“KORUPSI ITU LAKNAT”
*Yoyarib Mau
Korupsi ibarat ngengat yang terus menggerogoti seluruh tatanan kehidupan manusia, bagaimana tidak berbagai upaya dan bentuk penanganan yang dilakukan baik itu secara formal melalui lembaga resmi yakni lembaga hukum seperti adanya lembaga yudikatif untuk melakukan penegakan hukum namun para penegak hukum pun tak berdaya karena dikerat oleh ngengat korupsi.
Sepanjang sejarah hidup manusia korupsi sepertinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wajah para penguasa, rakyat menjadi alergi dengan kekuasaan karena kekuasaan dimana penguasa selalu diidentikan dengan korupsi. Apabila korupsi menggantikan hukum sebagai panglima dalam sebuah pemerintahan maka semua bentuk sistem dan proses pemerintahan akan selalu diselesaikan dengan pola korupsi.
Komitment awal dimana negara dibentuk pada prinsipnya berkomitment bersama untuk mendatangkan kesejahteraan bersama bagi masyarakat, sehingga rakyat bahu membahu membangun negara itu, serta membayar sejumlah nilai dalam bentuk materi kepada mereka yang didaulat untuk mengorganisir negara, dalam mengorganisir institusi yang namanya negara mereka melakukannya sebagai pengabdian bagi sesame, mereka yang didaulat untuk mengorganisir negara yang kemudian dikenal dengan sebutan legislatife dan eksekutif.
Para abdi ini yang kemudian di kenal dengan sebutan “apparatus negara” tanpa memikirkan untuk memperkaya atau mencari keuntungan bagi diri dan keluarganya , namun seiring dengan majunya peradaban dan proses interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya maka mereka membutuhkan alat tukar yakni uang.
Proses mengorganisir yang dilakukan oleh negara dalam hal ini dilakukan para apparatus ini, selalu bersentuhan dengan uang real untuk proses administrasi, sehingga setiap waktu uang menjadi alat untuk memudahkan proses administrasi. Dan rakyat pun selalu berusaha untuk mendapatkan perlakuan khusus, mudah dan selalu berkompetensi untuk mendapatkan yang terbaik, dan istimewa, namun proses untuk mendapatkan perlakuan istimewa ini tidak dilakukan melalui proses yang normal.
Ketidak normalan dalam memenuhi pelayanan administrasi bagi rakyat di paksakan oleh para apparatus agar proses ini pun di lakukan melalui sebuah proses transaksi sebagaimana ketika rakyat bertemu di pasar dan melakukan transaksi jual beli. Pergeseran paradigma yang dilakukan oleh para apparatus negara dimana kehadiran negara untuk melakukan pelayanan publik bagi rakyat telah di bajak dan dialih perankan dari arena pelayanan publi menjadi arena pasar.
Perubahan ini menghentar para apparatus negara berubah menjadi pebisnis mereka melakukan penyalahgunaaan jabatan dimana telah melakukan pengkhianatan diri bahkan membunuh karakternya untuk bertransaki dengan rakyatnya sendiri, perilaku ini kemudian turun-temurun mengalir dan menjadi hama dalam tubuh apparatus negara.
Transaksi membisniskan arena administrasi publik menjadi lahan pengembangbiakan hama korupsi, hama korupsi tidak dapat dikendalikan lagi tetapi menjadi wabah yang mematikan sehingga akhirnya manusia melihatnya sebagai laknat dan tulah yang harus di tolak, seandainya korupsi sebagai laknat bagi bangsa bagaimana mengatasinya atau apa yang harus dilakukan bagi koruptor yang ditimpa laknat ?
Hama Koruptor
Apparatus negaralah yang selalu ditimpa laknat koruptor, karena merekalah yang didaulat untuk melakukan tugas administrative dan menegakan hukum malah ditimpa laknat karena menyalahfungsikan arena adminstrasi menjadi arena pasar, perilaku inilah yang dilakukan oleh Gayus Halomoan Tambunan seorang Pegawai Dirjen Pajak Golongan III. Pasar selalu dikabuti dengan hukum ekonomi yakni mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sehingga tidak dapat disalahkan jika Gayus memiliki kekayaan lebih dari seorang saudagar.
Kondisi bangsa yang ditimpa dengan laknat, membuat masyarakat sudah seharusnya sadar bahwa ini derita nasional, sehingga seluruh komponen bangsa menyepakati bahwa koruptor sebagai musuh bersama, ibarat petani melihat hama tikus/belalang di sawah sebagai musuh yang harus di basmi.]
Konon dalam kehidupan masyarakat desa ketika hama yang menyerang tanaman padi atau tanaman rakyat lainnya maka masyarakat desa dikoordinir oleh seorang “subak” individu yang didaulat untuk mengatur irigasi di persawahaan mengundang seluruh rakyat untuk bergotong royong membasmi hama yang menimpa masayrakat desa.
Apabila negara dalam hal ini pemerintah memiliki niat baik dan menempatkan koruptor sebagai hama yang harus di basmi maka segala aparat penegak hukum dikerahkan untuk melakukan pembasmian tanpa ada kompromi. Kenyataannnya para penegak hukum pun di jangkiti hama dan menjadi koruptor sebagaimana yang dialami di tubuh Mahkamah Konstitusi dimana salah satu Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi diduga terlibat suap.
Pestisida Sosial
Apabila laknat atau kutukan ini harus dibasmi atau ditanggalkan dari diri bangsa maka dibutuhkan pestisida sosial yang mampu membasmi laknat ini. Upaya untuk menyudahi laknat ini sepertinya menuai jalan buntu walau pemerintah SBY berkomitmen dengan dibentuknya komisi khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, namun kehadiran komisi ini sepertinya bukanlah obat pestisida sosial yang ampuh dan mematikan yang dibutuhkan masyarakat karena dalam perjalanannya sepertinaya menjadi tawar dan bersahabat dengan hama koruptor.
Produksi Pestisida sosial yang ampuh dibutuhkan bangsa saat ini adalah kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa dalam melihat hama koruptor ini, sehingga ramuan pestisida sosial ini sudah seharusnya datang dari masyarakat sendiri. Tawaran obat pestisida yang penulis ingin tawarkan kepada obat pembasmi hama yakni apabila ada masyarakat terinfeksi hama koruptor maka hama itu harus dikucilkan dari komnitas masyarakat, pengucilan dilakukan dengan tidak membangun komunikasi dengan sang koruptor, tidak melibatkan sang koruptor dalam kegiatan masayrakat dan kegiatan keagamaan sehingga harapan dari perlakuan ini dapat dijadikan hukuman sosial yang berlaku mutlak di seluruh pelosok nusantara.
Pembasmian hama dengan obat pestisida sosial ini sebagai bentuk pengambilalihan hukuman yang seharusnya menjadi komitment penguasa dengan melakukan sikap tegas para penegak hukum yang berjalan di tempat maka rakyat dapat melakukan pengadilan rakyat dengan hukuman rakyat yakni dilakukan dengan obat pestisida sosial.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar