Rabu, 08 Desember 2010

"MAHASISWA ITU PEMIKIR ATAU MAFIA TRAFFICKING"

“MAHASIWA ITU PEMIKIR ATAU MAFIA TRAFFICKING”
*Yoyarib Mau

Judul tulisan ini sepertinya tidak dapat diterima oleh para para mahasiswa karena tidak semua mahasiswa berprofesi sebagai mafia trafgicking, namun kenyataaannya seseorang yang dikenal dengan nama Aisyah Manu yang katanya konon terdaftar sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, pada pertengahan bulan November 2010 yang lalu, membawa sebelas (11) anak yang berusia berkisar 9 – 12 tahun dari daerah Amanuban Timur – Timor Tengah Selatan (TTS) yang hendak dibawa ke Jakarta dengan iming-iming akan di sekolahkan di Jakarta.

Atas dasar tawaran ingin disekolahkan di Jakarta sebagaian anak-anak menuruti tawaran sang mahsiswa tersebtu yang melengkapi diri dengan organisasi extra kampusnya sebagai Pengurus Pusat Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Timor (IPMAT), tampilan sekretariat sekaligus asrama dari organisasi cukup mengesankan karena terletak di daerah Ciracas Jakarta Timur, bahkan penempatan papan organisasi ini di depan asrama ini, bahkan Pemda NTT tidak mampu memfasilitasi fasilitas yang cukup seperti yang dimiliki kelompok mahasiswa yang tergabung dalam IPMAT.

Kondisi bangunan sekretariat dibandingkan dengan rumah – rumah warga di pedesaan memiliki perbandingan yang cukup mencolok, kesenjangan inilah dijadikan alat marketing untuk memasarkan sebuah program atau produk yang mempengaruhi konsumen. Tampilan yang sangat menyakinkan apabila diramu dengan kecangihan teknologi photo shop maka akan mendapatkan gambar yang berkwalitas baik. Keadaan Amanuban Timur yang jauh dari keramaian kota dan jauh dari peradaban teknologi, apabila di suguhkan dengan gambar atau potret gedung yang cukup menarik maka akan meluluhkan hati anak-anak yang polos dan lugu ini.

Kondisi inilah yang di manfaatkan oleh Aisyah Manu dan kelompok mahasiswanya yang tergabung dalam IPMAT untuk melakukan perekrutan terhadap anak-anak usia sekolah untuk mengenyam pendidikan di Jakarta apalagi dapat mencapai pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sehingga tanpa persetujuan orang tua pun anak-anak ini ingin menggapai impian yang ditawarkan oleh para mahasiswa ini seperti yang dialami oleh orang tua dari salah satu korban Yonatan Lanu (Timor Exprees 30 /11/ 2010).

Kondisi ekonomi yang menghimpit dan ketidak mampuan mengakses pendidikan menjadi masalah yang pelik di daerah ini, niat untuk memajukan daerah melalui pendidikan adalah niat yang mulia dan menjadi tangung jawab setiap komponen masyarakat untuk mencari solusi bagi persoalan kemiskinan dan rendahnya pendidikan di daerah ini. Persoalan ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apa kapasitas dan posisi mahasiswa IPMAT dalam penanganan persoalan pendidikan bagi anak-anak di TTS ?

Agen of Change

Mahasiswa sebagai sebuah kekuatan perubahan atau sering di katakana sebagai “agen of change” karena tingkat pendidikan yang cukup dan semanagat idealisme yang memadai maka posisi mahasiswa di tengah masyarakat dikategorikan masuk dalam kelas menengah.
Dalam teori pembangunan yang dikembangkan oleh Daniel Lerner (1968) dan Seymour Marthin Lipset (1959), ada sejumlah factor yang dipandang sebagai prasyarat bagi adanya demokrasi, seperti adanya peningkatan perkembangan ekonomi, kuatnya kelas menengah,adanya tradisi toleransi dan hormat kepada individu, adanya kelompok – kelompok sosial dan lembaga yang independen, perekonmian yang berorientasi pasar, dan adanya elite yang berkeinginan untuk membatasi kekuasaan (www.simpuldemokrasi.com).

Mahasiswa dalam hal ini IPMAT tidak mungkin berperan untuk peningkatan perkembangan ekonomi secara real karena mereka bukan pengusaha atau memiliki bidang usaha untuk memacu perekonomian masayarakat di NTT sehingga mereka di kategorikan sebagai kelas menengah karena perpendidikan atau mengenyam pendidikan yang cukup apalagi mereka memiliki organisasi yang mungkin saja memiliki struktur ke seluruh Indonesia karena tempat penampungan sementara anak-anak ini yang di kunjungi Bupati TTS adalah di tempat sekretariat Pengurus Pusat IPMAT yang sekaligus tempat tinggal dari para anggota IPMAT.

Pemikiran mahasiswa akan selalu memiliki ide-ide yang cemerlang dan up to date untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan pendidikan di daerah, kareana itu peran mahsiswa sangat dibutuhkan dengan melakukan kajian analisis mengenai kondisi lokal kemudian hasil kajian tersebut dapat di jadikan bahan masukan bagi Pemda untuk membenahi pembangunan di daerah, atau meningkatkan SDM mahasiswanya saat menjalani pendidikan dengan berbagai ilmu sehingga kemudian hari ketika berada didaerah dapat mengabdikannya bagi kemajuan daerah.

Namun kenyataannya ketika Bupati Soe menyambangi mereka ke sekretariat IPMAT mereka berdebat dengan Bupati TTS bahwa mereka berada pada posisi benar, bahkan mereka merasa bahwa mereka sudah turut berkontribusi bagi pendidikan anak-anak di Soe, padahal seharusnya anak-anak ini dilengkapi dengan kelengkapan surat administrative kependudukan serta kejelasan tujuan apalagi hal ini menyangkut perpindahan penduduk antar provinsi.

Para mahasiswa memakai pola penyaluran tenga kerja atau baby sister dimana anak – anak ini direkrut kemudian ditawarkan ke rumah-rumah penduduk sebagai pembantu rumah tangga dimana uang hasil kerja tersebut di pakai untuk biaya pendidikanya, jika hal ini dilakukan apakah layak seorang mahsiswa dikategorikan sebagai agen of change? kenyataannya hanya meniru atau copy paste apa yang telah di lakukan oleh masyarakat umum sebagai agen penyalur tenga kerja. Perubahan hanya aka nada jika penuh dengan ide-ide cerah untuk memberikan sumbangis pemikiran bagi pembangunan daerah jika, ide yang ada tidak kreatif bahkan terkesan eksploitatif .

Proses merubah masyarakat tidak serta mencabut masyarakat itu dari komunitas dan lingkungannnya apalagi kondisi anak-anak yang labil, memang pendidikan di butuhkan oleh mereka namun tidk serta merta mengambil mereka dari cultur keseharian mereka karena mereka adalah actor dari perubahan itu, sehingga mereka membutuhkan sekian waktu untuk memahami dan mengerti akan cultur dan alam di daerahnya untuk sekian waktu, ketika mereka sudah beranjak dewasa dan memiliki kesiapan berpikir yang lebih sistematis untuk di benahi lagi dengan pendidikan yang terstruktur untuk mengelola dan membangun daerahnyanya.

Mahasiwa Visioner

Pemikiran diatas sangat tepat seperti apa yang diungkapkan oleh Anthony Gidens bahwa mempelajari strukturasi sebuah sistem sosial adalah mempelajari cara-cara sistem itu memproduksi dan mereproduksi interaksi melalui penerapan aturan umum dan sumber daya yang tersedia, aturan dan sumber daya yang digunakan aktor untuk dibentuk ulang melalui proses penggunaannya. Kekayaan struktural sistem sosial merupakan media dan sekaligus hasil praktik sistem sosial bersangkutan (Piotr Sztompka – Pranada – 2004).

Pemikiran seorang mahasiswa seyogianya memiliki pemikiran jauh kedepan sehingga mampu memajukan pembangunan didaerah tidak dilakukan dalam pemahaman yang terpisah tetapi pembangunan harus dipahami secara utuh dan berkesinambungan, hal inilah yang tidak membernarkan anak dalam usia belia, usia dimana mereka harus menyerap budaya dan memahami strukturl alam lokal, mengerti kondisi sosial, sehingga ketika mereka hendak lebih jauh membenahi diri dengan disiplin ilmu tertentu mereka sudah memetakan disiplin ilmu apa yang tepat dan dapat diterapkan bagi pembangunan daerahnya.

Kontribusi mahasiswa bagi pembangunana di daerah, tidak harus dipahami dalam konteks mendatangkan investor atau bantuan logistik bagi masyarakat di daerah tetapi sebisa mungkin menyakinkan masyarakat di daerah untuk memahami dan mengerti akan alam dimana dirinya hidup, bukan dengan mempengaruhi masyarakat dengan peradaban kota besar yang penuh dengan glamour yang ternyata membinasakan masyarakat lokal dari peradaban aslinya.


*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

2 komentar:

  1. Mas belajar soal politik internasional gk, klw ia matakuliahnya namanya apa aj sih??
    yg menjadi matkul unggulan saja.
    saya tertarik dengan HI soalnya,
    thx ;-)

    BalasHapus