Minggu, 19 Desember 2010

"RESTORASI INDONESIA"

“RESTORASI INDONESIA”
*Yoyarib Mau

Menatap perjalanan adanya Indonesia adalah sebuah kemustahilan sehingga tidaklah salah jika para pendiri bangsa dalam pembuk aan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ketiga tercantum kalimat ….Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…….. kalimat ini memiliki nilai filosofis – teologis yang mendalam, sebuah refleksi yang patut diberi ancungan jempol.

Pengakuan tulus dari para pejuang kemerdekaan bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang membahagiakan karena keadaan yang menjadi hak mutlak dari semua bangsa namun harus melalui perjuangan yang panjang, namun para pendiri bangsa sadar bahwa ketika perjuangan panjang yang dilakukan bukan hanya semata-mata keringat mereka tetapi kemerdekaan ini adalah perkenan anugerah dari Sang Pencipta.

Mendasari terbentuknya sebuah negara dengan keyakinan bahwa ada kekuatan yang melampaui diri manusia yang mengelorakan perjuangan karena tanpa intervensi tersebut tak ada gelora perjuangan dalam diri para pejuang. Perjuangan untuk terbentuknya apa yang dinamakan Indonesia bukanlah hal yang mudah karena keberagaman budaya, etnik, agama serta negara kepulauan yang terbentang dari Sabang – Merauke, dari Miangas – Pulau Rote.

Proses menjadi bangsa Indonesia didasari karena memiliki tanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, berbangsa satu bahasa Indonesia. Proses menyatukan ini tidaklah mudah tetapi melalui perdebatan yang panjang, sehingga mampu menghasilkan susunan negara Republik Indonesia tidak berdasarkan dominasi atau kekuatan salah satu agama , kekuatan individu tertentu, tidak dipengaruhi oleh tawaran material namun dilakukan dalam niat untuk memajukan kesejahteraan umum maka musyawarah mufakat dilakukan dengan berasaskan kedaulatan rakyat untuk memfinalkan apa yang hari ini masih di kenal dengan Indonesia.

Namun perjalanan berbangsa sampai hari ini, Indonesia tidak luput dari persoalan keutuhan bangsa bahkan kembali mencuat persoalan ketuhan finalisasi NKRI yang sudah mutlak, persoalan kelam yang dilalui untuk mencapai kemerdekaan bangsa sepertinya tidak membekas dan terpendam dalam diri seluruh rakyat Indonesia, persoalan kesenjangan social, kemiskinan, pembangunan yang tidak merata membuat kelompok masyarakat memilih jalan pintas untuk memisahkan diri dari NKRI.

Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri karena ini persoalan Indonesia Kemaren, Hari ini dan Esok, persoalan pergolakan di daerah seperti PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta), persoalan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua, RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku, persoalan pemisahan diri secara geopolitik pemisahan diri berdasarkan etnisitas dan letak geografis, perjuangan pemisahan diri melalui ideologi politik agama pun terjadi seperti DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Daud Beureuh, Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan terus ada hanyalah berganti nama dan baju organisasi.

Konflik yang terjadi sepanjang proses menjadi Indonesia silih berganti, terus menerus terjadi sepertinya menghadirkan pertanyaan yang perlu didiagnosa bersama; Pertama; apakah fondasi kebangsaan Indonesia rapuh dan tidak lagi kuat menopang akan keutuhan NKRI ?, Kedua; apabila Indonesia diibaratkan dengan perspektif pertimbangan ekonomi, seandainya Indonesia ini adalah sebuah produk maka sudah saatnya Indonesia harus menemukan desain produk yang baik sehingga mampu mempertahankan apa yang diinginkan para pendiri bangsa ? Ketiga; apakah pembangunan yang saat ini dilakukan sudah tepat atau sebaliknya menimbulkan ketidakkeseimbangan dan perlakuan diskriminatif dalam mengakses pembangunan ekonomi ? pertanyaan-pertanyaan ini sebagai alat diagnosa untuk menemukan jalan keluar bagi persoalan bangsa ini.

Kondisi konflik dan pemisahan diri bukanlah keinginann para pendiri bangsa Indonesia, namun hal ini merupakan situasi konflik yang lebih bernuansa kedaerahan ini menurut Maswardi Rauf bahwa pegolakan daerah tidak perlu terjadi dan karena pergolkan daerah ini sebenarnya tidak ingin memisahkan diri dari NKRI tapi sikap ini merupakan protes terhadap perkembangan politik pada tingkat pusat dan ketidakpuasan beberapa daerah terhadap penanganan hubungan pusat-daerah oleh pemerintah pusat yang dianggap lebih menguntungkan Jakarta (Maswardi Rauf, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional 2001).

Ketika penerapan pemerintahan yang berpusat di Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan sentralisasi dimana semua berpusat dan dikendalikan di Jakarta, daerah memiliki wewenang yang terbatas, semua pajak dan sumber pendapatan lainnya harus di serahkan ke pusat kemudian inisiatif pemerintah pusat untuk memberikan berapa persen ke daerah. Kondisi ini membuat Jakarta sebagai penentu kebijakan dari pusat hingga ke daerah baik provinsi maupun kota/kabupaten.

Pola dalam menjalankan strategi pemerintahan ini menurut pemikiran Cornelis Lay bahwa, Jakarta, dengan ini, menemukan sebuah alat yang sedemikian powerfull untuk menuntaskan hasrat “penaklukan daerah`- daerah” secara total, sekalipun cita-cita pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas ekonomi dihadirkan secara terus-menerus sebagai selubung ideologinya. Model perencanaan ini pembangunan yang dikembangkan, Jakarta bertukar wajah secara cepat menjadi sentrum ketergantungan yang tampaknya “pemurah” (benevolent) –tampak dari sistem alokasi anggaran yang menempatkan Jakarta seolah-olah adalah sumber bukan saja perencanaan tapi sekaligus pembiayaan bagi daerah-daerah(Abdul Gaffar Karim - Pustaka Pelajar – 2006).
Model roda pemerintahan yang dijalankan dengan berpusat di daerah membuat rakyat menggerutu karena sepertinya semua hasil keringat didaerah semua di larikan ke Jakarta, semua didinikmati sepenuhnya di Jakarta, daerah hanya mendapatkan sisa anggaran yang di berikan oleh pusat, hal ini berdampak kepada pembangunan di daerah pembangunan di daerah sepertinya terabaikan.

Kebijakan pemusatan pola pemerintahan berimplikasi pada pembangunan ekonomi dan penentuan politik dimana proses menjalankan pemerintahan daerah segenapnya pun dikerahkan melalaui Jakarta sehingga terkesan Jakarta centris. Hal ini juga membuat mereka yang berada dekat lingkaran kekuasaan yang menikmati kekuasaan baik dari perhitungan ekonomi maupun akses untuk mendapatkan berbagai peluang usaha bahkan mendapatkan legitimasi untuk menjadi pemerintahan daerah.

Pembangunan Ekonomi

Sentralisasi mengakibatkan keterbelakangan di daerah karena semua kekayaan daerah yang melimpah dikeruk dan di bawa untuk membangun gedung-gedung tinggi di Jakarta, sebagaimana kita ketahui Aceh yang memiliki sumber alam yang melimpah tetapi rakayat di Aceh berada dalam lingkaran kemiskinana. Papua dengan kekayaang alam dan kandungan mineral yang melimpah dikuasai asing atas rekomendasi Jakarta, Jakarta menjamin perijinan serta jaminan keamanan bagi asing untuk melakukan eksploitasi tambang terbesar di Papua namun keuntungan tidak di nikmati oleh orang Papua keuntungan di nikmati oleh asing dan orang Jakarta, sedangkan orang Papua hanya mendulang dari hasil pembuangan tailing.

Kasus yang sama juga di alami oleh Provinsi-Provini yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi mereka tidak mendapatkan keuntungan tidak adannya keuntungan yang didapatkan oleh orang daerah, jika pengalokasian dana pusat bagi pembangunan di daerah berdasarkan jumlah penduduk maka masyarakat di luar pulau jawa yang memiliki keuntungan dari sumber daya alam yang melimpah tetapi mereka tidak mendapatkan keuntungan lebih banyak dari keuntungan tersebut.

Alam yang melimpah namun rakyatnya tetap menderita karena keuntungan di kuasai oleh elit pemerintah pusat kondisi ini kemudian membuat rakyat di daerah menuntut lebih, perjungan daerah untuk mendapatkan haknya di anggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap pusat sehingga stigma bagi mereka yang menuntut dianggap sebagai separatis, stigma ini kemudian membuat mereka berjuang dengan mengangkat senjata.

Membangun Demokrasi

Kehidupan masyarakat lokal di Indonesia yang dikenal dengan budaya gotong royong dan musyawara mufakat menjadi modal sosial bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan di daerah, budaya yang di miliki di seluruh etnik di nusantara masing-masing memiliki nama dan konsep yang berbeda-beda. Seperti konsep pemerintahan desa yang coba di seragamkan di tanah air sebenarnya telah mengkhianati bahkan mengabaikan konsep lokal dimana ada konsep pemerintahan lokal yang berbeda – beda sebagaimana di Padang ada konsep desa yang kita kenal dengan sebutan “nagari”, di Maluku dikenal dengan sebutan “negeri” dan Kepala Negeri merupakan sebutan untuk kepala negeri sebagaimana kepala desa untuk pemimpin desa di daerah lain, atau penerapan nama “distrik” di Papua untuk konsep pemerintahan di tingkat kecamatan.

Proses homogenisasi ini sebenarnya telah mengabaikan akan keberadaan konsep – konsep lokal yang substansi struktur pemerintahannya memiliki kesamaan dengan homogenisasi yang dilakukan pemerintah pusat yakni pemerintahan desa dengan dipimpin oleh seorang kepala desa. Padahal menurut Jhon Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung tercapainya kesejahteran social. Artinya demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antar warga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat social (Demokrasi Di Tingkat Lokal, Institute For Democracy And Electoral Assistance 2002).

Pemikiran Jhon Stuart Mill sebenarnya memberikan penekanan bahwa demokrasi sebenarnya bukan seutuhnya mengabaikan konsep pemerintahan lokal tetapi sebenarnya bagaimana konsep lokal dikembangkan demi terwujudnaya kesejahteraan social, sebagaimana juga konsep “subak” di Bali, konsep subak merupakan sebuah kesepakatan musyawarah masyarakat desa untuk mendaulat seseorang menjadi Subak untuk mengatur pembagian jatah air untuk mengairi persawahan warga.

Desa atau nagari atau negeri dimana di strukturkan sebagai bagian dari bangunana strukturt pemerintah pusat yang di beri tanggung jawab oleh negara sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengontrol rakyat dan sebagai sasaran tujuan dari megaproyek pemerintah, pemerintah desa dijadikan target kepentingan penguasa dimana melakukan utang luar negeri kemudian melakukan berbagai bantuan ke desa sebagaimana kita kenal dalam orde baru ada dana IDT (Inpres Desa Tertinggal), dana subsidi desa yang besaran dananya sudah disunat untuk dana administrative dari pemerintahan provinsi hingga pemerintahan desa sehingga saat sampai ketangan rakyat jumlahnya tidak memadai lagi dapat untuk melakukan pembangunan desa.

Desa sebenarnya dapat melakukan pembangunan desa dengan melalui proses musyarwarah bersama, kebutuhan pembangunan seperti apa yang dibutuhkan oleh desa tersebut disepakati ditingkat desa sendiri, kemudian mengajukan proses pendanaannya ketingkat kota atau kabupaten, pola pembangunan buttom up yang harus dilakukan dan bukan top down.

Keberadaan kedaerahan di Indonesia sangat variatif dalam sistim pemerintahan yang cukup mengakar kondisi Indonesia terbentuk dari berbagai kerajaan kecil atau kesultanan yang keberadaannnya di seluruh nusantara dan proses demokrasi lokal yang dikembangkan di sana adalah musyawarah untuk mufakat sehingga penyesuaian demokrasi pun harus disesuaikan dengan budaya lokal sehingga keunikan lokal merupakan kekayaan dari masyarakat adat di Indonesia tidak dihilangkan.

Kesalahan terbesar dari pemerintah orde baru menempatkan etnies tertentu sebagai etnies dominan terhdap etnies yang lain, tak dapat disalahkan bahwa budaya jawa yang hampir mendominasi dan mengental dalam seluruh kehidupan masyarakat Indonesia sehingga tekesan budaya daerah dari etnik lain di tanah air di abaikan. Kondisi ini berlaku juga dalam seluruh struktur kepemimpinan dari tingkat pusat hingga daerah, berhubung dengan pemimpin lokal pada masa orde baru juga ditentukan dari pusat menyebabakan kesenjangan peran etnik lain dalam kepemimpinan lokal.

Dimana penempatan orang-orang Jawa sebagai Gubernur atau Bupati di daerah luar daerah sebagaimana pernah Gubernur Sulawesi Selatan di pimpin oleh Sudiro penerapan pola ini di pengaruhi oleh dominannya peran etniek Jawa dan korps TNI (orde baru = ABRI) dan kekuatan Golkar, dimana kekuatan ABG (ABRI-BIROKRASI-GOLKAR) sebagai penentu Indonesia, Model mengakomodasi pejabat pemerintah pada masa itu menyebabkan peran putra daerah, atau etnies dari daerah lain semakin termarjinalkan padahal ada putra daerah ada yang memiliki kapsitas yang cukup untuk menempati jabatan tersebut.

Kepemimpinan tingkat nasional hingga tingkat daerah harusnya lebih di tekankan pada kemampuan dan kapabilitas yang mumpuni untuk mengendalikan kepemimpinan nasional, masa orde lama Bung Hata menerapkan zaken kabinet dimana kementrian negara dipimpin oleh para menteri yang ahli dan tahu seluk- beluk bidang kementrian yang dipimpinya, konsep yang di tawarkan oleh Bung Hatta tersebut sepertinya seperti apa yang diharapkan oleh Sosiolog Jerman Max Webber mengenai tipe ideal birokrasi sebagaimana salah satu tipe ideal tersebut yakni, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian kompetitif (Miftah Thoha - Rajawali Pers - 2007).

Pemikiran rasionalitas Weber didasarkan atas pertimbangan rasionalitas dimana kondisi budaya pada waktu itu yang selalu menekankan rasionalitas dalam setiap kebijakan mereka namun kondisi Indonesia saat ini berbeda saat masa Orde Lama ketika Bung Hatta menekankan bahwa kabinet tidak hanya seutuhnya diduduki oleh mereka yang berasal dari partai politik tetapi jabatan ini pula dapat diemban oleh mereka yang berasal dari luar partai politik yang ahli dan berilmu seperti yang kita kenal; Ir, H. Djuanda, Sultan Hamengkubuwono IX, Prof.Mr. Moh. Yamin dan lainnya, mereka juga adalah putra-putri Indonesia yang waktu itu mengenyam pendidikan di luar negeri.

Apabila pertimbangan jabatan dan mengakomodir pihak-pihak yang dianggab mampu dan memiliki kapabilitas dilakukan pada waktu konteks waktu itu. Dengan demikian kondisi Indonesia hari ini yang telah menerapkan konsep otonomi daerah, serta demokratisasi maka penempatan jabatan pada tingkat nasioanal pun harus memiliki pertimbangan tertentu bahwa jabatan pemerintahan di tingkat nasional tidak hanya di tempati oleh mereka yang berasal dari partai politik pemenangan pemilu, tetapi kondisi konflik kedaerahan yang ingin memisahkan diri karena tidak dilibatkan dalam proses berbangsa, sharing power sebagai bentuk pelibatan daerah dalam pentas nasional sebagai sebuah solusi bagi konflik dan tuntutan pemisahan diri.

Pelibatan putra daerah dalam pentas nasional sudah seharusnya menjadi pertimbangan khusus, sebagaimana konsep zaken kabinet yang diusung oleh Bung Hatta, dimana para menteri yang memiliki kapasitas tetapi tidak berpartai politik diakomodir dalam struktur kabinet, tuntutan kemerdekaan di Papua menurun ketika ada Orang Papua dilibatkan dalam kabinet seperti pada kepemimpinan Megawati ada Immanuel Kaisepo sebagai Menteri Kawasan Timur Indonesia, pada kepemimpinan SBY ada Fredy Numberi sebagai Menteri Perhubungan.

Kepemimpinan nasional tidak dapat di tafsir berdasarkan budaya tertentu yang dijadikan ukuran untuk menentukan kepemimpinan nasioanal sebagaimana yang dilakukan pada masa orde baru yang kemungkinan mendasari pemilihan individu untuk menduduki jabatan tertentu berdasarkan paham Jawa tradisional tentang kekuasaan, yang pada waktu itu lebih kuat dan mendominasi sehingga menurut Hajriyanto Y. Tohari berpendapat bahwa kepercayaan kepada karisma seorang pemimpin selalu bersifat lokal atau terbatas, dan tidak pernah nasional, apalagi universal, yakni hanya karismatis di tempat, daerah atau golongan tertentu saja, serta tidak bagi komunitas atau entitas politik lainnya, maka kepimpinan karismatis cenderung menciptakan primordialisme (Maruto MD & Anwari WMK - LP3ES – 2002).

Menemukan kepemimpinan nasional seyogiannya memahami dalam konteks nasional dan tidak terbatas pada persepsi yang sempit pada daerah tertentu, namun perlu melihat berdasarkan mozaik keindonesiaan sebagai kekayaan dan perekat proses menjadi Indonesia.

Membangun Pluralisme

Persoalan bangsa yang juga tak kunjung usai yakni persoalan kebebasan beribadah, dimana pelarangan beribadah bagi komunitas tertentu yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, organsisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu, padahal para pendiri bangsa telah bersepakat bersama untuk menyepakati adanya kebebasan beribadah dan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini diharuskan sebagai identitas berbangsa dan bernegara sehinga perlu pencantuman identitas agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), namun dalam kekinian sepertinya upaya penghilangan dan proses homogenisasi agama menjadi agama yang tunggal begitu marak, sebagaimana yang dialami di berbagai di berbagai daerah pelarangan beribadah seperti yang dialami jemaat HKBP di Bekasi dan Bandung, jemaat GKI Yasmin di Bogor, pembakaran tempat ibadah dan pengusiran Jema’ah Ahmadyiah di Bogor dan di NTB.

Hidup beragama hari ini seperti diharuskan tetapi juga dibatasi padahal hidup beragama diatur dalam konstitusi dan di beri kebebasan penuh untuk beribadah sebagaimana yang tertulis dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa; “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” jaminan ini memberikan penegasan bahwa kemerdekaan bukan saja menyangkut kemerdekaan dari penjajahan, namun kemerdekaan untuk bebas memeluk agama dan beribadah namun kemerdekaan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, malahan masyarakat tidak bebas untuk beribadah karena peran negara yang seharusnya memuat kebebasan beribadah dalam konstitusi kenyataannya tidak negara gagal menjamin kebebasan tersebut.

Hidup beribadah dan beragama bahkan ada departemen khusus yang mngatur tentang kehidupan beragama, tidak hanya itu tetapi diatur dalam undang-undang yang mengatur proses pendirian sebuah rumah ibadah, Padahal seyogianya ada pemisahan antara agama dan negara, negara tidak berhak mengatur kehidupan beragama, karena menurut John Locke, dominasi negara yang dominan dalam mengatur rakyat akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapai kekuasaan Negara (Ahmad Suhelmi - Gramedia – 2001).

Sebenarnya dengan apa yang dikonstitusikan dalam pasal 29 UUD 45 sebenarnya mempertegas bahwa setiap warga negara berhak untuk beragama dan beribadah, dan dengan keberadaan departemen agama lebih pada kontrol untuk hak-hak beribadah tersebut terwujud atau terlaksana, namun control itu tidak terwujud. Jaminan untuk beribadah sepertinya menjadi barang-barang mahal.

Geografis Indonesia dimana di wilayah tertentu ada agama tertentu yang lebih dominan, sedangkan di tempat lain ada agama lain yang dominan, jika ada aturan yang mengatur akan syarat mendirikan rumah ibadah maka hal ini akan menyebabkan individu lain tidak dapat beribadah karena terbentur oleh syarat dukugan dari warga di sekitarnya untuk beribadah.

Sehingga hak yang di atur dalam dalam konstitusi tidak terwujud, namun ketika mereka memaksakan diri untuk melakukan peribadahan, pemerintah tidak mampu menjamin agar hak-hak beribadah terwujud bahkan melakukan pembiaran agar kelompok masyarakt tertentu melakukan penutupan secara paksa.

Persoalan ini dapat menyebabkan Indonesia akan mengalami pengkotak-kotakan wilayah dan bahkan melakukan pemisahan diri berdasarkan letak geografis dan jumlah pemeluk agama di wilayah tersebut apabila hal ini tidak ditanganimaka akan menjadi ancaman bagi Indonesia kedepan, maka menurut Locke negara diperkenankan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain (Ahmad Suhelmi – 2001).

Menata kembali negara sebagaimana keberadaan negara Indonesia dibentuk oleh para the founding father’s kita maka perlu partisipasi kita bersama untuk menumbuhkembangkan budaya serta gaya kepemimpinan yang telah di lakukan oleh mereka guna menopang keutuhan NKRI. Untuk mengembalikan Indonesia seperti harapan dan komitment para pendiri bangsa maka yang dibutuhkan adalah karakter kepemimpinan nasional yang memikirkan keseimbangan pembangunan ekonomi yang merata di seluru nusantara, roda ekonomi tidak hanya dikendalikan oleh segelintir orang saja, tetapi melakukan pembanguan yang merata di seluruh nusantara, memberikan peluang bagi seluruh rakyat serta memfasilitasi dalam mengakses modal untuk mengembangkan ekonomi dan potensi daerahnya sehingga tidak ada kesenjangan social yang menyebabkan mereka yang merasa terabaikan menuntut untuk memerdekakan diri.

Sharing power dalam kepemimpinan tidak didominasi oleh etnies tertentu atau melakukan ide tunggal dari daerah dan komunitas tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan, tetapi membuka kesempatan bagi semua orang untuk terlibat dengan memberikan ruang bagi mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai dari semua pelosok nusantara untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan.

Tidak memaksakan kehendak tunggal dan mayoritas dalam membatasi kebebsan dan hak-hak azasi dari semua warga negara, menjamin setiap warga negara untuk dimana dan kapan saja dapat mengekspresikan hak-hak azasinya. Tidak memutlakan salah satu nilai-nilai tradisional secara menyeluruh tetapi memberikan kesempatan bagi seluruh daerah untuk menggunakan nilai-nilai lokal (local wisdom) untuk diadopsi dalam menjalankan kepemimpinan, melihat nilai-nilai lokal dari daerah sebagai kekayaan bersama untuk dapat digunakan dalam komunikasi.

Memobilisasi semua komponen bangsa untuk menyadari bahwa keindonesian ada karena berbagai masyarakat yang sangat heterogen, dan memiliki kehidupan beragam yang pluralis, untuk menyatukan negara menyepakati dan berkomitment untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan tujuan nasional.

Apabila Indonesia akan tetap menjadi Indonesia jika pemerintah mampu menjamin akan pertumbuhan ekonomi yang merata ke seluruh daerah di tanah air, menghargai dan mengakui akan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang ada di tanah air, tidak menjadikan atau memperlakukan kebudayaan tertentu untuk mendominasi atau menjadi panutan utama dalam menetapkan sebuah kebijakan namun menempatkan kebudayaan-kebudayaan secara proporsional sebagai kekayaan bangsa. Menghargai akan keberagaman yang ada pluralisma agama di beri kesempatan yang sama untuk mengkespresikan diri tanpa di batasi. Seandainya hal-hal ini dinikmati dan direalisasikan dalam keseharian masyarkat maka Indonesia akan tetap menjadi rumah bersama dari keunikan mozaik keindonesiaan.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar