“WIKILEAKS TERJEPIT ANTARA GLOBALISASI DAN DEMOKRASI”
*Yoyarib Mau
Globalisasi merupakan tata dunia baru yang membuat dunia dalam gengaman tangan, globalisasi merupakan bagian dari sejarah dunia yang hanya mimpi tetapi dalam perjalan sejarah menjadi nyata dan terwujud. Dunia terasa tidak lagi terbatas oleh bentangan jarak tetapi sat ini telah di perpendek dalam ruang yang sempit dan jaringan teknologi.
Penguasaan akan teknologi maka dengan sendirinya dunia dapat dikendalikan oleh mereka yang memiliki keahlian tersebut, penguasaan teknologi merupakan sebuah kekuatan adidaya baru yg bisa menguntungkan bagi semua pihak namun juga mengancam akan pihak lain. Menguasai dunia menurut Bill Gates, kecepatan merupakan jantung dunia masa kini, yang akan mampu mengangkat manusia kearah produktifitas dan kualitas hidup yang lebih baik. Akan tetapi, tidk sedikit pemikir yang melihat dominasi kecepatan atas kehidupan (power/speed) ini sebagai sebuah gambaran suram masa depan umat manusia (Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Jalasutra – Bandung, 2004).
Kemajuan teknologi dunia menyebabkan kekuatan fisik atau material semakin melemah kekuatannya, klaim Amerika Serikat sebagai negara super power dengan memiliki infrastruktur yang mapan di semua bidang baik itu teknologi, ekonomi,politik dan sains. Kemapanan ini sebagai penentu kemajuan negara AS. Keadaan ini kemudian membuat AS merasa sebagai negara kuat yang tak mungkin terkalahkan dan membuat AS ingin tampil sebagai penguasa dunia atau hegemoni dunia.
Amerika tidak sadar bahwa globalisasi teknologi menunjukan kebaikan tetapi mereka lupa bahwa sepertinya ada dampak buruk dari kecepatan teknologi tersebut sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bill Gates di atas, yang tanpa sadar gedung kembar WTC diruntuhkan oleh para teroris membajak pesawat terbang dan menabraknnya dan tidak hanya itu tetapi juga para teroris menyempatkan diri melakukan penyerangan ke ke gedung Pentagon yang di kenal dengan system keamanan yang luar biasa .
Tragedi runtuhnya gedung WTC di AS, merupakan tamparan keras bagi sistem kemanan dan teknologi di Amerika Serikat (AS), tidak cukup dengan itu AS sepertinya kembali dipermalukan dengan pembocoran ratusan ribu dokumen rahasia negara oleh Julian Assange, pendiri sebagai pendiri situs wikileaks. Pembocoran dokumen ini menyebabkan berbagai pihak menyimpiulkan bahwa kemajuan teknologi yang dikemas dalam teknologi dunia maya memiliki kekuatan yang dasyat yang tidak dapat diremehkan oleh kekuatan fisik yakni alustista (alat untuk sistim pertahanan) maupun kekuatan infrastruktur.
Anggapan buruk terhadap wikileaks tidak saja dilakukan oleh dunia luar tetapi dilakukan pula oleh pemikir dalam negar sendiri sebagaiman opini saudari Esther Dyson seorang Chaiman Edventure Holdings yang dalam tulisan opininya di Koran Tempo mengarahkan pernytaannya kepada pendiri wikilleaks bahwa, “jika lembaga-lembaga yang ada tidak sepenuhnya akuntabel, ada gunanya kita memiliki suatu lembaga penyeimbang yang tidak akuntabel juga guna menyinggung rahasia-rahasia mereka” (Koran Tempo – 22/12/2010).
Pendapat diatas sepertinya menyalahkan wikileaks yang telah melakukan penelanjangan sebagai sebuah kenyataan bahkan fakta yang tak terbantahkan bahwa kekutana teknologi sebagai penentu utama. Akibat penelanjangan yang dilakukan oleh situs wikileaks menghadirkan dikotomi dalam masyarakat dunia yakni adanya kelompok bangsa yang mendukung apa yang dilakukan oleh para aktifis yang mengoperasikan situs ini dan juga ada kelompok bangsa yang sangat membenci para pendiri bahkan pengelola situs ini.
Bahkan akibat kebencian terhadap situs wikileaks maka berbagai upaya dilakukan oleh para negara pendukung untuk mendeskreditkan bahkan menjerat sang pendiri dengan proses hukum, dimana sang pendiri ditangkap di Inggris di London pada 07 Desember 2010, kemudian di ekstradisi ke Swedia tempat dirinya di cari atas tuduhan pelecehan seks (metrotvnews.com).
Akibat dari muatan situs wikileaks membuat masyarakat dunia bertanya, di suatu sisi AS sebagai negara terbesar di dunia yang menerapkan sistim demokrasi, bahkan demokrasi di Amerika Serikat menjadi acuan bagi negara-negara di belahan dunia lain. Menurut opini Yasraf Amir Piliang, betapa sistem demokrasi liberal khususnya AS – yang selama ini diagung-agungkan sebagai pembela kebebasan, keterbukaan, kejujuran dan keadilan ternyata tak lebih dari sebuah sistem korup, palsu dan biadab (Koran Kompas, 16 Desember 2010).
Perilaku yang dilakukan oleh AS membuat banyak pertanyaan yang harus di jawab diantaranya, apakah tuntutan globalisai lebih kuat sehingga membuat demokrasi dapat di plintir atau demokrasi diperalat oleh AS untuk meraup keuntungan untuk mempertahankan diri sebagai negara adidaya ? siapakah yang lebih demokratis apakah pihak wikileaks atau mereka yang membenci wikileaks ?
Wikileaks Melek Globalisasi
Wikileaks adalah non-profit media organisasi yang bermarkas di Swedia, berdedikasi untuk membawa berita penting dan informasi kepad public, Wikileaks adalah media nirlaba yang menyediakan cara yang inovatif, aman dan menjaga kerahasiaan sumber-sumber independen di seluruh dunia yang membocorkan informasi kepada wartawan kami, menerbitkan bahan signifikansi etis, politis dan sejarah sekaligus mempertahankan identitas sumber anonim, dan dengan cara yang universal untuk mengungkapkan ketidakadilan yang di tekan atau di sensor, Wikileaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award, dari majalah Ekonomist untuk tahun 2008, Pada bulan Juni 2009 wikileaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun2008 beroleh Pljudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances, sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya tentang pembunuhan oleh Polisi di Kenya. Pada bulan Mei 2010, New York Daily News menempatkan Wikileaks pada peringkat pertama dalam situs yang benar-benar bisa mengubah berita. Pada Juli 2010 situ ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan, selanjutnya pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, wikileaks mulai merilis kabel diplomatic Amerika Serikat (wikipedia.com).
Berbicara globlasisai berarti wikileaks telah berada pada pusaran tersebut dimana mereka memanfaatkan teknologi informatika untuk kebaikan bersama, terutama merweka yang berlatar belakang NGO untuk menciptakan tatanan dunia baru yang hidup damai bersama semua orang. Dan jika dikaitkan dengan dengan demokrasi maka yang menjadi persoalan dari kedua hal ini ada tiga variabel yang sangat berpengaruh yakni negara (state), pemerintah (governance), pasar (market). Ketiga hal ini merupakan variable penentu dalam globalisasi terutama menyangkut ukuran berhasilnya sebuah negara menjadi negara dengan tingkat ekonomi yang mapan dan maju, sebuah negara yang kuat akan ditentukan oleh pemerintahan yang mampu menetapkan strategi untuk membangun ekonomi negrinya dengan menghasilkan berbagai produk yang dapat di pasarkan ke pasar, namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana menguasai pasar dunia.
Kebergantungan negara-negara besar seperti AS degan negara-negara berkembang sangatlah besar karena sebagai penyedia bahkan memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup tinggi untuk dapat dikuasai dan di eksplotasi dan hal yang berikut adalah bagaimana membangun hubungan dengan negara-negar untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan.
Viktor K. Fung dan kawan-kawannya menuliskan bahwa kekuatan politik telah menentukan untuk membuat dunia tetap tidak rata, dengan menetapkan berbagai penghalang baru dan membangun terowongan dan superhighways bagi mitra dagang yang di sukainya (Viktor K. Fung dkk, Competing In A Flat World, @kademia – 2008)
Kebijakan luar negari AS yang lebih mementingkan kepantingannya sebagai negara adikuasa menyebabkan, AS menerjemahkan tatanan hidup dunia berdasarkan perpespketif dirinya sebagai negara adikuasa dimana semua negara bergantung pada AS sebagai negara sentaral dan negara-negara dunia ketiga berperan sebagai negara peri-peri. Padahal yang sangat disayangkan yakni berperilaku machiavelian, dimana tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai demokratis yang sangat fundamental yakni egalitarian, terbuka, setara dan adil.
Kenyataannya dengan alasan demokrasi, dimana Irak, Afganistan dinyatakan tidak demokratis karena tidak adanya kebebasan dan kesetaraan disana AS melakukan intervensi dan melakukan pendudukan untuk menciptakan demokrasi namun kenyataannya hanyalah demokrasi procedural yang dilakukannya pemilu secara langsung dengan pola “one man one vote” akan tetapi substansi demokrasi yang mengusung nilai-nilai luhur manusia, mereka hanya menafsirkan hanya pada kepentingan ekonomi yakni demokrasi dalam konteks kepentingan ekonomis.
AS sepertinya melakukan pembatasan dan control dengan perpanjangan tanggannnya yakni para diplomat yang di utus ke negara-negara. perilaku AS yang menggunakan kekuatan diplomasi luar negerinya telah di usahakan pasca perang dunia ke II menurut Muhadi Sugiono, Sesudah perang dunia II muncul sebagai produk dari persaingan sengit antara dua orientasi kebijakan yang bertentangan di AS maupun di negara-negara kapitalis utama lainnya: antara orientasi internasionalisme liberal yang menghendaki sebuah perekonomian dunia yang terbuka, di satu pihak, dengan kapitalisme nasional yang menuntut lebih banyak peran aktif negara dalam mencapai tujuan-tujuan sosial, di lain pihak orang-orang Internasionalisme Liberal, yang diwakili oleh Wall Street dan Departemen Luar Negeri di Amerika dan City Of London di Inggris bahwa satu-satunya solusi bagi probel ekonomi dunia liberal terbuka (Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia ketiga, Pustaka Pelajar – 1999).
Pendapat Muhadi Sugiono sebenarnya ingin menegaskan bahwa negara-negara dunia ketiga tidak berdaya atau tidak melakukan “bargaining power” untuk mengakan perekonomian nasional, kekuatan departemen luar negeri AS di manfaatkan sebagai alat penekan melalui kedutaan-kedutaannya di negara- negara berkembang untuk melakukan negosiasi dan penekanaan.
Nilai Kebebasan dan Kesetaraan Esensi Demokrasi
Wikileaks sebagai lembaga sosial menaruh perhatian pada persoalan hegemoni AS dan sekutunya yang ingina mengenguasai perekonomian dunia melihat hal ini maka para inisiatorpembentuk situs wikileaks melakukan investigasi dan mencari informasi untuk mengetahuui apa yang yang dilakukan oleh AS untuk mengusai perekpnomian dunia.
Penguasaan ekonomi dunia dilakukan dengan strategi ekonomi yang cukup baik dimana lembaga-lembaga dunia di manfaatkan oleh AS sebagaimana IMF (International Moneter Financial) dan World Bank, bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia lainnya, tawaran kesanggupan AS serikat untuk menyediakan bantuan keuangan dan pinjaman luar negeri dengan proses pengembalian yang mudah serta ada syarat-syarat tertentu yang harus di penuhi.
Pola yang dilakukan AS ini menurut Robert Cox bahwa mengkarakteristiknya menjadi negara neoliberal dimana dicirikan dengan merasuknya peran negara dalam proses akumulasi, ekspansi peran negara untuk menyediakan jarring pengaman bagi mereka yang tidak beruntung dalam mekanisme pasar dan segmentasi pasar ke dalam kosentrasi modal besar pada sector oligopolistic dan bisnis kecil dalam sektor kompetitif (Muhadi Sugiono - Pustaka Pelajar – 1999).
Perilaku yang di utarakan oleh Robert Cox sangat menguntungkan bagi AS yang kebetulan berada pada posisi sebagai pemilik hak veto di PBB sehingga dapat meberikan tekanan kepada Bank Dunia atau IMF untuk tidak meberikan bantuan atau membekukan pendanaan kepada Negara tertentu.
Perilaku AS inilah yang menurut para pendiri wikileaks sebagai bentuk hegemoni atas negara –negara yang tidak berdaya, dilatar belakangi oleh persoalan ini maka meraka sadar bahwa ada permaslahan dengan demokrasi, demokrasi dijadikan sebagai topeng untuk meraup keuntugan. Para pendiri situs ini adalah pekerja – pekerja sosial yang memiliki komitment untuk memberikan informasi benar dan beredikasi untuk menegakan nilai-nilai demokrasi yang telah di peralat untuk kepentingan negar-negara tertentu.
Situs ini hadir sebagai salah satu pilar demokrasi yakni sebagai alat control jika ada penyimpangan yang dari kekuasaan, situs ini melihat media elektronik dalam hal ini website sebagai sebuah alat yang sesuai dengan kebutuhan global, sehingga proses penyampaian informasi untuk memberikan transparansi bagi dunia tidak dapt di salahkan sehingga, sehingga negara-negara yang memiliki hubungan baik dan bagian dari hegemoni dunia sebagaimana Inggris berperan dalam penangkapan terhadap Julian Assange yang kemudian di ekstradisi ke Swedia.
Menarik dari persoalan penangkapan ini bahwa tuduhan yang diberikan kepada Julian Assange yakni pelecehan seksual hal ini sebagai alasan agar dapat di penjarakan atau dilakukan penghukuman, tetapi apabila di hukum karena menyebarkan rahasia negara atau di tunttut dengan UU Spionase AS maka hal ini tidak relevan bahkan menghadirkan persepsi miring terhadap AS sebagai negara yang demokratis.
Kemudian pemikiran saudara Esteher Dyson bahwa apa yangdilakukan oleh Julian Assange dan teman-temannya tidak akuntabel hal ini sangat tidak akurat sebab sudah banyak penghargaan dunia yang di sabet oleh media ini, jika pengakuan dunia akan keberadaan situs ini berarti situs ini telah mendapatkan kepercayaan dunia.
Sehingga pemikiran saudari Esther yang diberi judul jawaban wikileaks ke dunia yang cacat sebenarnya sangatlah prematur. Perlu dilihat bahwa globalisasi bagaikan pisau yang bermata dua yakni tajam dibagian yang menghadap keluar dan juga tajam di bagian dalam, Indonesia bagian dari dunia globalisasi, bahkan Indonesia juga di muat dalam bocoran situs tersebut mengenai masalah penentuan pendapat di Timor Timur dan pemilu presiden 2004.
Memprihatinkan adalah masalah ini tidak menjadi agenda pemerintah dalam menegakan wibawa nya sebagai negara yang berwibawa dan otonom, permasalahan ini malah di serahkan bagi Kementrian Koordinator Informasi dan Komunikasi, padahal masalah ini persoalan dunia yang mebutuhkan pernyataan sikap resmi dari pemerintah apakah mendukung atau menentang apa yang dilakukan oleh wikileaks.
Melakukan permohonan klarifikasi dari pihak kedutaan AS mengenai isu tersebut, apakah benar hal tersbut dilakukan oleh pihak kedutaan atau tidak. Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan demokrasi di Asia Tenggara, namun permasalahan ini sebenarnya memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk mempertegas diri apakah Indonesia menjalankan demokrasi substansial atau demokrasi prosedural, penilaian dunia membuat harga diri bangsa tidak direndahkan di mata dunia.
*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar