapat disalahkan bahwa budaya jawa yang hampir mendominasi dan mengental dalam seluruh kehidupan masyarakat Indonesia sehingga tekesan budaya daerah dari etnik lain di tanah air di abaikan. Kondisi ini berlaku juga dalam seluruh struktur kepemimpinan dari tingkat pusat hingga daerah, berhubung dengan pemimpin lokal pada masa orde baru juga ditentukan dari pusat menyebabakan kesenjangan peran etnik lain dalam kepemimpinan lokal.
Dimana penempatan orang-orang Jawa sebagai Gubernur atau Bupati di daerah luar daerah sebagaimana pernah Gubernur Sulawesi Selatan di pimpin oleh Sudiro penerapan pola ini di pengaruhi oleh dominannya peran etniek Jawa dan korps TNI (orde baru = ABRI) dan kekuatan Golkar, dimana kekuatan ABG (ABRI-BIROKRASI-GOLKAR) sebagai penentu Indonesia, Model mengakomodasi pejabat pemerintah pada masa itu menyebabkan peran putra daerah, atau etnies dari daerah lain semakin termarjinalkan padahal ada putra daerah ada yang memiliki kapsitas yang cukup untuk menempati jabatan tersebut.
Kepemimpinan tingkat nasional hingga tingkat daerah harusnya lebih di tekankan pada kemampuan dan kapabilitas yang mumpuni untuk mengendalikan kepemimpinan nasional, masa orde lama Bung Hata menerapkan zaken kabinet dimana kementrian negara dipimpin oleh para menteri yang ahli dan tahu seluk- beluk bidang kementrian yang dipimpinya, konsep yang di tawarkan oleh Bung Hatta tersebut sepertinya seperti apa yang diharapkan oleh Sosiolog Jerman Max Webber mengenai tipe ideal birokrasi sebagaimana salah satu tipe ideal tersebut yakni, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian kompetitif (Miftah Thoha - Rajawali Pers - 2007).
Pemikiran rasionalitas Weber didasarkan atas pertimbangan rasionalitas dimana kondisi budaya pada waktu itu yang selalu menekankan rasionalitas dalam setiap kebijakan mereka namun kondisi Indonesia saat ini berbeda saat masa Orde Lama ketika Bung Hatta menekankan bahwa kabinet tidak hanya seutuhnya diduduki oleh mereka yang berasal dari partai politik tetapi jabatan ini pula dapat diemban oleh mereka yang berasal dari luar partai politik yang ahli dan berilmu seperti yang kita kenal; Ir, H. Djuanda, Sultan Hamengkubuwono IX, Prof.Mr. Moh. Yamin dan lainnya, mereka juga adalah putra-putri Indonesia yang waktu itu mengenyam pendidikan di luar negeri.
Apabila pertimbangan jabatan dan mengakomodir pihak-pihak yang dianggab mampu dan memiliki kapabilitas dilakukan pada waktu konteks waktu itu. Dengan demikian kondisi Indonesia hari ini yang telah menerapkan konsep otonomi daerah, serta demokratisasi maka penempatan jabatan pada tingkat nasioanal pun harus memiliki pertimbangan tertentu bahwa jabatan pemerintahan di tingkat nasional tidak hanya di tempati oleh mereka yang berasal dari partai politik pemenangan pemilu, tetapi kondisi konflik kedaerahan yang ingin memisahkan diri karena tidak dilibatkan dalam proses berbangsa, sharing power sebagai bentuk pelibatan daerah dalam pentas nasional sebagai sebuah solusi bagi konflik dan tuntutan pemisahan diri.
Pelibatan putra daerah dalam pentas nasional sudah seharusnya menjadi pertimbangan khusus, sebagaimana konsep zaken kabinet yang diusung oleh Bung Hatta, dimana para menteri yang memiliki kapasitas tetapi tidak berpartai politik diakomodir dalam struktur kabinet, tuntutan kemerdekaan di Papua menurun ketika ada Orang Papua dilibatkan dalam kabinet seperti pada kepemimpinan Megawati ada Immanuel Kaisepo sebagai Menteri Kawasan Timur Indonesia, pada kepemimpinan SBY ada Fredy Numberi sebagai Menteri Perhubungan.
Kepemimpinan nasional tidak dapat di tafsir berdasarkan budaya tertentu yang dijadikan ukuran untuk menentukan kepemimpinan nasioanal sebagaimana yang dilakukan pada masa orde baru yang kemungkinan mendasari pemilihan individu untuk menduduki jabatan tertentu berdasarkan paham Jawa tradisional tentang kekuasaan, yang pada waktu itu lebih kuat dan mendominasi sehingga menurut Hajriyanto Y. Tohari berpendapat bahwa kepercayaan kepada karisma seorang pemimpin selalu bersifat lokal atau terbatas, dan tidak pernah nasional, apalagi universal, yakni hanya karismatis di tempat, daerah atau golongan tertentu saja, serta tidak bagi komunitas atau entitas politik lainnya, maka kepimpinan karismatis cenderung menciptakan primordialisme (Maruto MD & Anwari WMK - LP3ES – 2002).
Menemukan kepemimpinan nasional seyogiannya memahami dalam konteks nasional dan tidak terbatas pada persepsi yang sempit pada daerah tertentu, namun perlu melihat berdasarkan mozaik keindonesiaan sebagai kekayaan dan perekat proses menjadi Indonesia.
Membangun Pluralisme
Persoalan bangsa yang juga tak kunjung usai yakni persoalan kebebasan beribadah, dimana pelarangan beribadah bagi komunitas tertentu yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, organsisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu, padahal para pendiri bangsa telah bersepakat bersama untuk menyepakati adanya kebebasan beribadah dan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini diharuskan sebagai identitas berbangsa dan bernegara sehinga perlu pencantuman identitas agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), namun dalam kekinian sepertinya upaya penghilangan dan proses homogenisasi agama menjadi agama yang tunggal begitu marak, sebagaimana yang dialami di berbagai di berbagai daerah pelarangan beribadah seperti yang dialami jemaat HKBP di Bekasi dan Bandung, jemaat GKI Yasmin di Bogor, pembakaran tempat ibadah dan pengusiran Jema’ah Ahmadyiah di Bogor dan di NTB.
Hidup beragama hari ini seperti diharuskan tetapi juga dibatasi padahal hidup beragama diatur dalam konstitusi dan di beri kebebasan penuh untuk beribadah sebagaimana yang tertulis dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa; “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” jaminan ini memberikan penegasan bahwa kemerdekaan bukan saja menyangkut kemerdekaan dari penjajahan, namun kemerdekaan untuk bebas memeluk agama dan beribadah namun kemerdekaan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, malahan masyarakat tidak bebas untuk beribadah karena peran negara yang seharusnya memuat kebebasan beribadah dalam konstitusi kenyataannya tidak negara gagal menjamin kebebasan tersebut.
Hidup beribadah dan beragama bahkan ada departemen khusus yang mngatur tentang kehidupan beragama, tidak hanya itu tetapi diatur dalam undang-undang yang mengatur proses pendirian sebuah rumah ibadah, Padahal seyogianya ada pemisahan antara agama dan negara, negara tidak berhak mengatur kehidupan beragama, karena menurut John Locke, dominasi negara yang dominan dalam mengatur rakyat akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapai kekuasaan Negara (Ahmad Suhelmi - Gramedia – 2001).
Sebenarnya dengan apa yang dikonstitusikan dalam pasal 29 UUD 45 sebenarnya mempertegas bahwa setiap warga negara berhak untuk beragama dan beribadah, dan dengan keberadaan departemen agama lebih pada kontrol untuk hak-hak beribadah tersebut terwujud atau terlaksana, namun control itu tidak terwujud. Jaminan untuk beribadah sepertinya menjadi barang-barang mahal.
Geografis Indonesia dimana di wilayah tertentu ada agama tertentu yang lebih dominan, sedangkan di tempat lain ada agama lain yang dominan, jika ada aturan yang mengatur akan syarat mendirikan rumah ibadah maka hal ini akan menyebabkan individu lain tidak dapat beribadah karena terbentur oleh syarat dukugan dari warga di sekitarnya untuk beribadah.
Sehingga hak yang di atur dalam dalam konstitusi tidak terwujud, namun ketika mereka memaksakan diri untuk melakukan peribadahan, pemerintah tidak mampu menjamin agar hak-hak beribadah terwujud bahkan melakukan pembiaran agar kelompok masyarakt tertentu melakukan penutupan secara paksa.
Persoalan ini dapat menyebabkan Indonesia akan mengalami pengkotak-kotakan wilayah dan bahkan melakukan pemisahan diri berdasarkan letak geografis dan jumlah pemeluk agama di wilayah tersebut apabila hal ini tidak ditanganimaka akan menjadi ancaman bagi Indonesia kedepan, maka menurut Locke negara diperkenankan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain (Ahmad Suhelmi – 2001).
Menata kembali negara sebagaimana keberadaan negara Indonesia dibentuk oleh para the founding father’s kita maka perlu partisipasi kita bersama untuk menumbuhkembangkan budaya serta gaya kepemimpinan yang telah di lakukan oleh mereka guna menopang keutuhan NKRI. Untuk mengembalikan Indonesia seperti harapan dan komitment para pendiri bangsa maka yang dibutuhkan adalah karakter kepemimpinan nasional yang memikirkan keseimbangan pembangunan ekonomi yang merata di seluru nusantara, roda ekonomi tidak hanya dikendalikan oleh segelintir orang saja, tetapi melakukan pembanguan yang merata di seluruh nusantara, memberikan peluang bagi seluruh rakyat serta memfasilitasi dalam mengakses modal untuk mengembangkan ekonomi dan potensi daerahnya sehingga tidak ada kesenjangan social yang menyebabkan mereka yang merasa terabaikan menuntut untuk memerdekakan diri.
Sharing power dalam kepemimpinan tidak didominasi oleh etnies tertentu atau melakukan ide tunggal dari daerah dan komunitas tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan, tetapi membuka kesempatan bagi semua orang untuk terlibat dengan memberikan ruang bagi mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai dari semua pelosok nusantara untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan.
Tidak memaksakan kehendak tunggal dan mayoritas dalam membatasi kebebsan dan hak-hak azasi dari semua warga negara, menjamin setiap warga negara untuk dimana dan kapan saja dapat mengekspresikan hak-hak azasinya. Tidak memutlakan salah satu nilai-nilai tradisional secara menyeluruh tetapi memberikan kesempatan bagi seluruh daerah untuk menggunakan nilai-nilai lokal (local wisdom) untuk diadopsi dalam menjalankan kepemimpinan, melihat nilai-nilai lokal dari daerah sebagai kekayaan bersama untuk dapat digunakan dalam komunikasi.
Memobilisasi semua komponen bangsa untuk menyadari bahwa keindonesian ada karena berbagai masyarakat yang sangat heterogen, dan memiliki kehidupan beragam yang pluralis, untuk menyatukan negara menyepakati dan berkomitment untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan tujuan nasional.
Apabila Indonesia akan tetap menjadi Indonesia jika pemerintah mampu menjamin akan pertumbuhan ekonomi yang merata ke seluruh daerah di tanah air, menghargai dan mengakui akan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang ada di tanah air, tidak menjadikan atau memperlakukan kebudayaan tertentu untuk mendominasi atau menjadi panutan utama dalam menetapkan sebuah kebijakan namun menempatkan kebudayaan-kebudayaan secara proporsional sebagai kekayaan bangsa. Menghargai akan keberagaman yang ada pluralisma agama di beri kesempatan yang sama untuk mengkespresikan diri tanpa di batasi. Seandainya hal-hal ini dinikmati dan direalisasikan dalam keseharian masyarkat maka Indonesia akan tetap menjadi rumah bersama dari keunikan mozaik keindonesiaan.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
*Yoyarib Mau
Menatap perjalanan adanya Indonesia adalah sebuah kemustahilan sehingga tidaklah salah jika para pendiri bangsa dalam pembuk aan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ketiga tercantum kalimat ….Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…….. kalimat ini memiliki nilai filosofis – teologis yang mendalam, sebuah refleksi yang patut diberi ancungan jempol.
Pengakuan tulus dari para pejuang kemerdekaan bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang membahagiakan karena keadaan yang menjadi hak mutlak dari semua bangsa namun harus melalui perjuangan yang panjang, namun para pendiri bangsa sadar bahwa ketika perjuangan panjang yang dilakukan bukan hanya semata-mata keringat mereka tetapi kemerdekaan ini adalah perkenan anugerah dari Sang Pencipta.
Mendasari terbentuknya sebuah negara dengan keyakinan bahwa ada kekuatan yang melampaui diri manusia yang mengelorakan perjuangan karena tanpa intervensi tersebut tak ada gelora perjuangan dalam diri para pejuang. Perjuangan untuk terbentuknya apa yang dinamakan Indonesia bukanlah hal yang mudah karena keberagaman budaya, etnik, agama serta negara kepulauan yang terbentang dari Sabang – Merauke, dari Miangas – Pulau Rote.
Proses menjadi bangsa Indonesia didasari karena memiliki tanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, berbangsa satu bahasa Indonesia. Proses menyatukan ini tidaklah mudah tetapi melalui perdebatan yang panjang, sehingga mampu menghasilkan susunan negara Republik Indonesia tidak berdasarkan dominasi atau kekuatan salah satu agama , kekuatan individu tertentu, tidak dipengaruhi oleh tawaran material namun dilakukan dalam niat untuk memajukan kesejahteraan umum maka musyawarah mufakat dilakukan dengan berasaskan kedaulatan rakyat untuk memfinalkan apa yang hari ini masih di kenal dengan Indonesia.
Namun perjalanan berbangsa sampai hari ini, Indonesia tidak luput dari persoalan keutuhan bangsa bahkan kembali mencuat persoalan ketuhan finalisasi NKRI yang sudah mutlak, persoalan kelam yang dilalui untuk mencapai kemerdekaan bangsa sepertinya tidak membekas dan terpendam dalam diri seluruh rakyat Indonesia, persoalan kesenjangan social, kemiskinan, pembangunan yang tidak merata membuat kelompok masyarakat memilih jalan pintas untuk memisahkan diri dari NKRI.
Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri karena ini persoalan Indonesia Kemaren, Hari ini dan Esok, persoalan pergolakan di daerah seperti PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta), persoalan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua, RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku, persoalan pemisahan diri secara geopolitik pemisahan diri berdasarkan etnisitas dan letak geografis, perjuangan pemisahan diri melalui ideologi politik agama pun terjadi seperti DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Daud Beureuh, Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan terus ada hanyalah berganti nama dan baju organisasi.
Konflik yang terjadi sepanjang proses menjadi Indonesia silih berganti, terus menerus terjadi sepertinya menghadirkan pertanyaan yang perlu didiagnosa bersama; Pertama; apakah fondasi kebangsaan Indonesia rapuh dan tidak lagi kuat menopang akan keutuhan NKRI ?, Kedua; apabila Indonesia diibaratkan dengan perspektif pertimbangan ekonomi, seandainya Indonesia ini adalah sebuah produk maka sudah saatnya Indonesia harus menemukan desain produk yang baik sehingga mampu mempertahankan apa yang diinginkan para pendiri bangsa ? Ketiga; apakah pembangunan yang saat ini dilakukan sudah tepat atau sebaliknya menimbulkan ketidakkeseimbangan dan perlakuan diskriminatif dalam mengakses pembangunan ekonomi ? pertanyaan-pertanyaan ini sebagai alat diagnosa untuk menemukan jalan keluar bagi persoalan bangsa ini.
Kondisi konflik dan pemisahan diri bukanlah keinginann para pendiri bangsa Indonesia, namun hal ini merupakan situasi konflik yang lebih bernuansa kedaerahan ini menurut Maswardi Rauf bahwa pegolakan daerah tidak perlu terjadi dan karena pergolkan daerah ini sebenarnya tidak ingin memisahkan diri dari NKRI tapi sikap ini merupakan protes terhadap perkembangan politik pada tingkat pusat dan ketidakpuasan beberapa daerah terhadap penanganan hubungan pusat-daerah oleh pemerintah pusat yang dianggap lebih menguntungkan Jakarta (Maswardi Rauf, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional 2001).
Ketika penerapan pemerintahan yang berpusat di Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan sentralisasi dimana semua berpusat dan dikendalikan di Jakarta, daerah memiliki wewenang yang terbatas, semua pajak dan sumber pendapatan lainnya harus di serahkan ke pusat kemudian inisiatif pemerintah pusat untuk memberikan berapa persen ke daerah. Kondisi ini membuat Jakarta sebagai penentu kebijakan dari pusat hingga ke daerah baik provinsi maupun kota/kabupaten.
Pola dalam menjalankan strategi pemerintahan ini menurut pemikiran Cornelis Lay bahwa, Jakarta, dengan ini, menemukan sebuah alat yang sedemikian powerfull untuk menuntaskan hasrat “penaklukan daerah`- daerah” secara total, sekalipun cita-cita pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas ekonomi dihadirkan secara terus-menerus sebagai selubung ideologinya. Model perencanaan ini pembangunan yang dikembangkan, Jakarta bertukar wajah secara cepat menjadi sentrum ketergantungan yang tampaknya “pemurah” (benevolent) –tampak dari sistem alokasi anggaran yang menempatkan Jakarta seolah-olah adalah sumber bukan saja perencanaan tapi sekaligus pembiayaan bagi daerah-daerah(Abdul Gaffar Karim - Pustaka Pelajar – 2006).
Model roda pemerintahan yang dijalankan dengan berpusat di daerah membuat rakyat menggerutu karena sepertinya semua hasil keringat didaerah semua di larikan ke Jakarta, semua didinikmati sepenuhnya di Jakarta, daerah hanya mendapatkan sisa anggaran yang di berikan oleh pusat, hal ini berdampak kepada pembangunan di daerah pembangunan di daerah sepertinya terabaikan.
Kebijakan pemusatan pola pemerintahan berimplikasi pada pembangunan ekonomi dan penentuan politik dimana proses menjalankan pemerintahan daerah segenapnya pun dikerahkan melalaui Jakarta sehingga terkesan Jakarta centris. Hal ini juga membuat mereka yang berada dekat lingkaran kekuasaan yang menikmati kekuasaan baik dari perhitungan ekonomi maupun akses untuk mendapatkan berbagai peluang usaha bahkan mendapatkan legitimasi untuk menjadi pemerintahan daerah.
Pembangunan Ekonomi
Sentralisasi mengakibatkan keterbelakangan di daerah karena semua kekayaan daerah yang melimpah dikeruk dan di bawa untuk membangun gedung-gedung tinggi di Jakarta, sebagaimana kita ketahui Aceh yang memiliki sumber alam yang melimpah tetapi rakayat di Aceh berada dalam lingkaran kemiskinana. Papua dengan kekayaang alam dan kandungan mineral yang melimpah dikuasai asing atas rekomendasi Jakarta, Jakarta menjamin perijinan serta jaminan keamanan bagi asing untuk melakukan eksploitasi tambang terbesar di Papua namun keuntungan tidak di nikmati oleh orang Papua keuntungan di nikmati oleh asing dan orang Jakarta, sedangkan orang Papua hanya mendulang dari hasil pembuangan tailing.
Kasus yang sama juga di alami oleh Provinsi-Provini yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi mereka tidak mendapatkan keuntungan tidak adannya keuntungan yang didapatkan oleh orang daerah, jika pengalokasian dana pusat bagi pembangunan di daerah berdasarkan jumlah penduduk maka masyarakat di luar pulau jawa yang memiliki keuntungan dari sumber daya alam yang melimpah tetapi mereka tidak mendapatkan keuntungan lebih banyak dari keuntungan tersebut.
Alam yang melimpah namun rakyatnya tetap menderita karena keuntungan di kuasai oleh elit pemerintah pusat kondisi ini kemudian membuat rakyat di daerah menuntut lebih, perjungan daerah untuk mendapatkan haknya di anggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap pusat sehingga stigma bagi mereka yang menuntut dianggap sebagai separatis, stigma ini kemudian membuat mereka berjuang dengan mengangkat senjata.
Membangun Demokrasi
Kehidupan masyarakat lokal di Indonesia yang dikenal dengan budaya gotong royong dan musyawara mufakat menjadi modal sosial bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan di daerah, budaya yang di miliki di seluruh etnik di nusantara masing-masing memiliki nama dan konsep yang berbeda-beda. Seperti konsep pemerintahan desa yang coba di seragamkan di tanah air sebenarnya telah mengkhianati bahkan mengabaikan konsep lokal dimana ada konsep pemerintahan lokal yang berbeda – beda sebagaimana di Padang ada konsep desa yang kita kenal dengan sebutan “nagari”, di Maluku dikenal dengan sebutan “negeri” dan Kepala Negeri merupakan sebutan untuk kepala negeri sebagaimana kepala desa untuk pemimpin desa di daerah lain, atau penerapan nama “distrik” di Papua untuk konsep pemerintahan di tingkat kecamatan.
Proses homogenisasi ini sebenarnya telah mengabaikan akan keberadaan konsep – konsep lokal yang substansi struktur pemerintahannya memiliki kesamaan dengan homogenisasi yang dilakukan pemerintah pusat yakni pemerintahan desa dengan dipimpin oleh seorang kepala desa. Padahal menurut Jhon Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung tercapainya kesejahteran social. Artinya demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antar warga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat social (Demokrasi Di Tingkat Lokal, Institute For Democracy And Electoral Assistance 2002).
Pemikiran Jhon Stuart Mill sebenarnya memberikan penekanan bahwa demokrasi sebenarnya bukan seutuhnya mengabaikan konsep pemerintahan lokal tetapi sebenarnya bagaimana konsep lokal dikembangkan demi terwujudnaya kesejahteraan social, sebagaimana juga konsep “subak” di Bali, konsep subak merupakan sebuah kesepakatan musyawarah masyarakat desa untuk mendaulat seseorang menjadi Subak untuk mengatur pembagian jatah air untuk mengairi persawahan warga.
Desa atau nagari atau negeri dimana di strukturkan sebagai bagian dari bangunana strukturt pemerintah pusat yang di beri tanggung jawab oleh negara sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengontrol rakyat dan sebagai sasaran tujuan dari megaproyek pemerintah, pemerintah desa dijadikan target kepentingan penguasa dimana melakukan utang luar negeri kemudian melakukan berbagai bantuan ke desa sebagaimana kita kenal dalam orde baru ada dana IDT (Inpres Desa Tertinggal), dana subsidi desa yang besaran dananya sudah disunat untuk dana administrative dari pemerintahan provinsi hingga pemerintahan desa sehingga saat sampai ketangan rakyat jumlahnya tidak memadai lagi dapat untuk melakukan pembangunan desa.
Desa sebenarnya dapat melakukan pembangunan desa dengan melalui proses musyarwarah bersama, kebutuhan pembangunan seperti apa yang dibutuhkan oleh desa tersebut disepakati ditingkat desa sendiri, kemudian mengajukan proses pendanaannya ketingkat kota atau kabupaten, pola pembangunan buttom up yang harus dilakukan dan bukan top down.
Keberadaan kedaerahan di Indonesia sangat variatif dalam sistim pemerintahan yang cukup mengakar kondisi Indonesia terbentuk dari berbagai kerajaan kecil atau kesultanan yang keberadaannnya di seluruh nusantara dan proses demokrasi lokal yang dikembangkan di sana adalah musyawarah untuk mufakat sehingga penyesuaian demokrasi pun harus disesuaikan dengan budaya lokal sehingga keunikan lokal merupakan kekayaan dari masyarakat adat di Indonesia tidak dihilangkan.
Kesalahan terbesar dari pemerintah orde baru menempatkan etnies tertentu sebagai etnies dominan terhdap etnies yang lain, tak dapat disalahkan bahwa budaya jawa yang hampir mendominasi dan mengental dalam seluruh kehidupan masyarakat Indonesia sehingga tekesan budaya daerah dari etnik lain di tanah air di abaikan. Kondisi ini berlaku juga dalam seluruh struktur kepemimpinan dari tingkat pusat hingga daerah, berhubung dengan pemimpin lokal pada masa orde baru juga ditentukan dari pusat menyebabakan kesenjangan peran etnik lain dalam kepemimpinan lokal.
Dimana penempatan orang-orang Jawa sebagai Gubernur atau Bupati di daerah luar daerah sebagaimana pernah Gubernur Sulawesi Selatan di pimpin oleh Sudiro penerapan pola ini di pengaruhi oleh dominannya peran etniek Jawa dan korps TNI (orde baru = ABRI) dan kekuatan Golkar, dimana kekuatan ABG (ABRI-BIROKRASI-GOLKAR) sebagai penentu Indonesia, Model mengakomodasi pejabat pemerintah pada masa itu menyebabkan peran putra daerah, atau etnies dari daerah lain semakin termarjinalkan padahal ada putra daerah ada yang memiliki kapsitas yang cukup untuk menempati jabatan tersebut.
Kepemimpinan tingkat nasional hingga tingkat daerah harusnya lebih di tekankan pada kemampuan dan kapabilitas yang mumpuni untuk mengendalikan kepemimpinan nasional, masa orde lama Bung Hata menerapkan zaken kabinet dimana kementrian negara dipimpin oleh para menteri yang ahli dan tahu seluk- beluk bidang kementrian yang dipimpinya, konsep yang di tawarkan oleh Bung Hatta tersebut sepertinya seperti apa yang diharapkan oleh Sosiolog Jerman Max Webber mengenai tipe ideal birokrasi sebagaimana salah satu tipe ideal tersebut yakni, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian kompetitif (Miftah Thoha - Rajawali Pers - 2007).
Pemikiran rasionalitas Weber didasarkan atas pertimbangan rasionalitas dimana kondisi budaya pada waktu itu yang selalu menekankan rasionalitas dalam setiap kebijakan mereka namun kondisi Indonesia saat ini berbeda saat masa Orde Lama ketika Bung Hatta menekankan bahwa kabinet tidak hanya seutuhnya diduduki oleh mereka yang berasal dari partai politik tetapi jabatan ini pula dapat diemban oleh mereka yang berasal dari luar partai politik yang ahli dan berilmu seperti yang kita kenal; Ir, H. Djuanda, Sultan Hamengkubuwono IX, Prof.Mr. Moh. Yamin dan lainnya, mereka juga adalah putra-putri Indonesia yang waktu itu mengenyam pendidikan di luar negeri.
Apabila pertimbangan jabatan dan mengakomodir pihak-pihak yang dianggab mampu dan memiliki kapabilitas dilakukan pada waktu konteks waktu itu. Dengan demikian kondisi Indonesia hari ini yang telah menerapkan konsep otonomi daerah, serta demokratisasi maka penempatan jabatan pada tingkat nasioanal pun harus memiliki pertimbangan tertentu bahwa jabatan pemerintahan di tingkat nasional tidak hanya di tempati oleh mereka yang berasal dari partai politik pemenangan pemilu, tetapi kondisi konflik kedaerahan yang ingin memisahkan diri karena tidak dilibatkan dalam proses berbangsa, sharing power sebagai bentuk pelibatan daerah dalam pentas nasional sebagai sebuah solusi bagi konflik dan tuntutan pemisahan diri.
Pelibatan putra daerah dalam pentas nasional sudah seharusnya menjadi pertimbangan khusus, sebagaimana konsep zaken kabinet yang diusung oleh Bung Hatta, dimana para menteri yang memiliki kapasitas tetapi tidak berpartai politik diakomodir dalam struktur kabinet, tuntutan kemerdekaan di Papua menurun ketika ada Orang Papua dilibatkan dalam kabinet seperti pada kepemimpinan Megawati ada Immanuel Kaisepo sebagai Menteri Kawasan Timur Indonesia, pada kepemimpinan SBY ada Fredy Numberi sebagai Menteri Perhubungan.
Kepemimpinan nasional tidak dapat di tafsir berdasarkan budaya tertentu yang dijadikan ukuran untuk menentukan kepemimpinan nasioanal sebagaimana yang dilakukan pada masa orde baru yang kemungkinan mendasari pemilihan individu untuk menduduki jabatan tertentu berdasarkan paham Jawa tradisional tentang kekuasaan, yang pada waktu itu lebih kuat dan mendominasi sehingga menurut Hajriyanto Y. Tohari berpendapat bahwa kepercayaan kepada karisma seorang pemimpin selalu bersifat lokal atau terbatas, dan tidak pernah nasional, apalagi universal, yakni hanya karismatis di tempat, daerah atau golongan tertentu saja, serta tidak bagi komunitas atau entitas politik lainnya, maka kepimpinan karismatis cenderung menciptakan primordialisme (Maruto MD & Anwari WMK - LP3ES – 2002).
Menemukan kepemimpinan nasional seyogiannya memahami dalam konteks nasional dan tidak terbatas pada persepsi yang sempit pada daerah tertentu, namun perlu melihat berdasarkan mozaik keindonesiaan sebagai kekayaan dan perekat proses menjadi Indonesia.
Membangun Pluralisme
Persoalan bangsa yang juga tak kunjung usai yakni persoalan kebebasan beribadah, dimana pelarangan beribadah bagi komunitas tertentu yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, organsisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu, padahal para pendiri bangsa telah bersepakat bersama untuk menyepakati adanya kebebasan beribadah dan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini diharuskan sebagai identitas berbangsa dan bernegara sehinga perlu pencantuman identitas agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), namun dalam kekinian sepertinya upaya penghilangan dan proses homogenisasi agama menjadi agama yang tunggal begitu marak, sebagaimana yang dialami di berbagai di berbagai daerah pelarangan beribadah seperti yang dialami jemaat HKBP di Bekasi dan Bandung, jemaat GKI Yasmin di Bogor, pembakaran tempat ibadah dan pengusiran Jema’ah Ahmadyiah di Bogor dan di NTB.
Hidup beragama hari ini seperti diharuskan tetapi juga dibatasi padahal hidup beragama diatur dalam konstitusi dan di beri kebebasan penuh untuk beribadah sebagaimana yang tertulis dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa; “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” jaminan ini memberikan penegasan bahwa kemerdekaan bukan saja menyangkut kemerdekaan dari penjajahan, namun kemerdekaan untuk bebas memeluk agama dan beribadah namun kemerdekaan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, malahan masyarakat tidak bebas untuk beribadah karena peran negara yang seharusnya memuat kebebasan beribadah dalam konstitusi kenyataannya tidak negara gagal menjamin kebebasan tersebut.
Hidup beribadah dan beragama bahkan ada departemen khusus yang mngatur tentang kehidupan beragama, tidak hanya itu tetapi diatur dalam undang-undang yang mengatur proses pendirian sebuah rumah ibadah, Padahal seyogianya ada pemisahan antara agama dan negara, negara tidak berhak mengatur kehidupan beragama, karena menurut John Locke, dominasi negara yang dominan dalam mengatur rakyat akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapai kekuasaan Negara (Ahmad Suhelmi - Gramedia – 2001).
Sebenarnya dengan apa yang dikonstitusikan dalam pasal 29 UUD 45 sebenarnya mempertegas bahwa setiap warga negara berhak untuk beragama dan beribadah, dan dengan keberadaan departemen agama lebih pada kontrol untuk hak-hak beribadah tersebut terwujud atau terlaksana, namun control itu tidak terwujud. Jaminan untuk beribadah sepertinya menjadi barang-barang mahal.
Geografis Indonesia dimana di wilayah tertentu ada agama tertentu yang lebih dominan, sedangkan di tempat lain ada agama lain yang dominan, jika ada aturan yang mengatur akan syarat mendirikan rumah ibadah maka hal ini akan menyebabkan individu lain tidak dapat beribadah karena terbentur oleh syarat dukugan dari warga di sekitarnya untuk beribadah.
Sehingga hak yang di atur dalam dalam konstitusi tidak terwujud, namun ketika mereka memaksakan diri untuk melakukan peribadahan, pemerintah tidak mampu menjamin agar hak-hak beribadah terwujud bahkan melakukan pembiaran agar kelompok masyarakt tertentu melakukan penutupan secara paksa.
Persoalan ini dapat menyebabkan Indonesia akan mengalami pengkotak-kotakan wilayah dan bahkan melakukan pemisahan diri berdasarkan letak geografis dan jumlah pemeluk agama di wilayah tersebut apabila hal ini tidak ditanganimaka akan menjadi ancaman bagi Indonesia kedepan, maka menurut Locke negara diperkenankan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain (Ahmad Suhelmi – 2001).
Menata kembali negara sebagaimana keberadaan negara Indonesia dibentuk oleh para the founding father’s kita maka perlu partisipasi kita bersama untuk menumbuhkembangkan budaya serta gaya kepemimpinan yang telah di lakukan oleh mereka guna menopang keutuhan NKRI. Untuk mengembalikan Indonesia seperti harapan dan komitment para pendiri bangsa maka yang dibutuhkan adalah karakter kepemimpinan nasional yang memikirkan keseimbangan pembangunan ekonomi yang merata di seluru nusantara, roda ekonomi tidak hanya dikendalikan oleh segelintir orang saja, tetapi melakukan pembanguan yang merata di seluruh nusantara, memberikan peluang bagi seluruh rakyat serta memfasilitasi dalam mengakses modal untuk mengembangkan ekonomi dan potensi daerahnya sehingga tidak ada kesenjangan social yang menyebabkan mereka yang merasa terabaikan menuntut untuk memerdekakan diri.
Sharing power dalam kepemimpinan tidak didominasi oleh etnies tertentu atau melakukan ide tunggal dari daerah dan komunitas tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan, tetapi membuka kesempatan bagi semua orang untuk terlibat dengan memberikan ruang bagi mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai dari semua pelosok nusantara untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan.
Tidak memaksakan kehendak tunggal dan mayoritas dalam membatasi kebebsan dan hak-hak azasi dari semua warga negara, menjamin setiap warga negara untuk dimana dan kapan saja dapat mengekspresikan hak-hak azasinya. Tidak memutlakan salah satu nilai-nilai tradisional secara menyeluruh tetapi memberikan kesempatan bagi seluruh daerah untuk menggunakan nilai-nilai lokal (local wisdom) untuk diadopsi dalam menjalankan kepemimpinan, melihat nilai-nilai lokal dari daerah sebagai kekayaan bersama untuk dapat digunakan dalam komunikasi.
Memobilisasi semua komponen bangsa untuk menyadari bahwa keindonesian ada karena berbagai masyarakat yang sangat heterogen, dan memiliki kehidupan beragam yang pluralis, untuk menyatukan negara menyepakati dan berkomitment untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan tujuan nasional.
Apabila Indonesia akan tetap menjadi Indonesia jika pemerintah mampu menjamin akan pertumbuhan ekonomi yang merata ke seluruh daerah di tanah air, menghargai dan mengakui akan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang ada di tanah air, tidak menjadikan atau memperlakukan kebudayaan tertentu untuk mendominasi atau menjadi panutan utama dalam menetapkan sebuah kebijakan namun menempatkan kebudayaan-kebudayaan secara proporsional sebagai kekayaan bangsa. Menghargai akan keberagaman yang ada pluralisma agama di beri kesempatan yang sama untuk mengkespresikan diri tanpa di batasi. Seandainya hal-hal ini dinikmati dan direalisasikan dalam keseharian masyarkat maka Indonesia akan tetap menjadi rumah bersama dari keunikan mozaik keindonesiaan.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Selasa, 14 Desember 2010
"KORUPSI ITU LAKNAT"
“KORUPSI ITU LAKNAT”
*Yoyarib Mau
Korupsi ibarat ngengat yang terus menggerogoti seluruh tatanan kehidupan manusia, bagaimana tidak berbagai upaya dan bentuk penanganan yang dilakukan baik itu secara formal melalui lembaga resmi yakni lembaga hukum seperti adanya lembaga yudikatif untuk melakukan penegakan hukum namun para penegak hukum pun tak berdaya karena dikerat oleh ngengat korupsi.
Sepanjang sejarah hidup manusia korupsi sepertinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wajah para penguasa, rakyat menjadi alergi dengan kekuasaan karena kekuasaan dimana penguasa selalu diidentikan dengan korupsi. Apabila korupsi menggantikan hukum sebagai panglima dalam sebuah pemerintahan maka semua bentuk sistem dan proses pemerintahan akan selalu diselesaikan dengan pola korupsi.
Komitment awal dimana negara dibentuk pada prinsipnya berkomitment bersama untuk mendatangkan kesejahteraan bersama bagi masyarakat, sehingga rakyat bahu membahu membangun negara itu, serta membayar sejumlah nilai dalam bentuk materi kepada mereka yang didaulat untuk mengorganisir negara, dalam mengorganisir institusi yang namanya negara mereka melakukannya sebagai pengabdian bagi sesame, mereka yang didaulat untuk mengorganisir negara yang kemudian dikenal dengan sebutan legislatife dan eksekutif.
Para abdi ini yang kemudian di kenal dengan sebutan “apparatus negara” tanpa memikirkan untuk memperkaya atau mencari keuntungan bagi diri dan keluarganya , namun seiring dengan majunya peradaban dan proses interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya maka mereka membutuhkan alat tukar yakni uang.
Proses mengorganisir yang dilakukan oleh negara dalam hal ini dilakukan para apparatus ini, selalu bersentuhan dengan uang real untuk proses administrasi, sehingga setiap waktu uang menjadi alat untuk memudahkan proses administrasi. Dan rakyat pun selalu berusaha untuk mendapatkan perlakuan khusus, mudah dan selalu berkompetensi untuk mendapatkan yang terbaik, dan istimewa, namun proses untuk mendapatkan perlakuan istimewa ini tidak dilakukan melalui proses yang normal.
Ketidak normalan dalam memenuhi pelayanan administrasi bagi rakyat di paksakan oleh para apparatus agar proses ini pun di lakukan melalui sebuah proses transaksi sebagaimana ketika rakyat bertemu di pasar dan melakukan transaksi jual beli. Pergeseran paradigma yang dilakukan oleh para apparatus negara dimana kehadiran negara untuk melakukan pelayanan publik bagi rakyat telah di bajak dan dialih perankan dari arena pelayanan publi menjadi arena pasar.
Perubahan ini menghentar para apparatus negara berubah menjadi pebisnis mereka melakukan penyalahgunaaan jabatan dimana telah melakukan pengkhianatan diri bahkan membunuh karakternya untuk bertransaki dengan rakyatnya sendiri, perilaku ini kemudian turun-temurun mengalir dan menjadi hama dalam tubuh apparatus negara.
Transaksi membisniskan arena administrasi publik menjadi lahan pengembangbiakan hama korupsi, hama korupsi tidak dapat dikendalikan lagi tetapi menjadi wabah yang mematikan sehingga akhirnya manusia melihatnya sebagai laknat dan tulah yang harus di tolak, seandainya korupsi sebagai laknat bagi bangsa bagaimana mengatasinya atau apa yang harus dilakukan bagi koruptor yang ditimpa laknat ?
Hama Koruptor
Apparatus negaralah yang selalu ditimpa laknat koruptor, karena merekalah yang didaulat untuk melakukan tugas administrative dan menegakan hukum malah ditimpa laknat karena menyalahfungsikan arena adminstrasi menjadi arena pasar, perilaku inilah yang dilakukan oleh Gayus Halomoan Tambunan seorang Pegawai Dirjen Pajak Golongan III. Pasar selalu dikabuti dengan hukum ekonomi yakni mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sehingga tidak dapat disalahkan jika Gayus memiliki kekayaan lebih dari seorang saudagar.
Kondisi bangsa yang ditimpa dengan laknat, membuat masyarakat sudah seharusnya sadar bahwa ini derita nasional, sehingga seluruh komponen bangsa menyepakati bahwa koruptor sebagai musuh bersama, ibarat petani melihat hama tikus/belalang di sawah sebagai musuh yang harus di basmi.]
Konon dalam kehidupan masyarakat desa ketika hama yang menyerang tanaman padi atau tanaman rakyat lainnya maka masyarakat desa dikoordinir oleh seorang “subak” individu yang didaulat untuk mengatur irigasi di persawahaan mengundang seluruh rakyat untuk bergotong royong membasmi hama yang menimpa masayrakat desa.
Apabila negara dalam hal ini pemerintah memiliki niat baik dan menempatkan koruptor sebagai hama yang harus di basmi maka segala aparat penegak hukum dikerahkan untuk melakukan pembasmian tanpa ada kompromi. Kenyataannnya para penegak hukum pun di jangkiti hama dan menjadi koruptor sebagaimana yang dialami di tubuh Mahkamah Konstitusi dimana salah satu Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi diduga terlibat suap.
Pestisida Sosial
Apabila laknat atau kutukan ini harus dibasmi atau ditanggalkan dari diri bangsa maka dibutuhkan pestisida sosial yang mampu membasmi laknat ini. Upaya untuk menyudahi laknat ini sepertinya menuai jalan buntu walau pemerintah SBY berkomitmen dengan dibentuknya komisi khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, namun kehadiran komisi ini sepertinya bukanlah obat pestisida sosial yang ampuh dan mematikan yang dibutuhkan masyarakat karena dalam perjalanannya sepertinaya menjadi tawar dan bersahabat dengan hama koruptor.
Produksi Pestisida sosial yang ampuh dibutuhkan bangsa saat ini adalah kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa dalam melihat hama koruptor ini, sehingga ramuan pestisida sosial ini sudah seharusnya datang dari masyarakat sendiri. Tawaran obat pestisida yang penulis ingin tawarkan kepada obat pembasmi hama yakni apabila ada masyarakat terinfeksi hama koruptor maka hama itu harus dikucilkan dari komnitas masyarakat, pengucilan dilakukan dengan tidak membangun komunikasi dengan sang koruptor, tidak melibatkan sang koruptor dalam kegiatan masayrakat dan kegiatan keagamaan sehingga harapan dari perlakuan ini dapat dijadikan hukuman sosial yang berlaku mutlak di seluruh pelosok nusantara.
Pembasmian hama dengan obat pestisida sosial ini sebagai bentuk pengambilalihan hukuman yang seharusnya menjadi komitment penguasa dengan melakukan sikap tegas para penegak hukum yang berjalan di tempat maka rakyat dapat melakukan pengadilan rakyat dengan hukuman rakyat yakni dilakukan dengan obat pestisida sosial.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
*Yoyarib Mau
Korupsi ibarat ngengat yang terus menggerogoti seluruh tatanan kehidupan manusia, bagaimana tidak berbagai upaya dan bentuk penanganan yang dilakukan baik itu secara formal melalui lembaga resmi yakni lembaga hukum seperti adanya lembaga yudikatif untuk melakukan penegakan hukum namun para penegak hukum pun tak berdaya karena dikerat oleh ngengat korupsi.
Sepanjang sejarah hidup manusia korupsi sepertinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wajah para penguasa, rakyat menjadi alergi dengan kekuasaan karena kekuasaan dimana penguasa selalu diidentikan dengan korupsi. Apabila korupsi menggantikan hukum sebagai panglima dalam sebuah pemerintahan maka semua bentuk sistem dan proses pemerintahan akan selalu diselesaikan dengan pola korupsi.
Komitment awal dimana negara dibentuk pada prinsipnya berkomitment bersama untuk mendatangkan kesejahteraan bersama bagi masyarakat, sehingga rakyat bahu membahu membangun negara itu, serta membayar sejumlah nilai dalam bentuk materi kepada mereka yang didaulat untuk mengorganisir negara, dalam mengorganisir institusi yang namanya negara mereka melakukannya sebagai pengabdian bagi sesame, mereka yang didaulat untuk mengorganisir negara yang kemudian dikenal dengan sebutan legislatife dan eksekutif.
Para abdi ini yang kemudian di kenal dengan sebutan “apparatus negara” tanpa memikirkan untuk memperkaya atau mencari keuntungan bagi diri dan keluarganya , namun seiring dengan majunya peradaban dan proses interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya maka mereka membutuhkan alat tukar yakni uang.
Proses mengorganisir yang dilakukan oleh negara dalam hal ini dilakukan para apparatus ini, selalu bersentuhan dengan uang real untuk proses administrasi, sehingga setiap waktu uang menjadi alat untuk memudahkan proses administrasi. Dan rakyat pun selalu berusaha untuk mendapatkan perlakuan khusus, mudah dan selalu berkompetensi untuk mendapatkan yang terbaik, dan istimewa, namun proses untuk mendapatkan perlakuan istimewa ini tidak dilakukan melalui proses yang normal.
Ketidak normalan dalam memenuhi pelayanan administrasi bagi rakyat di paksakan oleh para apparatus agar proses ini pun di lakukan melalui sebuah proses transaksi sebagaimana ketika rakyat bertemu di pasar dan melakukan transaksi jual beli. Pergeseran paradigma yang dilakukan oleh para apparatus negara dimana kehadiran negara untuk melakukan pelayanan publik bagi rakyat telah di bajak dan dialih perankan dari arena pelayanan publi menjadi arena pasar.
Perubahan ini menghentar para apparatus negara berubah menjadi pebisnis mereka melakukan penyalahgunaaan jabatan dimana telah melakukan pengkhianatan diri bahkan membunuh karakternya untuk bertransaki dengan rakyatnya sendiri, perilaku ini kemudian turun-temurun mengalir dan menjadi hama dalam tubuh apparatus negara.
Transaksi membisniskan arena administrasi publik menjadi lahan pengembangbiakan hama korupsi, hama korupsi tidak dapat dikendalikan lagi tetapi menjadi wabah yang mematikan sehingga akhirnya manusia melihatnya sebagai laknat dan tulah yang harus di tolak, seandainya korupsi sebagai laknat bagi bangsa bagaimana mengatasinya atau apa yang harus dilakukan bagi koruptor yang ditimpa laknat ?
Hama Koruptor
Apparatus negaralah yang selalu ditimpa laknat koruptor, karena merekalah yang didaulat untuk melakukan tugas administrative dan menegakan hukum malah ditimpa laknat karena menyalahfungsikan arena adminstrasi menjadi arena pasar, perilaku inilah yang dilakukan oleh Gayus Halomoan Tambunan seorang Pegawai Dirjen Pajak Golongan III. Pasar selalu dikabuti dengan hukum ekonomi yakni mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sehingga tidak dapat disalahkan jika Gayus memiliki kekayaan lebih dari seorang saudagar.
Kondisi bangsa yang ditimpa dengan laknat, membuat masyarakat sudah seharusnya sadar bahwa ini derita nasional, sehingga seluruh komponen bangsa menyepakati bahwa koruptor sebagai musuh bersama, ibarat petani melihat hama tikus/belalang di sawah sebagai musuh yang harus di basmi.]
Konon dalam kehidupan masyarakat desa ketika hama yang menyerang tanaman padi atau tanaman rakyat lainnya maka masyarakat desa dikoordinir oleh seorang “subak” individu yang didaulat untuk mengatur irigasi di persawahaan mengundang seluruh rakyat untuk bergotong royong membasmi hama yang menimpa masayrakat desa.
Apabila negara dalam hal ini pemerintah memiliki niat baik dan menempatkan koruptor sebagai hama yang harus di basmi maka segala aparat penegak hukum dikerahkan untuk melakukan pembasmian tanpa ada kompromi. Kenyataannnya para penegak hukum pun di jangkiti hama dan menjadi koruptor sebagaimana yang dialami di tubuh Mahkamah Konstitusi dimana salah satu Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi diduga terlibat suap.
Pestisida Sosial
Apabila laknat atau kutukan ini harus dibasmi atau ditanggalkan dari diri bangsa maka dibutuhkan pestisida sosial yang mampu membasmi laknat ini. Upaya untuk menyudahi laknat ini sepertinya menuai jalan buntu walau pemerintah SBY berkomitmen dengan dibentuknya komisi khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, namun kehadiran komisi ini sepertinya bukanlah obat pestisida sosial yang ampuh dan mematikan yang dibutuhkan masyarakat karena dalam perjalanannya sepertinaya menjadi tawar dan bersahabat dengan hama koruptor.
Produksi Pestisida sosial yang ampuh dibutuhkan bangsa saat ini adalah kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa dalam melihat hama koruptor ini, sehingga ramuan pestisida sosial ini sudah seharusnya datang dari masyarakat sendiri. Tawaran obat pestisida yang penulis ingin tawarkan kepada obat pembasmi hama yakni apabila ada masyarakat terinfeksi hama koruptor maka hama itu harus dikucilkan dari komnitas masyarakat, pengucilan dilakukan dengan tidak membangun komunikasi dengan sang koruptor, tidak melibatkan sang koruptor dalam kegiatan masayrakat dan kegiatan keagamaan sehingga harapan dari perlakuan ini dapat dijadikan hukuman sosial yang berlaku mutlak di seluruh pelosok nusantara.
Pembasmian hama dengan obat pestisida sosial ini sebagai bentuk pengambilalihan hukuman yang seharusnya menjadi komitment penguasa dengan melakukan sikap tegas para penegak hukum yang berjalan di tempat maka rakyat dapat melakukan pengadilan rakyat dengan hukuman rakyat yakni dilakukan dengan obat pestisida sosial.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Senin, 13 Desember 2010
"DUA SISI INTELEJEN"
“DUA SISI BADAN INTELEJEN”
*Yoyarib Mau
Bocornya dokumen - dokumen rahasia yang bersumber dari situs wikileaks membuat masayarakat dunia menjadi terpecah akan keberadaan Intelejen, kelompok yang setuju akan keberadaan intelejin akan menghujat keberadan situs wikileaks dan menuntut agar pendiri situs ini di tangkap karena membocorkan dokumen - dokumen rahasia, namun kelompok yang tidak setuju akan perilaku intelijin asing yang mengutak-atik kedaulatan sebuah negara, memberikan dukungan moril bagi pendiri situs ini.
Keberadaan Intelejin ibarat dua sisi mata uang dibutuhkan untuk menjamin keamanan negara dari ancaman luar maupun dalam negeri, tetapi tetapi di lain kesempatan menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri. Sistem kerahasian dokumen dan informasi negara merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk menjamin kedaulatan sebuah negara, namun kedaulatan negara yang dimaksud disinipun mengalami hegemoni kekuasaan dari negara-negara adidaya.
Bagaimana tidak keberadaan dinas rahasia dari negara-negara adidaya bisa dengan mudah memasuki negara-negara tertentu untuk mencari informasi bahkan melakukan aktifitas mata-mata bagi kepentingan negara asalnya. Keberadaan agen rahasia dunia yang sudah mendunia seperti CIA (Amerika), Mozzad (Israel), KGB (Rusia), MI6 (Inggris).
Keberadaan agen atau dinas rahasia ini sanagat dibutuhkan oleh negara untuk membantu negara dalam menyelesaikan persoalan atau memperoleh informasi tentang aktifitas individu atau kelompok yang membahayakan orang lain atau negara. Informasi yang di peroleh oleh agen rahasia ini haruslah di jaga kerahasiaannya, dan hanya menjadi konsumsi lembaga terkait dalam melaksanakan tugas kenegaraannya.
Intelejen adalah nama lain dari dinas rahasia yang sangat familiar dalam dunia militer, menurut Direktur Pro Patria Institut T Hari Prihartono menilai dalam sistem keamanan nasional, intelejen negara ditempatkan sebagai satu isntitusi yang diberikan kewenangan khusus yang dimungkinkan melanggar kaidah-kaidah demokrasi, khususnya terkait informasi public dan pembatasan ruang privat seseorang (Republik Online – 18 Nov – 2010)
Pemikiran ini membuat keberadaan intelejen menjadi institusi yang memiliki dua sisi yakni sisi baik maupun buruk atau sisi disukai dan dan sisi dibenci, keberadaan lembaga ini untuk menegakan kedamaian namun juga keberadaannya menghadirkan benih kebencian. Kondisi ini di picu oleh pasca pengeboman di WTC pada 11 September 2001 terjadi globalisasi intelejen karena terjadi pertukaran informasi antar negara mengenai keberadaan para terorisme yang dianggab menjadi ancaman bagi manusia dunia.
Pertukaran informasi untuk menangkap para teroris dan pelaku kejahaatan dunia dilakukan oleh lembaga-lembaga intelejen dunia untuk mengetahui jaringan-jaringan dari kelompok radikal dunia yang telah mampu meruntuhkan hegemoni teknologi pertahanan dan kemaanan AS yang dianggap sebagai salah satu negara dengan sistem kemaanan terbaik dunia.
Atas dasar informasi dari berbagai intelejin dunia sehingga memberikan berbagai informasi mengenai kelompok-kelompok yang dianggap sebagai teroris atau ancaman bagi komunitas dunia, namun suatu sisi demi membasmi para teroris yang telah melakukan aksinya pada 11 September 2001 membuat para agen rahasia ini melakukan banyak tindakan yang dianggab tidak memenuhi kaidah-kaidah kemanusiaan. Tindakan yang dilakukan seperti menghabiskan nyawa orang yang dianggab membahayakan atau terlibat terorisme sepertinya di sepakati oleh semua negara yang memiliki kerjasama dalam bidang intelejen.
Kondisi perlakuan tidak manusia ini membuat para aktifis kemanusiaan melakukan protes bahkan keinginana untuk penegakan hak asasi manusia, bagi apara aktifis kemanusiaan proses penghilangan nyawa orang lain tanpa proses hukum yang layak merupakan sebuah ketidakadilan sehingga para aktifis ini menentang perilaku para intelejen tersebut.
Komunitas masyarakat yang memperjuangakan hak-hak kemanusiaan ini yang kemudian membangun komunikasi dengan mempublikasikan praktek-praktek ketidakmanusiaan dari para dinas intelejen dunia ini, sehingga para aktifitas sepakat untuk mendirikan situs wikileaks sebagai jaring informasi untuk membagi informasi perbuatan atau kesepakatan tidak manusiawi lainnya atau kesepakatan yang merugikan orang lain.
Apabila institusi intelejen ini dalam prakteknya dianggab melanggar nilai-nilai kemanusiaan tetapi mengapa institusi ini dibutuhkan dalam sebuah negara ? pernyataan ini akan mendasari pembahasan tulisan ini, bahwa mengapa intelejen di butuhkan tetapi juga di tolak. Keberadaan intelejen merupakan sebuah kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan karena dapat membantu segala aktifitas politik dari segala penguasa, hal ini lah yangditerapkan oleh Soeharto dalam melanggengkan kekuasaannya yakni memakai tentara sebagai agen rahasia untuk memata-matai aktifitas individu atau rakyat yang tidak setuju dengan kepemimpinannnya.
Intelejen Bukan Perpanjangan Tangan Penguasa
Soeharto memanfaatkan dinas intelejen di bawah kendali militer untuk mengamankan kekuasaannnya bahkan lebih para lagi militer dan intelejen di tarik dalam politik praktis sehingga peran intelejen tidak lagi independen tetapi bekerja untuk kemenangan partai politik dan penguasa yang berkuasa sehingga nyawa atau keberadaan lawan politik di berangus atau dihilangkan karena dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan, dimana dalam pemilu semasa orde baru babinsa sebagai perpanjangan tangan dari penguasa bertindak sebagai militer, intelejen sekaligus corong politik untuk memenangkan golkar dalam setiap pemilu sepanjang kejayaan orde baru.
Keberadaan intelejen menjadi tidak efektif dan mengalami penolakan karena apabila keberadaan intelejen di tunggangi oleh kepentingan tertentu baik itu partai politik, penguasa yang berkuasa bahkan bekerja bagi kepentingan perusahaan tertentu, karena akan mengkhianati keberadaannya sebagai lembaga independen, keberadaan intelejen mengemban tugas dan tanggung jawab strategis untuk mengamati kehidupan masyarakat dan melakukan penyampaian informasi kepada pemerintah untuk di tindak lanjuti dengan kebijakan tertentu, namun informasi itu perlu di kajia kembali untuk dipastikan valid dan dapat di pertanggungjawabkan kepada pemerintah sehingga ada ada kebijakan pengamanan guna kebaikan dan kedaulatan bangsa dan negara.
Fungsi intelejen haruslah mandiri tidak di memakai jalur politik seperti memfungsikan keberadaan diplomatik karena kebradaan diplomatik yang dimanfaatkan sebagai badan intelejin akan menyebabkan bocornya berbagai informasi sebagaimana yang terjadi atas dokumen yang dirilis dari 274 Kedutaan Amerika di berbagai belahan dunia (Majalah Tempo 06 – 12 Desember 2010) karena akan putusnya hubungan diplomatik antar negara-negara. Bahkan dinas intelejen dapat dipakai oleh korporasi dunia (multinational corporation) untuk melanggengkan usahanya. Hal ini serupa yang dilakukan oleh Soeharto dengan memanfaatkan keberadaan babinsa.
Intelejen lembaga Independen
Keberdaan intelejen haruslah lembaga struktural mandiri yang dapat berkomunikasi dengan lembaga-lembaga lain, keberadaan lembaga intelejen bukanlah sebuah lembaga yang menyeramkan yang harus ditakuti bahkan menjadi ancaman bagi warga negara, namun keberdaaan dinas rahasia negara ini seyogianya sebagaimana lembaga kajian dan penelitian lainnya namun keberadaan dinas ini lebih pada kajian dan analisa bahkan pengumpulan data dan informasi yang lebih menyangkut pertahanan dan kemanan negara.
Badan atau dinas rahasia ini diharapkan memiliki kemampuajn untuk mendeteksi atau mengamati ancaman atau tantangan yang datang dari luar dan maupun dari dalam yang kemudian menginformasikan kepada lembaga penentu kebijakan seperti legislative dan eksekutif yang kemudian menghasilkan kebijakan tertentu yang pelaksanaannya akan di laksanakan oleh instansi terkait, apabila informasi itu menyangkut terorisme maka kebijakan itu ditujukan kepada pihak kepolisian dalam hal ini Densus 88 untuk melakukan penanganana sesuai proedur yang berlaku.
Intelejen menjadi tidak independent jika dalam pelaksanaan fungsinya hanya memberikan informasi atau hasil temuan hanya kepada pribadi tertentu, sebagaimana penemuan potret – potret atau photo wajah Presidnet SBY yang sedang di bidik senjata, hal ini akan menggangu keberadaan intelejen tidak lagi sebagai lembaga independent, independensi intelejen akan menentukan jika hasil temuan itu di publikasikan ke pihak terkait dalam hal ini legislative dan eksekutif untuk di lakukan pembahasan yang kemudian akan ditentukan kebijakan bagi penanganan yang sistemik.
Menjadi permasalahan selama ini yakni keberadaan intelejen yang melakukan tugas melampaui perannya yakni melakukan tindakan yang menyebabkan persoalan seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan dimanfaatkan oleh penguasa sehingga menghadirkan gaya kepemimpinan yang otoriter serta menghadirkan oligarki kepemimpinan yang berujung pada perilaku leviathan.
Mungkin mengalirnya dukungan kepada pendiri situs wikileaks karena membocorkan informasi dari kedutaan-kedutaan Amerika cukup kuat hal ini disebabkan oleh penyalahgunaan peran dan fungsi lembaga intelejin dalam hal ini CIA sehingga informasi dari pihak intelejen kepada AS sehingga informasi diterjemahkan oleh penguasa dengan melakukan invasi ke negara – negara yang diduga sebagai tempat bermukim para teroris seperti Irak, Afganistan dan lain-lain. Padahal seharusnya informasi ini diterima dan dikaji lebih dalam kemudian menghasilkan kebijakan dan pendekatan yang lebih demokratis dan lebih menjamin akan Hak Asazi Manusia (HAM).
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
*Yoyarib Mau
Bocornya dokumen - dokumen rahasia yang bersumber dari situs wikileaks membuat masayarakat dunia menjadi terpecah akan keberadaan Intelejen, kelompok yang setuju akan keberadaan intelejin akan menghujat keberadan situs wikileaks dan menuntut agar pendiri situs ini di tangkap karena membocorkan dokumen - dokumen rahasia, namun kelompok yang tidak setuju akan perilaku intelijin asing yang mengutak-atik kedaulatan sebuah negara, memberikan dukungan moril bagi pendiri situs ini.
Keberadaan Intelejin ibarat dua sisi mata uang dibutuhkan untuk menjamin keamanan negara dari ancaman luar maupun dalam negeri, tetapi tetapi di lain kesempatan menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri. Sistem kerahasian dokumen dan informasi negara merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk menjamin kedaulatan sebuah negara, namun kedaulatan negara yang dimaksud disinipun mengalami hegemoni kekuasaan dari negara-negara adidaya.
Bagaimana tidak keberadaan dinas rahasia dari negara-negara adidaya bisa dengan mudah memasuki negara-negara tertentu untuk mencari informasi bahkan melakukan aktifitas mata-mata bagi kepentingan negara asalnya. Keberadaan agen rahasia dunia yang sudah mendunia seperti CIA (Amerika), Mozzad (Israel), KGB (Rusia), MI6 (Inggris).
Keberadaan agen atau dinas rahasia ini sanagat dibutuhkan oleh negara untuk membantu negara dalam menyelesaikan persoalan atau memperoleh informasi tentang aktifitas individu atau kelompok yang membahayakan orang lain atau negara. Informasi yang di peroleh oleh agen rahasia ini haruslah di jaga kerahasiaannya, dan hanya menjadi konsumsi lembaga terkait dalam melaksanakan tugas kenegaraannya.
Intelejen adalah nama lain dari dinas rahasia yang sangat familiar dalam dunia militer, menurut Direktur Pro Patria Institut T Hari Prihartono menilai dalam sistem keamanan nasional, intelejen negara ditempatkan sebagai satu isntitusi yang diberikan kewenangan khusus yang dimungkinkan melanggar kaidah-kaidah demokrasi, khususnya terkait informasi public dan pembatasan ruang privat seseorang (Republik Online – 18 Nov – 2010)
Pemikiran ini membuat keberadaan intelejen menjadi institusi yang memiliki dua sisi yakni sisi baik maupun buruk atau sisi disukai dan dan sisi dibenci, keberadaan lembaga ini untuk menegakan kedamaian namun juga keberadaannya menghadirkan benih kebencian. Kondisi ini di picu oleh pasca pengeboman di WTC pada 11 September 2001 terjadi globalisasi intelejen karena terjadi pertukaran informasi antar negara mengenai keberadaan para terorisme yang dianggab menjadi ancaman bagi manusia dunia.
Pertukaran informasi untuk menangkap para teroris dan pelaku kejahaatan dunia dilakukan oleh lembaga-lembaga intelejen dunia untuk mengetahui jaringan-jaringan dari kelompok radikal dunia yang telah mampu meruntuhkan hegemoni teknologi pertahanan dan kemaanan AS yang dianggap sebagai salah satu negara dengan sistem kemaanan terbaik dunia.
Atas dasar informasi dari berbagai intelejin dunia sehingga memberikan berbagai informasi mengenai kelompok-kelompok yang dianggap sebagai teroris atau ancaman bagi komunitas dunia, namun suatu sisi demi membasmi para teroris yang telah melakukan aksinya pada 11 September 2001 membuat para agen rahasia ini melakukan banyak tindakan yang dianggab tidak memenuhi kaidah-kaidah kemanusiaan. Tindakan yang dilakukan seperti menghabiskan nyawa orang yang dianggab membahayakan atau terlibat terorisme sepertinya di sepakati oleh semua negara yang memiliki kerjasama dalam bidang intelejen.
Kondisi perlakuan tidak manusia ini membuat para aktifis kemanusiaan melakukan protes bahkan keinginana untuk penegakan hak asasi manusia, bagi apara aktifis kemanusiaan proses penghilangan nyawa orang lain tanpa proses hukum yang layak merupakan sebuah ketidakadilan sehingga para aktifis ini menentang perilaku para intelejen tersebut.
Komunitas masyarakat yang memperjuangakan hak-hak kemanusiaan ini yang kemudian membangun komunikasi dengan mempublikasikan praktek-praktek ketidakmanusiaan dari para dinas intelejen dunia ini, sehingga para aktifitas sepakat untuk mendirikan situs wikileaks sebagai jaring informasi untuk membagi informasi perbuatan atau kesepakatan tidak manusiawi lainnya atau kesepakatan yang merugikan orang lain.
Apabila institusi intelejen ini dalam prakteknya dianggab melanggar nilai-nilai kemanusiaan tetapi mengapa institusi ini dibutuhkan dalam sebuah negara ? pernyataan ini akan mendasari pembahasan tulisan ini, bahwa mengapa intelejen di butuhkan tetapi juga di tolak. Keberadaan intelejen merupakan sebuah kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan karena dapat membantu segala aktifitas politik dari segala penguasa, hal ini lah yangditerapkan oleh Soeharto dalam melanggengkan kekuasaannya yakni memakai tentara sebagai agen rahasia untuk memata-matai aktifitas individu atau rakyat yang tidak setuju dengan kepemimpinannnya.
Intelejen Bukan Perpanjangan Tangan Penguasa
Soeharto memanfaatkan dinas intelejen di bawah kendali militer untuk mengamankan kekuasaannnya bahkan lebih para lagi militer dan intelejen di tarik dalam politik praktis sehingga peran intelejen tidak lagi independen tetapi bekerja untuk kemenangan partai politik dan penguasa yang berkuasa sehingga nyawa atau keberadaan lawan politik di berangus atau dihilangkan karena dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan, dimana dalam pemilu semasa orde baru babinsa sebagai perpanjangan tangan dari penguasa bertindak sebagai militer, intelejen sekaligus corong politik untuk memenangkan golkar dalam setiap pemilu sepanjang kejayaan orde baru.
Keberadaan intelejen menjadi tidak efektif dan mengalami penolakan karena apabila keberadaan intelejen di tunggangi oleh kepentingan tertentu baik itu partai politik, penguasa yang berkuasa bahkan bekerja bagi kepentingan perusahaan tertentu, karena akan mengkhianati keberadaannya sebagai lembaga independen, keberadaan intelejen mengemban tugas dan tanggung jawab strategis untuk mengamati kehidupan masyarakat dan melakukan penyampaian informasi kepada pemerintah untuk di tindak lanjuti dengan kebijakan tertentu, namun informasi itu perlu di kajia kembali untuk dipastikan valid dan dapat di pertanggungjawabkan kepada pemerintah sehingga ada ada kebijakan pengamanan guna kebaikan dan kedaulatan bangsa dan negara.
Fungsi intelejen haruslah mandiri tidak di memakai jalur politik seperti memfungsikan keberadaan diplomatik karena kebradaan diplomatik yang dimanfaatkan sebagai badan intelejin akan menyebabkan bocornya berbagai informasi sebagaimana yang terjadi atas dokumen yang dirilis dari 274 Kedutaan Amerika di berbagai belahan dunia (Majalah Tempo 06 – 12 Desember 2010) karena akan putusnya hubungan diplomatik antar negara-negara. Bahkan dinas intelejen dapat dipakai oleh korporasi dunia (multinational corporation) untuk melanggengkan usahanya. Hal ini serupa yang dilakukan oleh Soeharto dengan memanfaatkan keberadaan babinsa.
Intelejen lembaga Independen
Keberdaan intelejen haruslah lembaga struktural mandiri yang dapat berkomunikasi dengan lembaga-lembaga lain, keberadaan lembaga intelejen bukanlah sebuah lembaga yang menyeramkan yang harus ditakuti bahkan menjadi ancaman bagi warga negara, namun keberdaaan dinas rahasia negara ini seyogianya sebagaimana lembaga kajian dan penelitian lainnya namun keberadaan dinas ini lebih pada kajian dan analisa bahkan pengumpulan data dan informasi yang lebih menyangkut pertahanan dan kemanan negara.
Badan atau dinas rahasia ini diharapkan memiliki kemampuajn untuk mendeteksi atau mengamati ancaman atau tantangan yang datang dari luar dan maupun dari dalam yang kemudian menginformasikan kepada lembaga penentu kebijakan seperti legislative dan eksekutif yang kemudian menghasilkan kebijakan tertentu yang pelaksanaannya akan di laksanakan oleh instansi terkait, apabila informasi itu menyangkut terorisme maka kebijakan itu ditujukan kepada pihak kepolisian dalam hal ini Densus 88 untuk melakukan penanganana sesuai proedur yang berlaku.
Intelejen menjadi tidak independent jika dalam pelaksanaan fungsinya hanya memberikan informasi atau hasil temuan hanya kepada pribadi tertentu, sebagaimana penemuan potret – potret atau photo wajah Presidnet SBY yang sedang di bidik senjata, hal ini akan menggangu keberadaan intelejen tidak lagi sebagai lembaga independent, independensi intelejen akan menentukan jika hasil temuan itu di publikasikan ke pihak terkait dalam hal ini legislative dan eksekutif untuk di lakukan pembahasan yang kemudian akan ditentukan kebijakan bagi penanganan yang sistemik.
Menjadi permasalahan selama ini yakni keberadaan intelejen yang melakukan tugas melampaui perannya yakni melakukan tindakan yang menyebabkan persoalan seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan dimanfaatkan oleh penguasa sehingga menghadirkan gaya kepemimpinan yang otoriter serta menghadirkan oligarki kepemimpinan yang berujung pada perilaku leviathan.
Mungkin mengalirnya dukungan kepada pendiri situs wikileaks karena membocorkan informasi dari kedutaan-kedutaan Amerika cukup kuat hal ini disebabkan oleh penyalahgunaan peran dan fungsi lembaga intelejin dalam hal ini CIA sehingga informasi dari pihak intelejen kepada AS sehingga informasi diterjemahkan oleh penguasa dengan melakukan invasi ke negara – negara yang diduga sebagai tempat bermukim para teroris seperti Irak, Afganistan dan lain-lain. Padahal seharusnya informasi ini diterima dan dikaji lebih dalam kemudian menghasilkan kebijakan dan pendekatan yang lebih demokratis dan lebih menjamin akan Hak Asazi Manusia (HAM).
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Rabu, 08 Desember 2010
"MAHASISWA ITU PEMIKIR ATAU MAFIA TRAFFICKING"
“MAHASIWA ITU PEMIKIR ATAU MAFIA TRAFFICKING”
*Yoyarib Mau
Judul tulisan ini sepertinya tidak dapat diterima oleh para para mahasiswa karena tidak semua mahasiswa berprofesi sebagai mafia trafgicking, namun kenyataaannya seseorang yang dikenal dengan nama Aisyah Manu yang katanya konon terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, pada pertengahan bulan November 2010 yang lalu, membawa sebelas (11) anak yang berusia berkisar 9 – 12 tahun dari daerah Amanuban Timur – Timor Tengah Selatan (TTS) yang hendak dibawa ke Jakarta dengan iming-iming akan di sekolahkan di Jakarta.
Atas dasar tawaran ingin disekolahkan di Jakarta sebagaian anak-anak menuruti tawaran sang mahsiswa tersebtu yang melengkapi diri dengan organisasi extra kampusnya sebagai Pengurus Pusat Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Timor (IPMAT), tampilan sekretariat sekaligus asrama dari organisasi cukup mengesankan karena terletak di daerah Ciracas Jakarta Timur, bahkan penempatan papan organisasi ini di depan asrama ini, bahkan Pemda NTT tidak mampu memfasilitasi fasilitas yang cukup seperti yang dimiliki kelompok mahasiswa yang tergabung dalam IPMAT.
Kondisi bangunan sekretariat dibandingkan dengan rumah – rumah warga di pedesaan memiliki perbandingan yang cukup mencolok, kesenjangan inilah dijadikan alat marketing untuk memasarkan sebuah program atau produk yang mempengaruhi konsumen. Tampilan yang sangat menyakinkan apabila diramu dengan kecangihan teknologi photo shop maka akan mendapatkan gambar yang berkwalitas baik. Keadaan Amanuban Timur yang jauh dari keramaian kota dan jauh dari peradaban teknologi, apabila di suguhkan dengan gambar atau potret gedung yang cukup menarik maka akan meluluhkan hati anak-anak yang polos dan lugu ini.
Kondisi inilah yang di manfaatkan oleh Aisyah Manu dan kelompok mahasiswanya yang tergabung dalam IPMAT untuk melakukan perekrutan terhadap anak-anak usia sekolah untuk mengenyam pendidikan di Jakarta apalagi dapat mencapai pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sehingga tanpa persetujuan orang tua pun anak-anak ini ingin menggapai impian yang ditawarkan oleh para mahasiswa ini seperti yang dialami oleh orang tua dari salah satu korban Yonatan Lanu (Timor Exprees 30 /11/ 2010).
Kondisi ekonomi yang menghimpit dan ketidak mampuan mengakses pendidikan menjadi masalah yang pelik di daerah ini, niat untuk memajukan daerah melalui pendidikan adalah niat yang mulia dan menjadi tangung jawab setiap komponen masyarakat untuk mencari solusi bagi persoalan kemiskinan dan rendahnya pendidikan di daerah ini. Persoalan ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apa kapasitas dan posisi mahasiswa IPMAT dalam penanganan persoalan pendidikan bagi anak-anak di TTS ?
Agen of Change
Mahasiswa sebagai sebuah kekuatan perubahan atau sering di katakana sebagai “agen of change” karena tingkat pendidikan yang cukup dan semanagat idealisme yang memadai maka posisi mahasiswa di tengah masyarakat dikategorikan masuk dalam kelas menengah.
Dalam teori pembangunan yang dikembangkan oleh Daniel Lerner (1968) dan Seymour Marthin Lipset (1959), ada sejumlah factor yang dipandang sebagai prasyarat bagi adanya demokrasi, seperti adanya peningkatan perkembangan ekonomi, kuatnya kelas menengah,adanya tradisi toleransi dan hormat kepada individu, adanya kelompok – kelompok sosial dan lembaga yang independen, perekonmian yang berorientasi pasar, dan adanya elite yang berkeinginan untuk membatasi kekuasaan (www.simpuldemokrasi.com).
Mahasiswa dalam hal ini IPMAT tidak mungkin berperan untuk peningkatan perkembangan ekonomi secara real karena mereka bukan pengusaha atau memiliki bidang usaha untuk memacu perekonomian masayarakat di NTT sehingga mereka di kategorikan sebagai kelas menengah karena perpendidikan atau mengenyam pendidikan yang cukup apalagi mereka memiliki organisasi yang mungkin saja memiliki struktur ke seluruh Indonesia karena tempat penampungan sementara anak-anak ini yang di kunjungi Bupati TTS adalah di tempat sekretariat Pengurus Pusat IPMAT yang sekaligus tempat tinggal dari para anggota IPMAT.
Pemikiran mahasiswa akan selalu memiliki ide-ide yang cemerlang dan up to date untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan pendidikan di daerah, kareana itu peran mahsiswa sangat dibutuhkan dengan melakukan kajian analisis mengenai kondisi lokal kemudian hasil kajian tersebut dapat di jadikan bahan masukan bagi Pemda untuk membenahi pembangunan di daerah, atau meningkatkan SDM mahasiswanya saat menjalani pendidikan dengan berbagai ilmu sehingga kemudian hari ketika berada didaerah dapat mengabdikannya bagi kemajuan daerah.
Namun kenyataannya ketika Bupati Soe menyambangi mereka ke sekretariat IPMAT mereka berdebat dengan Bupati TTS bahwa mereka berada pada posisi benar, bahkan mereka merasa bahwa mereka sudah turut berkontribusi bagi pendidikan anak-anak di Soe, padahal seharusnya anak-anak ini dilengkapi dengan kelengkapan surat administrative kependudukan serta kejelasan tujuan apalagi hal ini menyangkut perpindahan penduduk antar provinsi.
Para mahasiswa memakai pola penyaluran tenga kerja atau baby sister dimana anak – anak ini direkrut kemudian ditawarkan ke rumah-rumah penduduk sebagai pembantu rumah tangga dimana uang hasil kerja tersebut di pakai untuk biaya pendidikanya, jika hal ini dilakukan apakah layak seorang mahsiswa dikategorikan sebagai agen of change? kenyataannya hanya meniru atau copy paste apa yang telah di lakukan oleh masyarakat umum sebagai agen penyalur tenga kerja. Perubahan hanya aka nada jika penuh dengan ide-ide cerah untuk memberikan sumbangis pemikiran bagi pembangunan daerah jika, ide yang ada tidak kreatif bahkan terkesan eksploitatif .
Proses merubah masyarakat tidak serta mencabut masyarakat itu dari komunitas dan lingkungannnya apalagi kondisi anak-anak yang labil, memang pendidikan di butuhkan oleh mereka namun tidk serta merta mengambil mereka dari cultur keseharian mereka karena mereka adalah actor dari perubahan itu, sehingga mereka membutuhkan sekian waktu untuk memahami dan mengerti akan cultur dan alam di daerahnya untuk sekian waktu, ketika mereka sudah beranjak dewasa dan memiliki kesiapan berpikir yang lebih sistematis untuk di benahi lagi dengan pendidikan yang terstruktur untuk mengelola dan membangun daerahnyanya.
Mahasiwa Visioner
Pemikiran diatas sangat tepat seperti apa yang diungkapkan oleh Anthony Gidens bahwa mempelajari strukturasi sebuah sistem sosial adalah mempelajari cara-cara sistem itu memproduksi dan mereproduksi interaksi melalui penerapan aturan umum dan sumber daya yang tersedia, aturan dan sumber daya yang digunakan aktor untuk dibentuk ulang melalui proses penggunaannya. Kekayaan struktural sistem sosial merupakan media dan sekaligus hasil praktik sistem sosial bersangkutan (Piotr Sztompka – Pranada – 2004).
Pemikiran seorang mahasiswa seyogianya memiliki pemikiran jauh kedepan sehingga mampu memajukan pembangunan didaerah tidak dilakukan dalam pemahaman yang terpisah tetapi pembangunan harus dipahami secara utuh dan berkesinambungan, hal inilah yang tidak membernarkan anak dalam usia belia, usia dimana mereka harus menyerap budaya dan memahami strukturl alam lokal, mengerti kondisi sosial, sehingga ketika mereka hendak lebih jauh membenahi diri dengan disiplin ilmu tertentu mereka sudah memetakan disiplin ilmu apa yang tepat dan dapat diterapkan bagi pembangunan daerahnya.
Kontribusi mahasiswa bagi pembangunana di daerah, tidak harus dipahami dalam konteks mendatangkan investor atau bantuan logistik bagi masyarakat di daerah tetapi sebisa mungkin menyakinkan masyarakat di daerah untuk memahami dan mengerti akan alam dimana dirinya hidup, bukan dengan mempengaruhi masyarakat dengan peradaban kota besar yang penuh dengan glamour yang ternyata membinasakan masyarakat lokal dari peradaban aslinya.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
*Yoyarib Mau
Judul tulisan ini sepertinya tidak dapat diterima oleh para para mahasiswa karena tidak semua mahasiswa berprofesi sebagai mafia trafgicking, namun kenyataaannya seseorang yang dikenal dengan nama Aisyah Manu yang katanya konon terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, pada pertengahan bulan November 2010 yang lalu, membawa sebelas (11) anak yang berusia berkisar 9 – 12 tahun dari daerah Amanuban Timur – Timor Tengah Selatan (TTS) yang hendak dibawa ke Jakarta dengan iming-iming akan di sekolahkan di Jakarta.
Atas dasar tawaran ingin disekolahkan di Jakarta sebagaian anak-anak menuruti tawaran sang mahsiswa tersebtu yang melengkapi diri dengan organisasi extra kampusnya sebagai Pengurus Pusat Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Timor (IPMAT), tampilan sekretariat sekaligus asrama dari organisasi cukup mengesankan karena terletak di daerah Ciracas Jakarta Timur, bahkan penempatan papan organisasi ini di depan asrama ini, bahkan Pemda NTT tidak mampu memfasilitasi fasilitas yang cukup seperti yang dimiliki kelompok mahasiswa yang tergabung dalam IPMAT.
Kondisi bangunan sekretariat dibandingkan dengan rumah – rumah warga di pedesaan memiliki perbandingan yang cukup mencolok, kesenjangan inilah dijadikan alat marketing untuk memasarkan sebuah program atau produk yang mempengaruhi konsumen. Tampilan yang sangat menyakinkan apabila diramu dengan kecangihan teknologi photo shop maka akan mendapatkan gambar yang berkwalitas baik. Keadaan Amanuban Timur yang jauh dari keramaian kota dan jauh dari peradaban teknologi, apabila di suguhkan dengan gambar atau potret gedung yang cukup menarik maka akan meluluhkan hati anak-anak yang polos dan lugu ini.
Kondisi inilah yang di manfaatkan oleh Aisyah Manu dan kelompok mahasiswanya yang tergabung dalam IPMAT untuk melakukan perekrutan terhadap anak-anak usia sekolah untuk mengenyam pendidikan di Jakarta apalagi dapat mencapai pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sehingga tanpa persetujuan orang tua pun anak-anak ini ingin menggapai impian yang ditawarkan oleh para mahasiswa ini seperti yang dialami oleh orang tua dari salah satu korban Yonatan Lanu (Timor Exprees 30 /11/ 2010).
Kondisi ekonomi yang menghimpit dan ketidak mampuan mengakses pendidikan menjadi masalah yang pelik di daerah ini, niat untuk memajukan daerah melalui pendidikan adalah niat yang mulia dan menjadi tangung jawab setiap komponen masyarakat untuk mencari solusi bagi persoalan kemiskinan dan rendahnya pendidikan di daerah ini. Persoalan ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apa kapasitas dan posisi mahasiswa IPMAT dalam penanganan persoalan pendidikan bagi anak-anak di TTS ?
Agen of Change
Mahasiswa sebagai sebuah kekuatan perubahan atau sering di katakana sebagai “agen of change” karena tingkat pendidikan yang cukup dan semanagat idealisme yang memadai maka posisi mahasiswa di tengah masyarakat dikategorikan masuk dalam kelas menengah.
Dalam teori pembangunan yang dikembangkan oleh Daniel Lerner (1968) dan Seymour Marthin Lipset (1959), ada sejumlah factor yang dipandang sebagai prasyarat bagi adanya demokrasi, seperti adanya peningkatan perkembangan ekonomi, kuatnya kelas menengah,adanya tradisi toleransi dan hormat kepada individu, adanya kelompok – kelompok sosial dan lembaga yang independen, perekonmian yang berorientasi pasar, dan adanya elite yang berkeinginan untuk membatasi kekuasaan (www.simpuldemokrasi.com).
Mahasiswa dalam hal ini IPMAT tidak mungkin berperan untuk peningkatan perkembangan ekonomi secara real karena mereka bukan pengusaha atau memiliki bidang usaha untuk memacu perekonomian masayarakat di NTT sehingga mereka di kategorikan sebagai kelas menengah karena perpendidikan atau mengenyam pendidikan yang cukup apalagi mereka memiliki organisasi yang mungkin saja memiliki struktur ke seluruh Indonesia karena tempat penampungan sementara anak-anak ini yang di kunjungi Bupati TTS adalah di tempat sekretariat Pengurus Pusat IPMAT yang sekaligus tempat tinggal dari para anggota IPMAT.
Pemikiran mahasiswa akan selalu memiliki ide-ide yang cemerlang dan up to date untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan pendidikan di daerah, kareana itu peran mahsiswa sangat dibutuhkan dengan melakukan kajian analisis mengenai kondisi lokal kemudian hasil kajian tersebut dapat di jadikan bahan masukan bagi Pemda untuk membenahi pembangunan di daerah, atau meningkatkan SDM mahasiswanya saat menjalani pendidikan dengan berbagai ilmu sehingga kemudian hari ketika berada didaerah dapat mengabdikannya bagi kemajuan daerah.
Namun kenyataannya ketika Bupati Soe menyambangi mereka ke sekretariat IPMAT mereka berdebat dengan Bupati TTS bahwa mereka berada pada posisi benar, bahkan mereka merasa bahwa mereka sudah turut berkontribusi bagi pendidikan anak-anak di Soe, padahal seharusnya anak-anak ini dilengkapi dengan kelengkapan surat administrative kependudukan serta kejelasan tujuan apalagi hal ini menyangkut perpindahan penduduk antar provinsi.
Para mahasiswa memakai pola penyaluran tenga kerja atau baby sister dimana anak – anak ini direkrut kemudian ditawarkan ke rumah-rumah penduduk sebagai pembantu rumah tangga dimana uang hasil kerja tersebut di pakai untuk biaya pendidikanya, jika hal ini dilakukan apakah layak seorang mahsiswa dikategorikan sebagai agen of change? kenyataannya hanya meniru atau copy paste apa yang telah di lakukan oleh masyarakat umum sebagai agen penyalur tenga kerja. Perubahan hanya aka nada jika penuh dengan ide-ide cerah untuk memberikan sumbangis pemikiran bagi pembangunan daerah jika, ide yang ada tidak kreatif bahkan terkesan eksploitatif .
Proses merubah masyarakat tidak serta mencabut masyarakat itu dari komunitas dan lingkungannnya apalagi kondisi anak-anak yang labil, memang pendidikan di butuhkan oleh mereka namun tidk serta merta mengambil mereka dari cultur keseharian mereka karena mereka adalah actor dari perubahan itu, sehingga mereka membutuhkan sekian waktu untuk memahami dan mengerti akan cultur dan alam di daerahnya untuk sekian waktu, ketika mereka sudah beranjak dewasa dan memiliki kesiapan berpikir yang lebih sistematis untuk di benahi lagi dengan pendidikan yang terstruktur untuk mengelola dan membangun daerahnyanya.
Mahasiwa Visioner
Pemikiran diatas sangat tepat seperti apa yang diungkapkan oleh Anthony Gidens bahwa mempelajari strukturasi sebuah sistem sosial adalah mempelajari cara-cara sistem itu memproduksi dan mereproduksi interaksi melalui penerapan aturan umum dan sumber daya yang tersedia, aturan dan sumber daya yang digunakan aktor untuk dibentuk ulang melalui proses penggunaannya. Kekayaan struktural sistem sosial merupakan media dan sekaligus hasil praktik sistem sosial bersangkutan (Piotr Sztompka – Pranada – 2004).
Pemikiran seorang mahasiswa seyogianya memiliki pemikiran jauh kedepan sehingga mampu memajukan pembangunan didaerah tidak dilakukan dalam pemahaman yang terpisah tetapi pembangunan harus dipahami secara utuh dan berkesinambungan, hal inilah yang tidak membernarkan anak dalam usia belia, usia dimana mereka harus menyerap budaya dan memahami strukturl alam lokal, mengerti kondisi sosial, sehingga ketika mereka hendak lebih jauh membenahi diri dengan disiplin ilmu tertentu mereka sudah memetakan disiplin ilmu apa yang tepat dan dapat diterapkan bagi pembangunan daerahnya.
Kontribusi mahasiswa bagi pembangunana di daerah, tidak harus dipahami dalam konteks mendatangkan investor atau bantuan logistik bagi masyarakat di daerah tetapi sebisa mungkin menyakinkan masyarakat di daerah untuk memahami dan mengerti akan alam dimana dirinya hidup, bukan dengan mempengaruhi masyarakat dengan peradaban kota besar yang penuh dengan glamour yang ternyata membinasakan masyarakat lokal dari peradaban aslinya.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Senin, 06 Desember 2010
"TAFSIR TUNGGAL PANGAN DI INDONESIA"
“TAFSIR TUNGGAL PANGAN DI INDONESIA”
*Yoyarib Mau
Permasalahan pangan merupakan permasalahan yang urgent dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena tidak terpenuhinya kebutuhan pangan maka akan menyebabkan berbagai persoalan turunan. Berbagai persoalan turunan tersebut diantaranya; kelaparan di berbagai daerah, terjadinya pertikaian atau konflik yang disebabkan karena memperebutkan kebutuhan pangan dan juga disebabkan karena terciptanya kelas sosial atau stigma miskin dan kaya karena model atau bentuk pangan itu sendiri.
Indonesia terbentang luas sebagai negara kepulauan dan beriklim tropis dimana dapat memungkinkan bagi pengembangan pangan di Indonesia, pangan yang di maksudkan di sini adalah pangan yang dapat memenuhi unsur kalori atau dapat memberikan energi. Pangan yang dapat memberikan unsur kalori bagi manusia sehingga manusia bertenaga cukup banyak namun kenyataan nya, pangan yang mendapat prioritas utama untuk dikembangkan sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia adalah beras, padahal ada berbagai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat seperti gandum, sorgum, dan jagung.
Bahan makanan pokok yang memenuhi unsur kalori di Indonesia, berbagai daerah di nusantara sangat memiliki kekhasan tersendiri menyangkut konsumsi pangannya seperti; Ambon dan Papua memiliki kearifan lokal menyangkut pangan untuk konsumsi penduduknya yakni sagu sebagai pangan atau bahan makanan pokok, di NTT dan Gorontalo ada jagung yang dijadikan makanan pokok, ada daerah lain juga menjadikan ubi dan umbi-umbian (tiwul) sebagai bahan makanan pokok yang memiliki kadar kalori yang cukup untuk dikonsumsi.
Namun keberadaan makanan pokok yang dimiliki sebagai kekayaan lokal tidak berdaya bahkan tidak diakui sebagai bahan makanan pokok, proses pembunuhan pangan lokal ini terjadi pada masa orde baru dimana dengan program swasembada pangan pada PELITA (Pembangunan Lima Tahunan) dimana digalakan “berasnisasi” sebagai program utama yang dilakukan oleh President Soeharto.
Proses berasnisasi ini digalakan diberbagai daerah melalui transmigarasi dimana di sediakan lahan persawahan didaerah tujuan transmigrasi kemudian masyarakat yang mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok di jadikan sebagai warga transmigrasi untuk mengkampanyekan beras sebagai bahan makanan pokok nasional. Tidak saja pola tersebut tetapi setiap pegawai negeri sipil (PNS) setiap bulan diberikan jatah beras gratis selain uang nominal.
Bahkan beras di jadikan bahan makanan pokok utama dengan menginstitusionalkannya dengan lembaga yang khusus mengurus beras yakni Badan Utama Logistik (BULOG). Bahkan petani yang mengelola sawah dapat menjual gabahnya atau dibeli oleh pemerintah atau diserap oleh bulog untuk kemudian dapat didistribusikan kembali secara merata keseluruh pelosok Indonesia.
Kondisi ini menghadirkan pertanyaan, mengapa beras sepertinya dilembagakan sebagai bahan makanan pokok yang yang dinasionalisasikan sebagai bahan pangan utama ? padahal tidak setiap daerah di Indonesia dapat mengembangkan tanaman padi di daerahnya, dan bukan saja masalah pengembangan padi di seluruh daerah, namun lebih jauh mengapa pilihan pada beras yang dijadikan bahan pokok utama dan bahan pokok khas di daerah lain tidak di manfaatkan juga ?.
Kebijakan pemerintah untuk menginstitusionalisasikan beras sebagai pangan utama di negara sepertinya lebih didorong oleh “ideologi pasar”, mengapa demikian karena pasar asia tenggara jelas sebagai pengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok sehingga pengembangan perswahan yang menanam padi hampir dikembangkan di wilayah-wilayah asia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan beras di asia tenggara maka kebijakan swasembada beras di lakukan oleh Soeharto, Muhadi Sugiono menuliskan bahwa; kebijakan pembangunana ekonomi negara-negara berkembang telah berubah secara drastic sejak tahun 1980- an hampir semua negara berkembang menggeser kebijakan ekonominya mereka kea rah liberalisasi yang lebih besar dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui serangkaian reformasi ekonomi berorientasi pasar (Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga – Pustaka Pelajar – 1999).
Pendapat penulis bahwa kebijakan beras sebagai pangan utama hanyalah sebuah kebijakan untuk memenuhi ideologi pasar para penguasa, dimana hal ini dapat kita ketahui bersama bahwa Indonesia pernah mencapai swasembada pangan tetapi kemudian ketika kebijakan beras sebagai pangan nasional telah berhasil didoktrinkan sebagai bahan makanan nasional dan bahan makanan yang bermartabat berhasil menggeser paradigm masyarakat daerah yang mengkonsumsi pangan lokal seperti; sagu, jagung, sorgum, gandum dan umbi-umbian lainnya.
Mereka yang masih menikmati bahan pangan lokal dikategorikan sebagai masyarakat miskin dan terbelakang bahkan stigma primitive berlaku absolute, kemudian masyarakat ingin keluar dari stigma miskin, primitive dan terbelakang maka rakyat harus berusaha untuk membeli beras untuk mengkonsumsi beras.
Hukum ekonomi pasar mulai berlaku karena permintaan untuk mengkonsumsi beras semakin tinggi tetapi persediaan stok beras nasional tidak tersedia maka para elite, maka mulai ideology pasar mulai diterapkan dimana proses impor beras mulai dilakukan, bahkan Indonesia pernah melakukan penjualan barter dengan Thailand, Indonesia menyediakan Pesawat sedangkan Thailand mengirimkan beras bagi Indonesia.
Ideologi pasar berlaku mutlak dalam penyediaan pangan nasional. Masyarakat dianggap miskin kalau mengkonsumsi beras sehingga pemerintah menyediakan beras miskin (raskin). Rakyat dianggap tidak berdaya kalau hanya makan sagu, jagung, atau tiwul. Padahal hal ini hanya menyangkut proses pengolahan dan kadar kalori yang terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Pangan Beras Kepentingan Penguasa
Stigma yang dibangun ini sepertinya dilihat pengusaha untuk melakukan peluang bisnis yakni dapat melakukan import beras hal ini berlangsung terus hingga saat ini karena dengan melakukan import beras dapat memberikan keuntungan penguasa melalui partai politik, karena banyaknya pengurus partai politik yang melakukan import beras, seperti Nurdin Halid yang tersandung kasus import beras. Keuntungan dari import beras ini dapat didapatkan dari negosiasi harga dan komisi yang diperoleh sebagian di setorkan kepada partai politi berkuasa.
Pendapat penulis mengapa kebijakan beras sebagai pangan nasional jika murni bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau rakyat mengapa tidak di maksimalkan pada pengembangan beras lokal dimana pembelian gabah padi petani dengan harga tinggi sehingga cadangan beras di bulog cukup tersedia dan tidak melakukan melakukan lagi proses import.
Proses import terus saja dilakukan dengan alasan sebagai cadangan stok nasional untuk mengantisipasi masa paceklik atau gagal panen. Hal ini sejujurnya akal-akalan penguasa saja sebagaimana diungkapkan oleh Mochamad Maksum Machfoeds bahwa beberapa kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) untuk mengantisipasi krisis perberasan nasional empat bulan cenderung reaktif dan tidak mendasar dan bagai jalan pintas, dimana keputusan import 500.000 ton beras padahal di suatu sisi ada klaim kesuksesan swasembada dengan surplus 5,6 juta tonberas pada tahun 2010 (Harian Kompas 29/11/2010).
Ketika keadaan surplus mengapa harus memaksakan import beras, hal ini hanyalah akal-akalan agar adanya pemasukan dana bagi partai politik tertentu karena sudah tentu kebijakan ini merupakan titipan pengusaha pengimport dengan membayar sejumlah komisi tertentu kepada para penentu kebijakan.
Beras Bukan Pilihan Tunggal di Era Otonomi Daerah
Keberadaan Bulog sebagai lembaga nasional yang dibentuk pada masa lampau untuk berperan mengontrol dan mendistribusikan pangan beras ke seluruh wilayah di Indonesia, ketika Indonesia tidak lagi memilih pemerintahan yang sentralistik tetapi lebih pada pola desentralisasi maka sudah seharusnya bulog daerah pun diberikan kebebasan untuk menyediakan pangan di daerah berdasarkan kebutuhan dan bentuk pangan lokal yang merupakan bahan makanan pokok di daerah.
Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat menyerap pangan yang dihasilkan oleh daerah tersebut, apabila di papua dimana tidak memiliki lahan sawah yang cukup sehingga diharuskan harus membeli bahan pangan beras dri daerah lain atau import, padahal Papua memiliki pangan lokal yakni Sagu, atau didaerah lain seperti NTT atau Gorontalo yang mengkonsumsi jagung, sehingga masyarakat atau petani lokal pun tetap mengambangkan produksi pangan lokal sebagai sumber pendapatan, dapat menasionalisasikan pangan lokal ini menjadi alternative pangan nasional.
Memang tidak mudah untuk menasionalkan pangan lokal menjadi pangan nasional namun yang perlu dilakukan upaya riset pangan lokal, dimana pangan lokal dapat dijadikan sumber bahan makanan pokok melalui produk-produk makanan yang berbasiskan pangan lokal, apabila hal ini dilakukan maka masyarakat daerah tidak lagi merasa teralienasi hanya karena makan sagu, jagung atau tiwul.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
*Yoyarib Mau
Permasalahan pangan merupakan permasalahan yang urgent dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena tidak terpenuhinya kebutuhan pangan maka akan menyebabkan berbagai persoalan turunan. Berbagai persoalan turunan tersebut diantaranya; kelaparan di berbagai daerah, terjadinya pertikaian atau konflik yang disebabkan karena memperebutkan kebutuhan pangan dan juga disebabkan karena terciptanya kelas sosial atau stigma miskin dan kaya karena model atau bentuk pangan itu sendiri.
Indonesia terbentang luas sebagai negara kepulauan dan beriklim tropis dimana dapat memungkinkan bagi pengembangan pangan di Indonesia, pangan yang di maksudkan di sini adalah pangan yang dapat memenuhi unsur kalori atau dapat memberikan energi. Pangan yang dapat memberikan unsur kalori bagi manusia sehingga manusia bertenaga cukup banyak namun kenyataan nya, pangan yang mendapat prioritas utama untuk dikembangkan sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia adalah beras, padahal ada berbagai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat seperti gandum, sorgum, dan jagung.
Bahan makanan pokok yang memenuhi unsur kalori di Indonesia, berbagai daerah di nusantara sangat memiliki kekhasan tersendiri menyangkut konsumsi pangannya seperti; Ambon dan Papua memiliki kearifan lokal menyangkut pangan untuk konsumsi penduduknya yakni sagu sebagai pangan atau bahan makanan pokok, di NTT dan Gorontalo ada jagung yang dijadikan makanan pokok, ada daerah lain juga menjadikan ubi dan umbi-umbian (tiwul) sebagai bahan makanan pokok yang memiliki kadar kalori yang cukup untuk dikonsumsi.
Namun keberadaan makanan pokok yang dimiliki sebagai kekayaan lokal tidak berdaya bahkan tidak diakui sebagai bahan makanan pokok, proses pembunuhan pangan lokal ini terjadi pada masa orde baru dimana dengan program swasembada pangan pada PELITA (Pembangunan Lima Tahunan) dimana digalakan “berasnisasi” sebagai program utama yang dilakukan oleh President Soeharto.
Proses berasnisasi ini digalakan diberbagai daerah melalui transmigarasi dimana di sediakan lahan persawahan didaerah tujuan transmigrasi kemudian masyarakat yang mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok di jadikan sebagai warga transmigrasi untuk mengkampanyekan beras sebagai bahan makanan pokok nasional. Tidak saja pola tersebut tetapi setiap pegawai negeri sipil (PNS) setiap bulan diberikan jatah beras gratis selain uang nominal.
Bahkan beras di jadikan bahan makanan pokok utama dengan menginstitusionalkannya dengan lembaga yang khusus mengurus beras yakni Badan Utama Logistik (BULOG). Bahkan petani yang mengelola sawah dapat menjual gabahnya atau dibeli oleh pemerintah atau diserap oleh bulog untuk kemudian dapat didistribusikan kembali secara merata keseluruh pelosok Indonesia.
Kondisi ini menghadirkan pertanyaan, mengapa beras sepertinya dilembagakan sebagai bahan makanan pokok yang yang dinasionalisasikan sebagai bahan pangan utama ? padahal tidak setiap daerah di Indonesia dapat mengembangkan tanaman padi di daerahnya, dan bukan saja masalah pengembangan padi di seluruh daerah, namun lebih jauh mengapa pilihan pada beras yang dijadikan bahan pokok utama dan bahan pokok khas di daerah lain tidak di manfaatkan juga ?.
Kebijakan pemerintah untuk menginstitusionalisasikan beras sebagai pangan utama di negara sepertinya lebih didorong oleh “ideologi pasar”, mengapa demikian karena pasar asia tenggara jelas sebagai pengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok sehingga pengembangan perswahan yang menanam padi hampir dikembangkan di wilayah-wilayah asia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan beras di asia tenggara maka kebijakan swasembada beras di lakukan oleh Soeharto, Muhadi Sugiono menuliskan bahwa; kebijakan pembangunana ekonomi negara-negara berkembang telah berubah secara drastic sejak tahun 1980- an hampir semua negara berkembang menggeser kebijakan ekonominya mereka kea rah liberalisasi yang lebih besar dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui serangkaian reformasi ekonomi berorientasi pasar (Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga – Pustaka Pelajar – 1999).
Pendapat penulis bahwa kebijakan beras sebagai pangan utama hanyalah sebuah kebijakan untuk memenuhi ideologi pasar para penguasa, dimana hal ini dapat kita ketahui bersama bahwa Indonesia pernah mencapai swasembada pangan tetapi kemudian ketika kebijakan beras sebagai pangan nasional telah berhasil didoktrinkan sebagai bahan makanan nasional dan bahan makanan yang bermartabat berhasil menggeser paradigm masyarakat daerah yang mengkonsumsi pangan lokal seperti; sagu, jagung, sorgum, gandum dan umbi-umbian lainnya.
Mereka yang masih menikmati bahan pangan lokal dikategorikan sebagai masyarakat miskin dan terbelakang bahkan stigma primitive berlaku absolute, kemudian masyarakat ingin keluar dari stigma miskin, primitive dan terbelakang maka rakyat harus berusaha untuk membeli beras untuk mengkonsumsi beras.
Hukum ekonomi pasar mulai berlaku karena permintaan untuk mengkonsumsi beras semakin tinggi tetapi persediaan stok beras nasional tidak tersedia maka para elite, maka mulai ideology pasar mulai diterapkan dimana proses impor beras mulai dilakukan, bahkan Indonesia pernah melakukan penjualan barter dengan Thailand, Indonesia menyediakan Pesawat sedangkan Thailand mengirimkan beras bagi Indonesia.
Ideologi pasar berlaku mutlak dalam penyediaan pangan nasional. Masyarakat dianggap miskin kalau mengkonsumsi beras sehingga pemerintah menyediakan beras miskin (raskin). Rakyat dianggap tidak berdaya kalau hanya makan sagu, jagung, atau tiwul. Padahal hal ini hanya menyangkut proses pengolahan dan kadar kalori yang terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Pangan Beras Kepentingan Penguasa
Stigma yang dibangun ini sepertinya dilihat pengusaha untuk melakukan peluang bisnis yakni dapat melakukan import beras hal ini berlangsung terus hingga saat ini karena dengan melakukan import beras dapat memberikan keuntungan penguasa melalui partai politik, karena banyaknya pengurus partai politik yang melakukan import beras, seperti Nurdin Halid yang tersandung kasus import beras. Keuntungan dari import beras ini dapat didapatkan dari negosiasi harga dan komisi yang diperoleh sebagian di setorkan kepada partai politi berkuasa.
Pendapat penulis mengapa kebijakan beras sebagai pangan nasional jika murni bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau rakyat mengapa tidak di maksimalkan pada pengembangan beras lokal dimana pembelian gabah padi petani dengan harga tinggi sehingga cadangan beras di bulog cukup tersedia dan tidak melakukan melakukan lagi proses import.
Proses import terus saja dilakukan dengan alasan sebagai cadangan stok nasional untuk mengantisipasi masa paceklik atau gagal panen. Hal ini sejujurnya akal-akalan penguasa saja sebagaimana diungkapkan oleh Mochamad Maksum Machfoeds bahwa beberapa kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) untuk mengantisipasi krisis perberasan nasional empat bulan cenderung reaktif dan tidak mendasar dan bagai jalan pintas, dimana keputusan import 500.000 ton beras padahal di suatu sisi ada klaim kesuksesan swasembada dengan surplus 5,6 juta tonberas pada tahun 2010 (Harian Kompas 29/11/2010).
Ketika keadaan surplus mengapa harus memaksakan import beras, hal ini hanyalah akal-akalan agar adanya pemasukan dana bagi partai politik tertentu karena sudah tentu kebijakan ini merupakan titipan pengusaha pengimport dengan membayar sejumlah komisi tertentu kepada para penentu kebijakan.
Beras Bukan Pilihan Tunggal di Era Otonomi Daerah
Keberadaan Bulog sebagai lembaga nasional yang dibentuk pada masa lampau untuk berperan mengontrol dan mendistribusikan pangan beras ke seluruh wilayah di Indonesia, ketika Indonesia tidak lagi memilih pemerintahan yang sentralistik tetapi lebih pada pola desentralisasi maka sudah seharusnya bulog daerah pun diberikan kebebasan untuk menyediakan pangan di daerah berdasarkan kebutuhan dan bentuk pangan lokal yang merupakan bahan makanan pokok di daerah.
Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat menyerap pangan yang dihasilkan oleh daerah tersebut, apabila di papua dimana tidak memiliki lahan sawah yang cukup sehingga diharuskan harus membeli bahan pangan beras dri daerah lain atau import, padahal Papua memiliki pangan lokal yakni Sagu, atau didaerah lain seperti NTT atau Gorontalo yang mengkonsumsi jagung, sehingga masyarakat atau petani lokal pun tetap mengambangkan produksi pangan lokal sebagai sumber pendapatan, dapat menasionalisasikan pangan lokal ini menjadi alternative pangan nasional.
Memang tidak mudah untuk menasionalkan pangan lokal menjadi pangan nasional namun yang perlu dilakukan upaya riset pangan lokal, dimana pangan lokal dapat dijadikan sumber bahan makanan pokok melalui produk-produk makanan yang berbasiskan pangan lokal, apabila hal ini dilakukan maka masyarakat daerah tidak lagi merasa teralienasi hanya karena makan sagu, jagung atau tiwul.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Langganan:
Postingan (Atom)