“TAFSIR TUNGGAL PANGAN DI INDONESIA”
*Yoyarib Mau
Permasalahan pangan merupakan permasalahan yang urgent dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena tidak terpenuhinya kebutuhan pangan maka akan menyebabkan berbagai persoalan turunan. Berbagai persoalan turunan tersebut diantaranya; kelaparan di berbagai daerah, terjadinya pertikaian atau konflik yang disebabkan karena memperebutkan kebutuhan pangan dan juga disebabkan karena terciptanya kelas sosial atau stigma miskin dan kaya karena model atau bentuk pangan itu sendiri.
Indonesia terbentang luas sebagai negara kepulauan dan beriklim tropis dimana dapat memungkinkan bagi pengembangan pangan di Indonesia, pangan yang di maksudkan di sini adalah pangan yang dapat memenuhi unsur kalori atau dapat memberikan energi. Pangan yang dapat memberikan unsur kalori bagi manusia sehingga manusia bertenaga cukup banyak namun kenyataan nya, pangan yang mendapat prioritas utama untuk dikembangkan sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia adalah beras, padahal ada berbagai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat seperti gandum, sorgum, dan jagung.
Bahan makanan pokok yang memenuhi unsur kalori di Indonesia, berbagai daerah di nusantara sangat memiliki kekhasan tersendiri menyangkut konsumsi pangannya seperti; Ambon dan Papua memiliki kearifan lokal menyangkut pangan untuk konsumsi penduduknya yakni sagu sebagai pangan atau bahan makanan pokok, di NTT dan Gorontalo ada jagung yang dijadikan makanan pokok, ada daerah lain juga menjadikan ubi dan umbi-umbian (tiwul) sebagai bahan makanan pokok yang memiliki kadar kalori yang cukup untuk dikonsumsi.
Namun keberadaan makanan pokok yang dimiliki sebagai kekayaan lokal tidak berdaya bahkan tidak diakui sebagai bahan makanan pokok, proses pembunuhan pangan lokal ini terjadi pada masa orde baru dimana dengan program swasembada pangan pada PELITA (Pembangunan Lima Tahunan) dimana digalakan “berasnisasi” sebagai program utama yang dilakukan oleh President Soeharto.
Proses berasnisasi ini digalakan diberbagai daerah melalui transmigarasi dimana di sediakan lahan persawahan didaerah tujuan transmigrasi kemudian masyarakat yang mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok di jadikan sebagai warga transmigrasi untuk mengkampanyekan beras sebagai bahan makanan pokok nasional. Tidak saja pola tersebut tetapi setiap pegawai negeri sipil (PNS) setiap bulan diberikan jatah beras gratis selain uang nominal.
Bahkan beras di jadikan bahan makanan pokok utama dengan menginstitusionalkannya dengan lembaga yang khusus mengurus beras yakni Badan Utama Logistik (BULOG). Bahkan petani yang mengelola sawah dapat menjual gabahnya atau dibeli oleh pemerintah atau diserap oleh bulog untuk kemudian dapat didistribusikan kembali secara merata keseluruh pelosok Indonesia.
Kondisi ini menghadirkan pertanyaan, mengapa beras sepertinya dilembagakan sebagai bahan makanan pokok yang yang dinasionalisasikan sebagai bahan pangan utama ? padahal tidak setiap daerah di Indonesia dapat mengembangkan tanaman padi di daerahnya, dan bukan saja masalah pengembangan padi di seluruh daerah, namun lebih jauh mengapa pilihan pada beras yang dijadikan bahan pokok utama dan bahan pokok khas di daerah lain tidak di manfaatkan juga ?.
Kebijakan pemerintah untuk menginstitusionalisasikan beras sebagai pangan utama di negara sepertinya lebih didorong oleh “ideologi pasar”, mengapa demikian karena pasar asia tenggara jelas sebagai pengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok sehingga pengembangan perswahan yang menanam padi hampir dikembangkan di wilayah-wilayah asia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan beras di asia tenggara maka kebijakan swasembada beras di lakukan oleh Soeharto, Muhadi Sugiono menuliskan bahwa; kebijakan pembangunana ekonomi negara-negara berkembang telah berubah secara drastic sejak tahun 1980- an hampir semua negara berkembang menggeser kebijakan ekonominya mereka kea rah liberalisasi yang lebih besar dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui serangkaian reformasi ekonomi berorientasi pasar (Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga – Pustaka Pelajar – 1999).
Pendapat penulis bahwa kebijakan beras sebagai pangan utama hanyalah sebuah kebijakan untuk memenuhi ideologi pasar para penguasa, dimana hal ini dapat kita ketahui bersama bahwa Indonesia pernah mencapai swasembada pangan tetapi kemudian ketika kebijakan beras sebagai pangan nasional telah berhasil didoktrinkan sebagai bahan makanan nasional dan bahan makanan yang bermartabat berhasil menggeser paradigm masyarakat daerah yang mengkonsumsi pangan lokal seperti; sagu, jagung, sorgum, gandum dan umbi-umbian lainnya.
Mereka yang masih menikmati bahan pangan lokal dikategorikan sebagai masyarakat miskin dan terbelakang bahkan stigma primitive berlaku absolute, kemudian masyarakat ingin keluar dari stigma miskin, primitive dan terbelakang maka rakyat harus berusaha untuk membeli beras untuk mengkonsumsi beras.
Hukum ekonomi pasar mulai berlaku karena permintaan untuk mengkonsumsi beras semakin tinggi tetapi persediaan stok beras nasional tidak tersedia maka para elite, maka mulai ideology pasar mulai diterapkan dimana proses impor beras mulai dilakukan, bahkan Indonesia pernah melakukan penjualan barter dengan Thailand, Indonesia menyediakan Pesawat sedangkan Thailand mengirimkan beras bagi Indonesia.
Ideologi pasar berlaku mutlak dalam penyediaan pangan nasional. Masyarakat dianggap miskin kalau mengkonsumsi beras sehingga pemerintah menyediakan beras miskin (raskin). Rakyat dianggap tidak berdaya kalau hanya makan sagu, jagung, atau tiwul. Padahal hal ini hanya menyangkut proses pengolahan dan kadar kalori yang terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Pangan Beras Kepentingan Penguasa
Stigma yang dibangun ini sepertinya dilihat pengusaha untuk melakukan peluang bisnis yakni dapat melakukan import beras hal ini berlangsung terus hingga saat ini karena dengan melakukan import beras dapat memberikan keuntungan penguasa melalui partai politik, karena banyaknya pengurus partai politik yang melakukan import beras, seperti Nurdin Halid yang tersandung kasus import beras. Keuntungan dari import beras ini dapat didapatkan dari negosiasi harga dan komisi yang diperoleh sebagian di setorkan kepada partai politi berkuasa.
Pendapat penulis mengapa kebijakan beras sebagai pangan nasional jika murni bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau rakyat mengapa tidak di maksimalkan pada pengembangan beras lokal dimana pembelian gabah padi petani dengan harga tinggi sehingga cadangan beras di bulog cukup tersedia dan tidak melakukan melakukan lagi proses import.
Proses import terus saja dilakukan dengan alasan sebagai cadangan stok nasional untuk mengantisipasi masa paceklik atau gagal panen. Hal ini sejujurnya akal-akalan penguasa saja sebagaimana diungkapkan oleh Mochamad Maksum Machfoeds bahwa beberapa kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) untuk mengantisipasi krisis perberasan nasional empat bulan cenderung reaktif dan tidak mendasar dan bagai jalan pintas, dimana keputusan import 500.000 ton beras padahal di suatu sisi ada klaim kesuksesan swasembada dengan surplus 5,6 juta tonberas pada tahun 2010 (Harian Kompas 29/11/2010).
Ketika keadaan surplus mengapa harus memaksakan import beras, hal ini hanyalah akal-akalan agar adanya pemasukan dana bagi partai politik tertentu karena sudah tentu kebijakan ini merupakan titipan pengusaha pengimport dengan membayar sejumlah komisi tertentu kepada para penentu kebijakan.
Beras Bukan Pilihan Tunggal di Era Otonomi Daerah
Keberadaan Bulog sebagai lembaga nasional yang dibentuk pada masa lampau untuk berperan mengontrol dan mendistribusikan pangan beras ke seluruh wilayah di Indonesia, ketika Indonesia tidak lagi memilih pemerintahan yang sentralistik tetapi lebih pada pola desentralisasi maka sudah seharusnya bulog daerah pun diberikan kebebasan untuk menyediakan pangan di daerah berdasarkan kebutuhan dan bentuk pangan lokal yang merupakan bahan makanan pokok di daerah.
Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat menyerap pangan yang dihasilkan oleh daerah tersebut, apabila di papua dimana tidak memiliki lahan sawah yang cukup sehingga diharuskan harus membeli bahan pangan beras dri daerah lain atau import, padahal Papua memiliki pangan lokal yakni Sagu, atau didaerah lain seperti NTT atau Gorontalo yang mengkonsumsi jagung, sehingga masyarakat atau petani lokal pun tetap mengambangkan produksi pangan lokal sebagai sumber pendapatan, dapat menasionalisasikan pangan lokal ini menjadi alternative pangan nasional.
Memang tidak mudah untuk menasionalkan pangan lokal menjadi pangan nasional namun yang perlu dilakukan upaya riset pangan lokal, dimana pangan lokal dapat dijadikan sumber bahan makanan pokok melalui produk-produk makanan yang berbasiskan pangan lokal, apabila hal ini dilakukan maka masyarakat daerah tidak lagi merasa teralienasi hanya karena makan sagu, jagung atau tiwul.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar