TRIANGLE DEMOKRASI
(PENGUSAHA-PENGUASA-RAKYAT)
*Yoyarib Mau
Pengusaha dan penguasa memiliki hubungan yang cukup dekat karena keduanya memiliki hubungan yang saling menguntungkan dan menunjang hubungan ini ibarat mata uang dengan dua sisinya. Sehingga hubungan mereka harus mesra dan terjalin dengan baik dan saling melindungi. Seorang Penguasa yang berkuasa sangat membutuhkan pengusaha untuk memajukan ekonomi dengan menciptakan pasar atau market.
Pasar atau market dibutuhkan untuk menciptkan transaksi dan ruang pengembangan ekonomi rakyat, kemajuan suatu negara di tentukan oleh geliat perekonomian suatu negara. Pengusaha dibutuhkan untuk melakukan investasi dan pengelolaan sumber daya alam, memproduksi kebutuhan masyarakat, serta menciptakan pasar. Sebenarnya Pengusaha memiliki kecenderungan dan bergelut dalam bidang ekonomi sedangkan Penguasa selalu berhubungan dengan urusan kekuasaan yakni mengatur orang banyak dengan sejumlah aturan dan kebijakan. Sedangkan pengusaha hanya berpikir bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya selalu di pengaruhi oleh motif ekonomi.
Jika kita sepakat bahwa motif ekonomi adalah bagaimana mendapatkan keuntungan sebesarnya berarti Pengusaha yang melakukan kegiatan ekonomi tidak membutuhkan Penguasa? Tidaklah demikian karena yang mengatur kebijakan atau regulasi perekonomian mengenai pajak dan retribusi adalah Penguasa.
Proses untuk memperoleh kekuasaan-pun membutuhkan uang, Firmanzah mengungkapkan kembali pemikiran Machiaveli, dimana Machiaveli sebagai pemikir Politik yang sinis juga harus berhadapan dengan kenyataan begitu dekatnya kekuasaan dengan uang serta hak miliknya. Sedangkan Marx menyatakan bahwa ketika orang mulai memagari tanah miliknya dan menyimpan harta benda termasuk uang kapitalisme dimulai. Maka politik dan kapitalisme tampaknya tak bisa dipisahkan. Semangat kapitalisme telah bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan politik. Entah politik digunakan sebagai media untuk mengakumulasi kapital ataukah akumulasi kapital digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dalam masyarakat (Firmanzah, Marketing Politik,Obor Indonesia – 2008). Pemikiran ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara penguasa dan penguasa sangat erat karena saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Karena dengan memiliki uang atau modal yang cukup dapat memperoleh kekuasaan tersebut, dan kekayaan sebagai salah satu sumber kekuasaan selain kedudukan dan kepercayaan (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia – 2008)
Hubungan antara Penguasa dan Pengusaha selalu menguntungkan bagi mereka tetapi resiko akibat hubungan itu mengakibatkan keburukan atau bencana maka beban atau resiko tersebut di bebankan kepada rakyat, contoh kasus seperti Lapindo Brantas yang melakukan ekplorasi Gas di Sidoarjo, Usaha ini merupakan anak perusahaan dari Energi Mega Persada merupakan Kelompok Usaha Bakrie & Brothers. Akibat human eror maka adanya semburan lumpur panas yang menyembur keluar dari ladang ekplorasi, yang mengakibatkan kerugian yang melumpuhkan ekonomi masyarakat Jawa Timur, bahkan korban harta dan modal hidup yakni rumah dan sawah.
Keadaan ini memaksa negara harus merogoh kas negara untuk melakukan perbaikan infrastruktur sebesar Rp. 3,7 triliun, padahal yang harus bertangung jawab adalah Pemilik usaha yakni Aburizal Bakrie, namun kembali di bebankan kepada negara di mana otomatis uang atau kas negara berasal dari pajak dan retribusi yang di tarik dari rakyat. Padahal majalah Forbes Asia 2007 mennominasikan Keluarga Bakrie sebagai orang terkaya nomor wahid di Indonesia dengan total kekayaan US$ 5,4 miliar (setara hampir Rp. 50 triliun) sumber : Majalah Tempo Edisi 12 – 18 Mei 2008.
Hal ini menyakiti bahkan menusuk rasa keadilan rakyat, Kekayaannya sebesar Rp.50 triliun mengapa tidak di pakai untuk melakukan ganti rugi terhadap korban lumpur lapindo dan perbaikan infrastruktur tetapi malah negara yang dipaksa untuk mengeluarkan dana sebesar Rp. 3,7 triliun untuk penanganan infrastruktur dan kerusakan yang ada, bahkan proses ganti rugi pun berlarut-larut hingga saat ini belum terselesaikan.
Pertanyaan mendasar apa yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan uang negara untuk kepentingan pribadi pengusaha. Pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melakukan analisa terhadap hubungan penguasa dan pengusaha di Indonesia, mengapa penguasa selalu memberi perhatian dan fasilitas bagi pengusaha dari pada membela atau memihak kepada rakyat?.
Sudah tidak menjadi barang asing lagi bahwa hubungan penguasa dan pengusaha telah berjalan sekian lama di Indonesia sejak President Soekarno yang di kenal dengan konsep ekonomi benteng, dimana memberikan peluang bagi usahawan pribumi untuk ikut berperan dalam konstelasi kesimbangan (Miftah Thoha - Birokrasi dan Politik - Rajawali Pers – 2007). hingga saat ini hubungan ini terjalin mesra tak terpisahkan. Sudah tentu hubungan Pemerintah dan Pengusaha ini memiliki motif ideal yakni menciptakan kesimbangan, sehingga peran sektor swasta atau bussines sangat mendukung terciptanya kesimbangan, namun perlu ada batasan dan kontrol sehingga tidak tejadi pembiasan dari pemberian peran yang berlebihan.
Hubungan yang terjadi antara Penguasa dan Pengusaha dapat dikategorikan sebagai hubungan Patron – Klien seperti yang didefenisikan oleh James C. Scott bahwa ”patron - klien sebagai hubungan dyadio (dua orana) yang terdiri dari seorang dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber kebutuhan hidup (resources) yang dimilikinya untuk memberi perlindungan dan keuntungan bagi orang lain (klien) yang membalasnya dengan memberikan dukungan dan bantuan temasuk pelayanan pribadi” (Maswadi Rauf - Konflik dan Konsensus Politik - Dirjen Dikti – Diknas – 2001)
Status sosiol- ekonomi yang lebih tinggi akan memberikan peluang yang cukup mencipktakan hubungan patron – klien hal ini berhubungan dengan struktur sosial masyarakat. Patron adalah sebuah status yang di raih jika melihat posisi dan kapasitas dirinya dan berdasarkan pembagian status yang dipopulerkan Ralp Linton yakni status yang di peroleh (ascribed status) dan status yang di raih (achieved status), (Kamanto Sunarto - Pengantar Sosiologi - LP-FE UI – 2004) Penguasa adalah status yang di raih melalui persaingan dan penguasaan atas berbagai sumber untuk mendukung kekuasaannya. Pada jaman primitif yang menjadi Patron adalah mereka yang berperan sebagai tuan tanah dan kliennya adalah parah penggarap, namun dalam konteks saat ini patron adalah mereka yang menjabat sebagai pejabat pemerintah atau pejabat politik. Penguasa memiliki penguasaan atas berbagai sumber yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat sehingga Patron perlu menciptakan program – program pengembangan pembangunan bagi masyarakat (proyek pembangunan fisik – non fisik) sehingga untuk melaksanakannya Penguasa membutuhkan Pengusaha untuk mengeksekusi program tersebut mereka berperan sebagai Klien yang bertugas memperkuat kekuasaan dan kedudukan politik yang dimiliki patron.
Hubungan Dalam Kepresidenan RI
Salah satu semangat demokrasi adalah terciptanya pemerintahan yang baik dimana menciptakan keterlibatan semua komponen masyarakat dalam mencapai tujuan demokrasi yakni menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Jika melihat tema pembahasan makalah ini yakni hubungan Penguasa dan Pengusaha maka tidak dapat melupakan Rakyat sebagai obyek atau implikasi dari hubungan patron – klien yang terbangun antara Pengusaha dan Penguasa. Hal ini sesuai dengan apa yang di katakana Max Regus bahwa sirkulasi social politik nasional dapat di lihat dalam kerangka hubungan tiga ruang ini yakni negara (penguasa), pasar (korporasi- pengusaha), warga (rakyat), (Boni Hargens - Trilogi Dosa Politik - Parrhesia Institute – 2008)
Idealnya pemerintahan yang dijalankan diharapkan membawa dampak yang berarti bagi rakyat yang telah memberikan lgitimasi bagi penguasa lewat pemilihan umum untuk menjalankan pemerintahan ini dengan baik namun kenyataan yang terjadi adalah rakyat pada posisi yang tidak menguntungkan akbiat perselingkuhan yang terjadi antara penguasa dan pengusaha.
Gambar 1. Keseimbangan Tiga Komponen (Miftah Thoha - Birokrasi Politik - Rajawali Pers – 2007)
Gambar di atas memberikan gambaran dimana ketiga komponen tidak saling mendominasi jika ada mendominasi dan melemahkan pihak lain maka akan tercipta kekacauan dan ketidakserasian. Hubungan ketiga komponen dalam sejarah ada pasang surutnya menurut Thoha ada hubungan yang beragam masa Soekarno, pemerintahan setelah merdeka hubungan antara rakyat dan negara sangat, sementara itu peranan sektor business swasta belum begitu nampak, hanyalah hubungan sebatas untuk sama-sama berjuang menegakan kemerdekaan saja, masa itu Bung Karno mulai memberikan angina bagi beberapa usahawan pribumi untuk ikut berperan dalam konstelasi keseimbangn. Namun pada masa Orde Barudi bawah kepemimpinan Soeharto konstelasi keseimbangan ketiga komponen tersebut beralih tekanannya. Peran pemerintah sangat dominant rakyat terpuruk pada posisi paling bawah, sementara usahawan yang dikenal dengan sebutan konglomerat memperoleh kelonggaran peran oleh pemerintah yang bisa menghimpit peran rakyat bahkan bisa dikatakan peran konglomerat berada di atas penguasa pemerintah. (Miftah Thoha - Birokrasi Politik - Rajawali Pers – 2007)
Pada masa B.J. Habibie, Gus Dur dan Megawati hubungan pemerintah dan usahawan tidak begitu panjang karena tenggang waktu kepemimpinan mereka yang tidak begitu lama namun tetap ada hubungan saling menguntungkan antara dua komponen hal ini disebabkan karena masa reformasi yang baru di raih dimana peran rakyat dalam melakukan control terhadap pemerintah sangat kuat.
Namun peluang untuk membangun hubungan dan melakukan pemburuan rente untuk menambahpundi-pundi keluarga tetap di lakukan oleh Habibie seperti yang di ungkapkan oleh George Junus Aditjondro, bahwa “hidup dengan bantuan Soeharto selama dua decade, Habibie mempraktekan nepotisme, yang bahkan lebih jelas dalam posisi resminya daripada Soeharto, Habibie adalah Kepala Otoritas Batam kemudian posisi itu di alihkan kepada Fanny Habibie setelah Soeharto memilih Habibie sebagai Wakil President, Otoritas batam di penuhi anggota kelompok Habibie, dan tidak hanya itu tetapi ada beberapa perusahaan milik pemerintah juga di kendalikan oleh Habibie seperti IPTN (pesawat), PT. PAL (perkapalan), PT. PINDAD (pabrik senjata dan amunisi) dan Pasar pemasaran bisnis keluarga Habibie telah terbangun dengan baik di Jerman sehingga sangat menguntungkan dengan mengggunakan asosiasi bisnis Indonesia – Jerman (EKONID) dan yang bertanggung jawab adalah Yayuk Habibie adik terkecil Habibie (George Junus Aditjondro - Korupsi Kepresidenan - LKIS – 2006) hasil keuntungan ini sangat besar sehingga dapat menjamin kehidupan dan masa tua Habibie yang di habiskan di negara ini.
Gaya hubungan penguasa dan pengusaha yang dilakukan Habibie yakni melibatkan keluarga sendiri terjun dalam bisnis, gaya ini menurut Yoshihara Kunio kapitalis keluarga president seperti yang dilakukan oleh President Marcos di Filipina (Yoshihara Kunio - Kapitalisme Semu Asia Tengara – LP3ES – 1990)
Habibie yang merupakan menurut anggapan umum kaum Reformis dianggab sebagai antek atau kaki tangan Soeharto yang diketahui paling banyak melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sesuai dengan semangat demokrasi yakni memutuskan mata rantai kekuasaan orde baru maka Habibie tidak diajukan dalam bursa pencalolan President pada tahun 2000. kehadiran Gus Dur (Abdurahman Wahid) yang nyentrik diharapkan mewakili semangat reformasi Soeharto dan Habibie tetapi Gus Dur tidak secara langsung melakukan hubungan dengan para pengusaha tetapi dilakukan orang-orang dekat dari NU (Nadhatul Ulama) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) seperti Gus Dur mengintervensi cabinet untuk membebaskan tiga konglomerat yakni Marimutu Sinivasan (Texmaco Group), Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal Group), Prayogo Pangestu (Barito Pacific Group) karena keterlibatan mereka dalam urusan utang, yang merupakan bagian dari Bantuan Likuiditas Bank Indoensia (BLBI), Sinivasan terkenal sebagai konglomerat berdarah India yang bergerak dalam usaha tekstil dan truk, menurut Straits Time, 27 April 2000, konon telah memperkerjakan 150.000 anggota NU di Jawa Timur, serta memberikan insentif kepada sejumlah kiai NU untuk melobi President Gus Dur. (George Junus Aditjondro – Korupsi Kepresidenan – 2006) Kasus yang akhirnya menjungkalkannya dari kursi kepresidenan (impeachment) yakni kasus Bruno Gate dan Bulog Gate yang menarik President Gus Dur tidak melibatkan keluarga secara langsung dalam melakukan hubungan dengan pengusaha.
Hubungan pengusaha dan penguasa yang di bangun oleh Gus Dur lebih pada pemanfaatan organisasi keumatan (NU) dan partai politiknya (PKB) untuk melakukan hubungan dengan pengusaha perilaku ini menurut Yoshihara Kunio bahwa politisi yang beralih menjadi kapitalis, (Yoshihara Kunio – Kapitalisme Semu – 1990) namun tidak cukup seperti apa yang di ungkapkan Yoshihara tetapi lembaga keumatan keagamaan diseret untuk terlibat dalam hubungan ini dengan mendirikan yayasan- yayasan sosial keagamaan. Keuntungan yang di peroleh atau komisi-komisi yang diperoleh dari lobi-lobi politik ini dapat di salurkan lewat yayasan-yayasan, memang bertujuan untuk keslamatan umat tetapi hal ini telah merampas uang negara dengan cara yang tidak baik, dan hanya bagi komunitas terbatas.
Era megawati hal ini yang menyebabkan korupsi yang terlihat jelas pasca reformasi 1998, dn berbagai kasus menarik perhatian yakni penjualan aset negara kapal tanker pertamina yang melibatkan Laksamana Sukardi, dan privatisasi terhadap sejumlah perusahaan seperti INDOSAT dan lainnya. Tidak hanya itu tetapi gaya hubungn penguasa dan pengusaha hampir mirip apa yang di lakukan oleh President Soeharto namun peran ini dimainkan langsung oleh Taufik Kiemas dimana sejumlah mega proyek terutama di DKI dimenangkan olehnya yang berindikasi bahwa hal ini di berikan Sutiyoso kepada PDIP guna meredam pengusutan kasus 27 Juli 1996. (George Junus Aditjondro - Korupsi Kepresidenan – 2006)
Penguasaan proyek tidak hanya terbatas di situ tetapi penguasaan lain yang dilakukan yakni menempatkan keluarga seperti adik dari Taufik Kiemas yakni Santanaya dan Nazarudin untuk menjadi Komisaris di sejumlah perusahaan Bonafid seperti Gajah Tunggal guna menyelamatkan Syamsul Nursalim, pada Kekuasaan Megawati dan terbangun opini di masyarakat bahwa Megawati dikendalikan sepenuhnya oleh Taufik Kiemas. Peluang yang di berikan bagi pengusaha di luar lingkaran keluarga ada sejumlah nama yang berada dalam barisan Megawati seperti Arifin Panigoro, Murdaya Poo namun dia adalah anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan berada di lingkaran uatama PDIP karena berada di Struktur Partai. Yang pada tahun 2007 menurut majalah Forbes menempati peringkat ke – 13 dari 40 orang terkaya di Indonesia di bawah bendera usaha Group Central Cipta Murdaya dan Group Berca yang total kekayaan nya pada tahun 2006 sebesar US$ 900 juta. (George Junus Aditjondro – 2006) Yang kemudian di pecat dari parti karena sebagai kader PDIP tetapi melakukan bantuan atau memberikan dukungan politik bagi pencalonan SBY-Boediono pada pemilu 2009, padahal PDIP memiliki calon yang haru di dukung olehnya, sehingga PDIP harus mencopotnya dari kepengurusan partai dan melakukan PAW dari kursi DPR – RI dari wilayah pemilihan Banten.
Motif hubungan yang dilakukan oleh megawati mengadopsi apa yang di lakukan oleh Soeharto dan mengkolaborasi dengan melibatkan politisi yang berasal dari kalangan pengusaha dan biasa di kenal dengan istilah kapitalis yang beralih menjadi politisi. Mereka yang terlibat di sini karena dengan berada di legislative dengan mudah dapat melakukan perburuan rente karena akses yang di miliki mudah serta, biaya sogokan untuk mendaptkan proyek tidak terlalu besar namun kompensasinya di alihkan untuk partai.
Masa SBY pun hampir sama hubungan ini tetap mesra namun pada periode pertama tidak terlalu terlihat perilaku hubungan ini, karena membangun image dengan memberikan ruang penuh bagi Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan penangkapan bagi mereka yang melakukan korupsi. Akhir pada periode kepemimpinan pertama mulai bergeser dari semangat awal di mana ingin membasmi praktek korupsi. Namun ini hanya sebuah kamuflase untuk membentuk citra partainya.
Padahal jika mau melihat ke belakang saat pertarungan nya pada periode 2004-2009 dimana sejumlah pengusaha ada di barisan SBY-JK dimana memberikan dukungan politik guna melawan Incumbent waktu itu Megawati. Sehingga ketika Group Bakrie & Brothers saat mengalami masalah dengan muncratnya Lumpur Lapindo mulai 29 Mei 2006 maka pemerintah melakukan konspirasi dengan mudah mengatakan bahwa hal ini adalah bencana nasional sehingga pemerintah mengambil alih dengan memberikan bantuan perbaikan infrastruktur dan bantuan ganti rugi, apa lagi Aburizal Bakrie juga berada dalam cabinet yang di pimpin oleh SBY – JK, konspirasi ini kembali terulang saat krisis keuangan global sehingga harga saham longsor hebat termasuk harga saham Group Bakrie yang turun hingga 20% dari seluruh nilai saham sehingga di pemerintahan terbentuk faksi dalam cabinet antara pro dan kontra (29 November 2006 Sri Mulyani mengatakan bahwa tidak ada dana di APBN 2006 dan 2007 untuk menanggulangi semburan Lumpur), (Koran Tempo - 11 Desember - 2009) untuk membantu konglomerat Group Bakrie, bahkan wapres Jusuf Kalla ngotot dengan berkata, apa salahnya pemerintahan membantu, dengan pemahaman bahwa group bisnis ini merupakan aset nasional.( Majalah Tempo, Edisi 17 – 23 November 2008)
Pertimbangan yang di lakukan Jusuf Kalla karena dukungan financial beruntun yang di lakukan Aburizal Bakrie pada saat JK akan bertarung menjadi Ketua Umum Golkar di Kongres Bali, dan yang kedua ketika SBY - JK maju sebagai capres pada pemilu 2004. Sumber ini diungkapkan majalah Tempo bahwa jasa Aburizal dlam menopang kebutuhan dana kampanye Yudhoyono – Jusuf Kalla cukup besar, dan selalu memasok dana dalam jumlah yang besar (Majalah Tempo - Edisi 17 – 23 November 2008)
Hubungan pemerintahan SBY dengan pengusaha tidak hanya dalam bidang usaha umum tetapi melakukan hubungan dengan para pemilik bank seperti yang di lakukan pemerintahan SBY terhadap Bank Century dengan mengeluarkan “bailout century” sebesar Rp. 6,7 triliun untuk penyelamatan century dan kebijakan ini tidak mendapat restu sepenuhnya dari DPR – RI dan pengucuran dana ini hanya disepakati oleh Bank Indonesia (Boediono) dan Departemen Keuangan (Sri Mulyani) yang menjadi permasalahannya adalah penggelontoran dana ini bukan untuk menggantikan uang nasabah, kenyataan yang terjadi adalah uang itu hilang bagaikan kabut yang hilang dalam pandangan mata.
Kabar mengejutkan darang dari sebuah LSM – Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat) menyebutkan bahwa lembaga pemelihan umum dan sejumlah politikus pendukung SBY- Boediono menerima cipratan aliran dana Century, Bendera menyebutkan bahwa, KPU menerima Rp. 200 miliar, Lembaga Survei Indonesia Rp. 50 miliar, kemudian Fox Indonesia Rp. 200 miliar, dan Partai Demokrat Rp. 700 miliar, Politikus Edhie Baskoro – Ibas, anak bungsu Yudhoyono – di tuding menerima Rp. 500 miliar, Hatta Rajasa (kini Menteri Perekonomian) Rp. 10 miliar, Djoko Suyanto (sekarang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) Rp. 10 miliar,mantan juru bicara kepresidenan Andi Malarangeng dan Choel Malarangeng pemilik Fox, masing-masing Rp. 10 miliar dan Pengusaha Hartati Murdaya Rp. 100 miliar.( Majalah Tempo - Edisi 7 – 13, 2009)
Terlepas hal ini benar atau tidak namun indikasi ini menunjukan Penguasa dapat berupaya dengan kekuasaan nya untuk memperoleh modal politik untuk mempertahankan kekuasaannya, dan membiarkan rakyat menjerit terutama para nasabah bank century yang tidak mendapatkan kepastian hukum atas dana yang mereka miliki, sedangkan para penguasa menggunakan uang rakyat untuk kepentingan memperpanjang kekuasaannya, kroni bahkan menyelamatkan aset kekayaan mereka. Dari perilaku hubungan penguasa dan pengusaha selama kepemimpinan kepresidenan di Indonesia dapat menghasilkan hubungan yang menghasilkan kolusi, korupsi dan nepotisme dan menempatkan rakyat di bawah hanya sebagai obyek yang dapat di ekloipatasi, hubungan ini gambarkan oleh Miftah Thoha sebagai berikut:
Gambar 2. Gambar hierarki hubungan ketiga komponen zaman pemerintahan Soeharto hingga saat ini masih menguat. (Miftah Thoha – Birokrasi & Politik – 2007)
Good Governance
Demokrasi yang di jalani bangsa Indonesia saat ini tidaklah menjawab esensi dari demokrasi itu sendiri, potret yang terlihat dari gambaran hubungan pengusaha dan pengusaha ini menunjukan bahwa yang mendapat keuntungan adalah pengusaha dan pengusaha sedangkan rakyat tetap dirugikan bahkan dieksploitasi dengan alasan demi kemajuan bangsa, padahal demokrasi memberi daulat sepenuhnya kepada rakyat.
Demokrasi di Indonesia memberikan pemahaman terbalik pejabat atau penguasa didaulat oleh rakyat guna memberikan pelayanan terhadap rakyat, sebaliknya terbalik pejabat publik menggunakan kesempatan itu untuk menanggung untung untuk kepentingan pribadi, kroni dan keluarga.
Tarik menarik antara tiga komponen ini tidak seimbang hanya menguntungkan bagi mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan dan oleh mereka yang dapat memperdaya kekuasaan dengan modal yang mereka miliki. Menurut Thoha, hakikatnya keseimbangan peran dari ketiga komponen berat sebelah, peran pemerintah yang sentral memberikan kontribusi yang besar terhadap komponen sektor swasta tanpa diimbangkan peran rakyat untuk bisa mengontrolnya. Komponen rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini memberikan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah, dengan demikian kekuasaan pemerintah yang berasal dari rakyat tersebut, agarbisa dijalankan dengan baik harus diimbangi dengan pengawasan yang dilakukan rakyat. (Miftah Thoha – 2007)
Akibat Pejabat pemerintah (pengusa) telah di kuasai oleh swasta maka ketika pengusaha melakukan kesalahan atau melanggar hukum bahkan merugikan rakyat maka pemerintah secara otomatis memberikan perlindungan bagi pengusaha karena rasa utang budi. Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Boni Hargens, bahwa di berbagai tempat dapat ditemukan masalah konflik lokal antara perusahaan (swasta) dengan local comunity, terkait kerusakan lingkungan, kompensasi yang sangat minim, dari perusahaan terhadap pembangunan masyarakat setempat, atau maslah kekerasan yan di alami rakyat yang dilakukan oleh militer yang dibayar perusahaan. Beliau kembali menambahkan bahwa, masyarakat selalu berada pada posisi yang dirugikan ketika berhadapan dengan pasar yang terlalu profit-oriented, sebagian alasan ditemukan pada perilaku pejabat negara yang menjadi kompradoryang mengambil untung dari hubungan negara- pasar. (Boni Hargens - Trilogi Dosa Politik - 2008)
Peran pengusaha dilibatkan dalam membangun negara untuk memberikan dampak baik bagi kesejahteraan masyarakat, dengan membuka lapangan pekerjaan baru bagi rakyat, pengelolan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dengan mengembalikan sekian persen dari rofit yang di peroleh melalui pengelolaan CSR (Coorporate Social Responsibility). bukan berarti membatasi peran pengusaha dalam kerjasamanya dengan negara, namun kenyataan yang terjadi CSR masuk ke tangan Penguasa atau melalui Yayasan sosial yang di buat untuk kepentingan politik atau perpanjangan tangan guna mempertahankan kekuasaan pada periode berikutnya.
Peran rakyat harus dilibatkan dengan melakukan tranparansi dalam menjalankan pemerinthan serta akuntabilitas dibutuhkan agar dapat diketahui oleh rakyat sehingga dapat melakukan kontrol, tidak ada perlakuan istimewa atau khsusus terhadap pengusaha tertentu sehingga mereka pun benar-benar bertanggung jawab dalam melakukan tugasnya, dan tidak meras mendapatkan jaminan dari pemerintah sehingga tidak maksimal bahkan melakukan korupsi dalam setiap proyek yang dikerjakan. Penguasa tidak memanipulasi segala dana atau hak rakyat dari hasil atau bantuan CSR dengan yayasan yang di bentuk untuk menampung atau memarkirkan dana tersebut untuk biaya kampanye.
Kemudian lagi memakai kroni atau keluarga untuk terlibat dalam tender atau penguasaan proyek tertentu yang kemudian keuntungan tersebut di arahkan untuk mensukseskan partai politik tertentu, dan tidak lagi di laporkan sebagai sumber penghasilan rakyat, menjauhi gratifikasi atau bentuk pemberian-pemberian tertentu yang tidak jelas dan asal-usul uangnnya.
Kenyataan hubungan patron klien di Indonesia kelihatan dari pembahsan ini menunjukan bahwa patron tertinggi ada dalam tangan pengusaha karena bisa mengatur pengusaha seperti yang terjadi dalam rekaman percakapan Anggodo dan Yuliana Ong di sana nama president SBY disebut hal ini menunjukan bahwa pengusaha swasta bisa mengatur pengusaha, dalam era demokrasi seharusnya Patron adalah rakyat dimana meberikan kepercyaan kepada klien-nya yakni Penguasa, jika penguasa menjalankan kekuasaan dengan baik maka rakyat akan memberikan kepercayaan tetapi jika penguasa berkhianat maka rakyat berhak untuk memutuskan hubungan tersebut.
*Penulis : Mahasiswa Politik – Kekhususan Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP - UI
Minggu, 13 Desember 2009
Sabtu, 05 Desember 2009
“Pergumulan NATAL dalam Konteks”
“Pergumulan NATAL dalam Konteks”
*Yoyarib Mau
Pada jelang Desember 2009 ini, suatu malam di dusun yang masuk dalam kategori desa terpencil (criteria Beppenas) karena menerima dana PNPM - Mandiri, hujan terus mengguyur bumi yang tak hentinya Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi bahwa cuaca ini akan berlangsung dalam beberapa hari, kondisi ini tidak hanya terjadi di desa di pedalaman NTT yang diberi nama oleh masyarakat setempat dengan nama Oehani tapi hampir terjadi di semua belahan dunia yang memiliki musim yang sama, namun akibat Pemanasan global atau bahasa kerennya “warming global” yang menghantui semua wilayah. Kondisi alam ini mengakibatkan perubahan iklim yang tak bersahabat. Sewaktu-waktu dapat mengakibatkan banjir besar, gempa, gelombang laut yang meninggi bahkan dapat terjadi tsunami. Semuanya ini terjadi akibat keserahakan manusia yang melakukan penghancuran hutan.
Malam itu adalah malam jelang Natal demikian juga Yusuf dan Maria yang hidup di sebuah dusun yang terletak di lembah dekat aliran sungai, orang lebih mengenal kampung tersebut dengan nama “Noel Tes“. Karena mereka juga dari keluarga yang menganut agama Kristen otomatis mereka harus merayakan Natal namun di satu sisi tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin.
Hal ini membuat Yusuf dan Maria pada posisi yang sangat sulit untuk menentukan pilihan, fenomena alam ini sepertinya mengingatkan mereka kembali pada film 2012 yang mereka telah tonton lewat VCD bajakan yang di jual bebas di kota Kupang, dimana film ini terinspirasi dari perhitungan kelender suku Maya di Amerika, film ini menambah kekalutan dari dua insan ini untuk menentukan pilihan, pertama: jika mereka tetap di kampungnya maka ancaman banjir ditambah dengan ancaman tzunami yang dapat mengakibatkan terputusnya jalan ”Ikan Foti” menuju sebuah daerah wisata kuliner yang bernama Baun, tempat ini memiliki kelainan karena berada dibawah ketinggian laut dekat Samudera Hindia, dengan demikian dapat mengakibatkan bencana bagi mereka yang berada di daerah aliran sungai, Nyawa mereka menjadi terancam. kedua, jika harus meninggalkan kampungnya perjalanan yang akan ditempuh sangat mustahil bagi seorang Ibu hamil untuk malaluinya. Yusuf merasa malam itu adalah malam yang sangat mengerikan dan mendebarkan baginya.
Yusuf berjalan bolak - balik dari ruang tamu menuju dapurnya dan sebaliknya, sesekali Ia memalingkan wajahnya untuk menengok sang Istri yang berbaring di “bale-bale” (tempat tidur dari belahan-belahan bambu) maklumlah pusing kepalang - stres karena baru berumah tangga, namun ada dorongan yang kuat dalam hatinya untuk meninggalkan kampung ini karena berita yang di dengar dari radio sore tadi. Namun besarnya harapan agar Maria dapat melahirkan di Oehani. sebab dalam benak Yusuf di kampung inilah Maria dapat melahirkan sebagaimana lazimnya wanita normal namun tak luput juga pikiran liar yang terlintas yakni apabila ada kehendak lain dari ilahi maka dengan mudah dapat memperoleh transportasi menuju rumah sakit.
Yusuf segera mempersiapkan keperluan seadanya dan segera membangunkan Istrinya untuk segera meninggalkan dusunnya, langkah yang tertatih-tatih, Yusuf seakan tak percaya jika Istrinya kuat mendaki jalan tanjakan yang cukup melelahkan dan mematikan bagi seorang Ibu yang hamil tua, sebab diluar dugaan manusia apabila air ketuban pecah maka dapat berakibat fatal bagi momongan yang sedang dikandung. memang sebagai wanita yang hidup di kampung yang telah terbiasa dengan kerja keras, menempa fisik manusia untuk kuat melakoni hidup di tanah Timor.
Singkat kata tak terasa mereka telah mendekati kampung Oehani ditandai dengan lolongan anjing yang menyalak menyambut kehadiran mereka. mereka sejenak duduk untuk menarik nafas, helaan nafas Yusuf cukup panjang (......ah.............) sambil berlutut dihadapan Maria yang menyandarkan tubuhnya pada pohon jati, sambil mengecup kening Maria pertanda rasa sayang dan cintanya, tidak hanya itu namun ada makna laten yakni bukti dukungan moril bagi beban yang ada dalam kandungan Maria.
Pikiran Yusuf kembali terusik, kali ini Yusuf memikirkan dimana ia dapat menginap bersama Maria. Matanya mengarah ke sebuah rumah yang lampunya remang-remang rumah tersebut, rumah tersebut adalah rumah Kepala Desa (kades) yang hanya berjarak beberapa kaki dari tempat mereka duduk, namun terbersit dalam pikirannya bahwa baru saja Kades memiliki momongan dari pernikahan keduanya setelah lama menduda, sehingga Yusuf tidak mau menggangu rumah tangga baru tsb, ada beberapa rumah di sekitarnya menjadi pilihan untuk dijadikan tempat penginapan namun memang malam itu hampir semua rumah terasa menebar wewangian yang menusuk hidung, hal ini mengingatkan keduanya akan nuansa natal, dimana semua keluarga sibuk mempersiapkan panganan natal sebagai tradisi disesama warga gereja, dimana para tetangga melakukan sungkeman atau slamatan.
Yusuf memilih untuk tidak jadi beban bagi orang lain dengan pemikiran jangan hanya karena kehadiran Dia beserta Maria dapat menggagalkan perayaan hari Natal tahun ini. sambil berjalan menuruni turunan menuju jalan beraspal sambil menengok ke rumah Pastori Pendeta yang lampunya belum dipadamkan karena sedang mempersiapkan khotbah untuk esok harinya, Yusuf pun tidak ingin merepotkan Pendetanya karena besok benih firman akan di tabur, sedangkan di dalam gereja terlihat beberapa pemuda yang sibuk menghias pohon natal sekaligus ruangan gereja dengan berbagai aksesoris dan ornamen natal, terlintas dalam pikiran Yusuf untuk menginap di emperan gereja, akan tetapi para pemuda ini sambil bekerja sembari mendengarkan lagu pop lokal ”jamilah” dari tape recorder sehingga suasana sangat gaduh, tak ada yang dapat melarai mereka karena memang besok suasana gereja harus meriah, sehingga Yusuf berpikir jika mereka menginap di emperan gereja tersebut, mereka tidak dapat tenang menikmati malam, apalagi menanti kelahiran bayinya. Tidak hanya pertimbangan tersebut tetapi musik yang gaduh secara psikologis akan mempengaruhi mental dan karakter anaknya di kemudian hari.
Memang orang tua yang baik selalu berpikir jauh ke depan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap titipan Tuhan. sambil berjalan Yusuf menggandeng tangan Maria namun pikiran Yusuf tetap dihantui dengan pilihan untuk memilih kemana mereka akan menginap malam ini biar tatkala anaknya lahir dapat lahir dalam suasana yang penuh sukacita dan damai …….akhirnya dalam lamunan malam……. tak disadari ada suara yang membisik yang hadir menyentak lamunannya, hanya ada satu bisikan kata bahwa menuju Fat O’of..…
Menuju.....menuju...... Fat O’of kalimat ini terngiang sangat keras memekakan telinganya, Yusuf seperti tersambar petir.......... namun Yusuf kembali menenangkan pikiranya serta mengangguk memang benar disana orangnya memiliki karakteristik yang menarik ramah, memiliki senyuman yang khas dan suka menolong orang lain, walaupun mereka sering diplesetkan sebagai atoni auf me’e (dalam bahasa setempat berarti : ”orang tanah merah”) namun singkat cerita ……..malam itu Yusuf dan Maria memilih untuk bersukacita bersama mereka dan disanalah mereka bersama menyambut sang Putra Natal….. Selamat Natal……….
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Mantan Wakil Sekertaris BPC. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) - Jakarta
Alumni : Institut Filsafat Theologia dan Kepemimpinan Jaffray Jakarta
Waki Sekertaris Badan Pengurus Perwakilan GMIT - Jakarta
*Yoyarib Mau
Pada jelang Desember 2009 ini, suatu malam di dusun yang masuk dalam kategori desa terpencil (criteria Beppenas) karena menerima dana PNPM - Mandiri, hujan terus mengguyur bumi yang tak hentinya Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi bahwa cuaca ini akan berlangsung dalam beberapa hari, kondisi ini tidak hanya terjadi di desa di pedalaman NTT yang diberi nama oleh masyarakat setempat dengan nama Oehani tapi hampir terjadi di semua belahan dunia yang memiliki musim yang sama, namun akibat Pemanasan global atau bahasa kerennya “warming global” yang menghantui semua wilayah. Kondisi alam ini mengakibatkan perubahan iklim yang tak bersahabat. Sewaktu-waktu dapat mengakibatkan banjir besar, gempa, gelombang laut yang meninggi bahkan dapat terjadi tsunami. Semuanya ini terjadi akibat keserahakan manusia yang melakukan penghancuran hutan.
Malam itu adalah malam jelang Natal demikian juga Yusuf dan Maria yang hidup di sebuah dusun yang terletak di lembah dekat aliran sungai, orang lebih mengenal kampung tersebut dengan nama “Noel Tes“. Karena mereka juga dari keluarga yang menganut agama Kristen otomatis mereka harus merayakan Natal namun di satu sisi tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin.
Hal ini membuat Yusuf dan Maria pada posisi yang sangat sulit untuk menentukan pilihan, fenomena alam ini sepertinya mengingatkan mereka kembali pada film 2012 yang mereka telah tonton lewat VCD bajakan yang di jual bebas di kota Kupang, dimana film ini terinspirasi dari perhitungan kelender suku Maya di Amerika, film ini menambah kekalutan dari dua insan ini untuk menentukan pilihan, pertama: jika mereka tetap di kampungnya maka ancaman banjir ditambah dengan ancaman tzunami yang dapat mengakibatkan terputusnya jalan ”Ikan Foti” menuju sebuah daerah wisata kuliner yang bernama Baun, tempat ini memiliki kelainan karena berada dibawah ketinggian laut dekat Samudera Hindia, dengan demikian dapat mengakibatkan bencana bagi mereka yang berada di daerah aliran sungai, Nyawa mereka menjadi terancam. kedua, jika harus meninggalkan kampungnya perjalanan yang akan ditempuh sangat mustahil bagi seorang Ibu hamil untuk malaluinya. Yusuf merasa malam itu adalah malam yang sangat mengerikan dan mendebarkan baginya.
Yusuf berjalan bolak - balik dari ruang tamu menuju dapurnya dan sebaliknya, sesekali Ia memalingkan wajahnya untuk menengok sang Istri yang berbaring di “bale-bale” (tempat tidur dari belahan-belahan bambu) maklumlah pusing kepalang - stres karena baru berumah tangga, namun ada dorongan yang kuat dalam hatinya untuk meninggalkan kampung ini karena berita yang di dengar dari radio sore tadi. Namun besarnya harapan agar Maria dapat melahirkan di Oehani. sebab dalam benak Yusuf di kampung inilah Maria dapat melahirkan sebagaimana lazimnya wanita normal namun tak luput juga pikiran liar yang terlintas yakni apabila ada kehendak lain dari ilahi maka dengan mudah dapat memperoleh transportasi menuju rumah sakit.
Yusuf segera mempersiapkan keperluan seadanya dan segera membangunkan Istrinya untuk segera meninggalkan dusunnya, langkah yang tertatih-tatih, Yusuf seakan tak percaya jika Istrinya kuat mendaki jalan tanjakan yang cukup melelahkan dan mematikan bagi seorang Ibu yang hamil tua, sebab diluar dugaan manusia apabila air ketuban pecah maka dapat berakibat fatal bagi momongan yang sedang dikandung. memang sebagai wanita yang hidup di kampung yang telah terbiasa dengan kerja keras, menempa fisik manusia untuk kuat melakoni hidup di tanah Timor.
Singkat kata tak terasa mereka telah mendekati kampung Oehani ditandai dengan lolongan anjing yang menyalak menyambut kehadiran mereka. mereka sejenak duduk untuk menarik nafas, helaan nafas Yusuf cukup panjang (......ah.............) sambil berlutut dihadapan Maria yang menyandarkan tubuhnya pada pohon jati, sambil mengecup kening Maria pertanda rasa sayang dan cintanya, tidak hanya itu namun ada makna laten yakni bukti dukungan moril bagi beban yang ada dalam kandungan Maria.
Pikiran Yusuf kembali terusik, kali ini Yusuf memikirkan dimana ia dapat menginap bersama Maria. Matanya mengarah ke sebuah rumah yang lampunya remang-remang rumah tersebut, rumah tersebut adalah rumah Kepala Desa (kades) yang hanya berjarak beberapa kaki dari tempat mereka duduk, namun terbersit dalam pikirannya bahwa baru saja Kades memiliki momongan dari pernikahan keduanya setelah lama menduda, sehingga Yusuf tidak mau menggangu rumah tangga baru tsb, ada beberapa rumah di sekitarnya menjadi pilihan untuk dijadikan tempat penginapan namun memang malam itu hampir semua rumah terasa menebar wewangian yang menusuk hidung, hal ini mengingatkan keduanya akan nuansa natal, dimana semua keluarga sibuk mempersiapkan panganan natal sebagai tradisi disesama warga gereja, dimana para tetangga melakukan sungkeman atau slamatan.
Yusuf memilih untuk tidak jadi beban bagi orang lain dengan pemikiran jangan hanya karena kehadiran Dia beserta Maria dapat menggagalkan perayaan hari Natal tahun ini. sambil berjalan menuruni turunan menuju jalan beraspal sambil menengok ke rumah Pastori Pendeta yang lampunya belum dipadamkan karena sedang mempersiapkan khotbah untuk esok harinya, Yusuf pun tidak ingin merepotkan Pendetanya karena besok benih firman akan di tabur, sedangkan di dalam gereja terlihat beberapa pemuda yang sibuk menghias pohon natal sekaligus ruangan gereja dengan berbagai aksesoris dan ornamen natal, terlintas dalam pikiran Yusuf untuk menginap di emperan gereja, akan tetapi para pemuda ini sambil bekerja sembari mendengarkan lagu pop lokal ”jamilah” dari tape recorder sehingga suasana sangat gaduh, tak ada yang dapat melarai mereka karena memang besok suasana gereja harus meriah, sehingga Yusuf berpikir jika mereka menginap di emperan gereja tersebut, mereka tidak dapat tenang menikmati malam, apalagi menanti kelahiran bayinya. Tidak hanya pertimbangan tersebut tetapi musik yang gaduh secara psikologis akan mempengaruhi mental dan karakter anaknya di kemudian hari.
Memang orang tua yang baik selalu berpikir jauh ke depan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap titipan Tuhan. sambil berjalan Yusuf menggandeng tangan Maria namun pikiran Yusuf tetap dihantui dengan pilihan untuk memilih kemana mereka akan menginap malam ini biar tatkala anaknya lahir dapat lahir dalam suasana yang penuh sukacita dan damai …….akhirnya dalam lamunan malam……. tak disadari ada suara yang membisik yang hadir menyentak lamunannya, hanya ada satu bisikan kata bahwa menuju Fat O’of..…
Menuju.....menuju...... Fat O’of kalimat ini terngiang sangat keras memekakan telinganya, Yusuf seperti tersambar petir.......... namun Yusuf kembali menenangkan pikiranya serta mengangguk memang benar disana orangnya memiliki karakteristik yang menarik ramah, memiliki senyuman yang khas dan suka menolong orang lain, walaupun mereka sering diplesetkan sebagai atoni auf me’e (dalam bahasa setempat berarti : ”orang tanah merah”) namun singkat cerita ……..malam itu Yusuf dan Maria memilih untuk bersukacita bersama mereka dan disanalah mereka bersama menyambut sang Putra Natal….. Selamat Natal……….
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Mantan Wakil Sekertaris BPC. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) - Jakarta
Alumni : Institut Filsafat Theologia dan Kepemimpinan Jaffray Jakarta
Waki Sekertaris Badan Pengurus Perwakilan GMIT - Jakarta
Kamis, 19 November 2009
"TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT"
TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT
Oleh : Yoyarib Mau
Era Demokrasi semua warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dan berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada masa kolonial berbagai organisasi social atau terang-terangan menganut asas politik dalam jumlah yang cukup semuanya memainkan peranan dalam masa pergerakan national.
Sehingga pada pemilu 1955 partai politik yang menggikuti pemilu berkisar 29 partai, masuk dalam kekuasaan orde baru tahun 1973 dari sekian partai di kelompokan menjadi 3 (tiga) partai saja yakni PPP, GOLKAR dan PDI. Sejalan dengan lengsernya Soeharto dan berakhirnya masa orde baru salah satu tuntutan reformasi adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai.
Hal ini memberikan peluang bagi semua orang untuk mendirikan partai dengan berbagai alasan diantaranya; karena partai-partai besar atau tradisional yang ada telah mengalami kegagalan dalam membangun kesejahteraan terutama merubah social-ekonomi masyarakat, adapula yang ingin memperjuangkan ideologi tertentu, ada sebagian membentuk partai karena barisan sakit hati, adapula yang lebih ekstrim lagi yakni mencari keuntungan dan peluang kerja baru dikarenakan anggota legislative mendapatkan gaji dan sejumlah tunjangan tertentu.
Menjelang Pilkada di Provinsi NTT hadir fenomena dan polemik yang berkepanjangan dalam penentuan kandidat cagub-cawagub dalam pilkada NTT turut diwarnai oleh partai-partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 2004 ada yang langsung mencalonkan kandidatnya seperti PDIP dan Golkar akan tetapi ada yang harus melakukan koalisi yakni partai-partai politik yang memiliki minoritas kursi di legislative.
Penulis menyebut partai minoritas ini dengan sebutan Partai Kecil karena otomatis mereka tidak dapat mencalonkan kandidatnya secara langsung dan jalan satu-satunya hanyalah berkoalisi.
Inilah yang dilakukan sejumlah Partai Kecil di NTT yang berkoalisi menyambut Pilkada 2008 namun menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan sehingga penentuan kandidat yang akan diusung sangat sulit untuk ditentukan apakah karena konsolidasi antar partai yang mengalami kemandekan karena berbeda ideologi atau karena belum tergenapinya transaksi nilai yang diharapkan? Dengan demikian memberikan preseden buruk bagi partai-partai kecil,
GADIS-GADIS YANG BODOH
Perumpamaan tentang gadis-gadis yang bodoh dalam Injil Matius dapat menggambarkan bagaimana peran Partai Kecil dalam menghadapi pilkada Prov. NTT sebagai sebuah pesta. Seharusnya partai-partai ini melakukan mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melakukan survei atau dengar pendapat dari rakyat NTT sebagai basis pemilihnya sehingga ada kader atau figure yang layak dan dikenal oleh rakyat.
Realitas yang terjadi adalah pribadi atau figure yang memiliki keuangan yang kuat dapat mencetak poster atau kelender sebagai daya tarik atau mengiklankan diri terlebih dahulu, yang disebarkan ke pelosok-pelosok, di pajang dirumah-rumah rakyat kemudian lembaga survei melakukan penelitian dan menentukan bahwa figure inilah yang dikehendaki oleh rakyat indikatornya hanyalah sebuah kelender tahunan.
Fenomena ini membuktikan bahwa partai-partai kecil yang diharapkan sebagai kekuatan demokrasi atau penyeimbang bagi partai-partai besar atau traditional hanya sekedar pajangan. Partai-partai kecil ini telah mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan figure yang berpotensi dari kelas masyarakat bawah. Seharusnya partai-partai kecil memiliki militansi dan nilai jual (posisi tawar) dimata rakyat sebagai pemberi perubahan (agen of change), contoh kasus dalam Pilkada Sumatera Utara dan Jawa Barat PKS-PAN mencalonkan kadernya sendiri bahkan mereka berdomisili di luar Jawa Barat mampu mengalahkan incumbent dari partai-partai besar.dengan demikian Partai-Partai kecil diharapkan aktif menyelesaikan masalah, bukan menjelang hari pelaksanaan Pilkada barulah beramai-ramai mencari siapa yang mau dicalonkan.
CITRA PARTAI BERWAJAH DUA
Partai politik haruslah memiliki program kerja yang jelas yang dapat di lakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti keberpihakan terhadap rakyat, karena komitment awal partai di bentuk dengan harapan ingin memperbaiki sistem di Negara ini yang tidak baik menjadi lebih baik.
Kenyataannya proses pengkaderan dan pembinaan kader hanya dalam bentuk seremonial belaka yakni adanya Rapimda dan Musda di tingkat daerah, atau apapun namanya untuk pergantian atau memperpanjang kepengurusan guna lolos dalam verifikasi partai guna turut dalam pemilu.
Akan tetapi mengkhianati fungsi partai sebenarnya dengan melibatkan semua golongan untuk berpartisipasi guna menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.
Para stakeholder Partai-Partai kecil tidak mempersiapkan kader, sebab bagi mereka dengan membina hubungan emosional dengan keluarga dan kerabat saja dalam pemilu nanti, targetnya dapat memperoleh 1 atau 2 kursi di legislative sudah menjadi keuntungan bagi partainya karena figure yang berkeinginan untuk menjadi kandidat akan mendekatinya dan membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki pola yang sama sehingga terjadilah transaksi nilai.
Momentum Pilkada seharusnya di jadikan sebagai turbelensi politik dimana partai-partai kecil memanfaatkanya secara optimal menaikan citra partai untuk menarik simpati rakyat yang otomatis berpengaruh besar dalam Pemilu 2009. Namun Pilkada di coreng sebagai ajang “penjarahan” dan “pemerasan” dari pada aktor-aktor, akhirnya partai politik mengalami pergeseran makna tidak berjuang untuk memakmurkan rakyat namun sebaliknya berisi para penjarah dan pemeras dengan demikian Negara pun bersifat penjarah (predatory state) tidak salah apabila salah seorang kandidat dari partai tertentu mengatakan “maling jangan teriak maling”.
Penulis: Yoyarib Mau
Anggota GMKI Cabang Jakarta
Kannutuan@yahoo.com - (tulisan ini sudah di publikasikan di Media Lokal Timor Express)
Oleh : Yoyarib Mau
Era Demokrasi semua warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dan berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada masa kolonial berbagai organisasi social atau terang-terangan menganut asas politik dalam jumlah yang cukup semuanya memainkan peranan dalam masa pergerakan national.
Sehingga pada pemilu 1955 partai politik yang menggikuti pemilu berkisar 29 partai, masuk dalam kekuasaan orde baru tahun 1973 dari sekian partai di kelompokan menjadi 3 (tiga) partai saja yakni PPP, GOLKAR dan PDI. Sejalan dengan lengsernya Soeharto dan berakhirnya masa orde baru salah satu tuntutan reformasi adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai.
Hal ini memberikan peluang bagi semua orang untuk mendirikan partai dengan berbagai alasan diantaranya; karena partai-partai besar atau tradisional yang ada telah mengalami kegagalan dalam membangun kesejahteraan terutama merubah social-ekonomi masyarakat, adapula yang ingin memperjuangkan ideologi tertentu, ada sebagian membentuk partai karena barisan sakit hati, adapula yang lebih ekstrim lagi yakni mencari keuntungan dan peluang kerja baru dikarenakan anggota legislative mendapatkan gaji dan sejumlah tunjangan tertentu.
Menjelang Pilkada di Provinsi NTT hadir fenomena dan polemik yang berkepanjangan dalam penentuan kandidat cagub-cawagub dalam pilkada NTT turut diwarnai oleh partai-partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 2004 ada yang langsung mencalonkan kandidatnya seperti PDIP dan Golkar akan tetapi ada yang harus melakukan koalisi yakni partai-partai politik yang memiliki minoritas kursi di legislative.
Penulis menyebut partai minoritas ini dengan sebutan Partai Kecil karena otomatis mereka tidak dapat mencalonkan kandidatnya secara langsung dan jalan satu-satunya hanyalah berkoalisi.
Inilah yang dilakukan sejumlah Partai Kecil di NTT yang berkoalisi menyambut Pilkada 2008 namun menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan sehingga penentuan kandidat yang akan diusung sangat sulit untuk ditentukan apakah karena konsolidasi antar partai yang mengalami kemandekan karena berbeda ideologi atau karena belum tergenapinya transaksi nilai yang diharapkan? Dengan demikian memberikan preseden buruk bagi partai-partai kecil,
GADIS-GADIS YANG BODOH
Perumpamaan tentang gadis-gadis yang bodoh dalam Injil Matius dapat menggambarkan bagaimana peran Partai Kecil dalam menghadapi pilkada Prov. NTT sebagai sebuah pesta. Seharusnya partai-partai ini melakukan mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melakukan survei atau dengar pendapat dari rakyat NTT sebagai basis pemilihnya sehingga ada kader atau figure yang layak dan dikenal oleh rakyat.
Realitas yang terjadi adalah pribadi atau figure yang memiliki keuangan yang kuat dapat mencetak poster atau kelender sebagai daya tarik atau mengiklankan diri terlebih dahulu, yang disebarkan ke pelosok-pelosok, di pajang dirumah-rumah rakyat kemudian lembaga survei melakukan penelitian dan menentukan bahwa figure inilah yang dikehendaki oleh rakyat indikatornya hanyalah sebuah kelender tahunan.
Fenomena ini membuktikan bahwa partai-partai kecil yang diharapkan sebagai kekuatan demokrasi atau penyeimbang bagi partai-partai besar atau traditional hanya sekedar pajangan. Partai-partai kecil ini telah mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan figure yang berpotensi dari kelas masyarakat bawah. Seharusnya partai-partai kecil memiliki militansi dan nilai jual (posisi tawar) dimata rakyat sebagai pemberi perubahan (agen of change), contoh kasus dalam Pilkada Sumatera Utara dan Jawa Barat PKS-PAN mencalonkan kadernya sendiri bahkan mereka berdomisili di luar Jawa Barat mampu mengalahkan incumbent dari partai-partai besar.dengan demikian Partai-Partai kecil diharapkan aktif menyelesaikan masalah, bukan menjelang hari pelaksanaan Pilkada barulah beramai-ramai mencari siapa yang mau dicalonkan.
CITRA PARTAI BERWAJAH DUA
Partai politik haruslah memiliki program kerja yang jelas yang dapat di lakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti keberpihakan terhadap rakyat, karena komitment awal partai di bentuk dengan harapan ingin memperbaiki sistem di Negara ini yang tidak baik menjadi lebih baik.
Kenyataannya proses pengkaderan dan pembinaan kader hanya dalam bentuk seremonial belaka yakni adanya Rapimda dan Musda di tingkat daerah, atau apapun namanya untuk pergantian atau memperpanjang kepengurusan guna lolos dalam verifikasi partai guna turut dalam pemilu.
Akan tetapi mengkhianati fungsi partai sebenarnya dengan melibatkan semua golongan untuk berpartisipasi guna menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.
Para stakeholder Partai-Partai kecil tidak mempersiapkan kader, sebab bagi mereka dengan membina hubungan emosional dengan keluarga dan kerabat saja dalam pemilu nanti, targetnya dapat memperoleh 1 atau 2 kursi di legislative sudah menjadi keuntungan bagi partainya karena figure yang berkeinginan untuk menjadi kandidat akan mendekatinya dan membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki pola yang sama sehingga terjadilah transaksi nilai.
Momentum Pilkada seharusnya di jadikan sebagai turbelensi politik dimana partai-partai kecil memanfaatkanya secara optimal menaikan citra partai untuk menarik simpati rakyat yang otomatis berpengaruh besar dalam Pemilu 2009. Namun Pilkada di coreng sebagai ajang “penjarahan” dan “pemerasan” dari pada aktor-aktor, akhirnya partai politik mengalami pergeseran makna tidak berjuang untuk memakmurkan rakyat namun sebaliknya berisi para penjarah dan pemeras dengan demikian Negara pun bersifat penjarah (predatory state) tidak salah apabila salah seorang kandidat dari partai tertentu mengatakan “maling jangan teriak maling”.
Penulis: Yoyarib Mau
Anggota GMKI Cabang Jakarta
Kannutuan@yahoo.com - (tulisan ini sudah di publikasikan di Media Lokal Timor Express)
"TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT"
TARIK-ULUR PARTAI KECIL DALAM PENENTUAN KANDIDAT
Oleh : Yoyarib Mau
Era Demokrasi semua warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dan berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada masa kolonial berbagai organisasi social atau terang-terangan menganut asas politik dalam jumlah yang cukup semuanya memainkan peranan dalam masa pergerakan national.
Sehingga pada pemilu 1955 partai politik yang menggikuti pemilu berkisar 29 partai, masuk dalam kekuasaan orde baru tahun 1973 dari sekian partai di kelompokan menjadi 3 (tiga) partai saja yakni PPP, GOLKAR dan PDI. Sejalan dengan lengsernya Soeharto dan berakhirnya masa orde baru salah satu tuntutan reformasi adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai.
Hal ini memberikan peluang bagi semua orang untuk mendirikan partai dengan berbagai alasan diantaranya; karena partai-partai besar atau tradisional yang ada telah mengalami kegagalan dalam membangun kesejahteraan terutama merubah social-ekonomi masyarakat, adapula yang ingin memperjuangkan ideologi tertentu, ada sebagian membentuk partai karena barisan sakit hati, adapula yang lebih ekstrim lagi yakni mencari keuntungan dan peluang kerja baru dikarenakan anggota legislative mendapatkan gaji dan sejumlah tunjangan tertentu.
Menjelang Pilkada di Provinsi NTT hadir fenomena dan polemik yang berkepanjangan dalam penentuan kandidat cagub-cawagub dalam pilkada NTT turut diwarnai oleh partai-partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 2004 ada yang langsung mencalonkan kandidatnya seperti PDIP dan Golkar akan tetapi ada yang harus melakukan koalisi yakni partai-partai politik yang memiliki minoritas kursi di legislative.
Penulis menyebut partai minoritas ini dengan sebutan Partai Kecil karena otomatis mereka tidak dapat mencalonkan kandidatnya secara langsung dan jalan satu-satunya hanyalah berkoalisi.
Inilah yang dilakukan sejumlah Partai Kecil di NTT yang berkoalisi menyambut Pilkada 2008 namun menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan sehingga penentuan kandidat yang akan diusung sangat sulit untuk ditentukan apakah karena konsolidasi antar partai yang mengalami kemandekan karena berbeda ideologi atau karena belum tergenapinya transaksi nilai yang diharapkan? Dengan demikian memberikan preseden buruk bagi partai-partai kecil,
GADIS-GADIS YANG BODOH
Perumpamaan tentang gadis-gadis yang bodoh dalam Injil Matius dapat menggambarkan bagaimana peran Partai Kecil dalam menghadapi pilkada Prov. NTT sebagai sebuah pesta. Seharusnya partai-partai ini melakukan mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melakukan survei atau dengar pendapat dari rakyat NTT sebagai basis pemilihnya sehingga ada kader atau figure yang layak dan dikenal oleh rakyat.
Realitas yang terjadi adalah pribadi atau figure yang memiliki keuangan yang kuat dapat mencetak poster atau kelender sebagai daya tarik atau mengiklankan diri terlebih dahulu, yang disebarkan ke pelosok-pelosok, di pajang dirumah-rumah rakyat kemudian lembaga survei melakukan penelitian dan menentukan bahwa figure inilah yang dikehendaki oleh rakyat indikatornya hanyalah sebuah kelender tahunan.
Fenomena ini membuktikan bahwa partai-partai kecil yang diharapkan sebagai kekuatan demokrasi atau penyeimbang bagi partai-partai besar atau traditional hanya sekedar pajangan. Partai-partai kecil ini telah mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan figure yang berpotensi dari kelas masyarakat bawah. Seharusnya partai-partai kecil memiliki militansi dan nilai jual (posisi tawar) dimata rakyat sebagai pemberi perubahan (agen of change), contoh kasus dalam Pilkada Sumatera Utara dan Jawa Barat PKS-PAN mencalonkan kadernya sendiri bahkan mereka berdomisili di luar Jawa Barat mampu mengalahkan incumbent dari partai-partai besar.dengan demikian Partai-Partai kecil diharapkan aktif menyelesaikan masalah, bukan menjelang hari pelaksanaan Pilkada barulah beramai-ramai mencari siapa yang mau dicalonkan.
CITRA PARTAI BERWAJAH DUA
Partai politik haruslah memiliki program kerja yang jelas yang dapat di lakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti keberpihakan terhadap rakyat, karena komitment awal partai di bentuk dengan harapan ingin memperbaiki sistem di Negara ini yang tidak baik menjadi lebih baik.
Kenyataannya proses pengkaderan dan pembinaan kader hanya dalam bentuk seremonial belaka yakni adanya Rapimda dan Musda di tingkat daerah, atau apapun namanya untuk pergantian atau memperpanjang kepengurusan guna lolos dalam verifikasi partai guna turut dalam pemilu.
Akan tetapi mengkhianati fungsi partai sebenarnya dengan melibatkan semua golongan untuk berpartisipasi guna menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.
Para stakeholder Partai-Partai kecil tidak mempersiapkan kader, sebab bagi mereka dengan membina hubungan emosional dengan keluarga dan kerabat saja dalam pemilu nanti, targetnya dapat memperoleh 1 atau 2 kursi di legislative sudah menjadi keuntungan bagi partainya karena figure yang berkeinginan untuk menjadi kandidat akan mendekatinya dan membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki pola yang sama sehingga terjadilah transaksi nilai.
Momentum Pilkada seharusnya di jadikan sebagai turbelensi politik dimana partai-partai kecil memanfaatkanya secara optimal menaikan citra partai untuk menarik simpati rakyat yang otomatis berpengaruh besar dalam Pemilu 2009. Namun Pilkada di coreng sebagai ajang “penjarahan” dan “pemerasan” dari pada aktor-aktor, akhirnya partai politik mengalami pergeseran makna tidak berjuang untuk memakmurkan rakyat namun sebaliknya berisi para penjarah dan pemeras dengan demikian Negara pun bersifat penjarah (predatory state) tidak salah apabila salah seorang kandidat dari partai tertentu mengatakan “maling jangan teriak maling”.
Penulis: Yoyarib Mau
Anggota GMKI Cabang Jakarta
Kannutuan@yahoo.com - (tulisan ini sudah di publikasikan di Media Lokal Timor Express)
Oleh : Yoyarib Mau
Era Demokrasi semua warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dan berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada masa kolonial berbagai organisasi social atau terang-terangan menganut asas politik dalam jumlah yang cukup semuanya memainkan peranan dalam masa pergerakan national.
Sehingga pada pemilu 1955 partai politik yang menggikuti pemilu berkisar 29 partai, masuk dalam kekuasaan orde baru tahun 1973 dari sekian partai di kelompokan menjadi 3 (tiga) partai saja yakni PPP, GOLKAR dan PDI. Sejalan dengan lengsernya Soeharto dan berakhirnya masa orde baru salah satu tuntutan reformasi adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai.
Hal ini memberikan peluang bagi semua orang untuk mendirikan partai dengan berbagai alasan diantaranya; karena partai-partai besar atau tradisional yang ada telah mengalami kegagalan dalam membangun kesejahteraan terutama merubah social-ekonomi masyarakat, adapula yang ingin memperjuangkan ideologi tertentu, ada sebagian membentuk partai karena barisan sakit hati, adapula yang lebih ekstrim lagi yakni mencari keuntungan dan peluang kerja baru dikarenakan anggota legislative mendapatkan gaji dan sejumlah tunjangan tertentu.
Menjelang Pilkada di Provinsi NTT hadir fenomena dan polemik yang berkepanjangan dalam penentuan kandidat cagub-cawagub dalam pilkada NTT turut diwarnai oleh partai-partai politik yang mengikuti pemilu pada tahun 2004 ada yang langsung mencalonkan kandidatnya seperti PDIP dan Golkar akan tetapi ada yang harus melakukan koalisi yakni partai-partai politik yang memiliki minoritas kursi di legislative.
Penulis menyebut partai minoritas ini dengan sebutan Partai Kecil karena otomatis mereka tidak dapat mencalonkan kandidatnya secara langsung dan jalan satu-satunya hanyalah berkoalisi.
Inilah yang dilakukan sejumlah Partai Kecil di NTT yang berkoalisi menyambut Pilkada 2008 namun menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan sehingga penentuan kandidat yang akan diusung sangat sulit untuk ditentukan apakah karena konsolidasi antar partai yang mengalami kemandekan karena berbeda ideologi atau karena belum tergenapinya transaksi nilai yang diharapkan? Dengan demikian memberikan preseden buruk bagi partai-partai kecil,
GADIS-GADIS YANG BODOH
Perumpamaan tentang gadis-gadis yang bodoh dalam Injil Matius dapat menggambarkan bagaimana peran Partai Kecil dalam menghadapi pilkada Prov. NTT sebagai sebuah pesta. Seharusnya partai-partai ini melakukan mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melakukan survei atau dengar pendapat dari rakyat NTT sebagai basis pemilihnya sehingga ada kader atau figure yang layak dan dikenal oleh rakyat.
Realitas yang terjadi adalah pribadi atau figure yang memiliki keuangan yang kuat dapat mencetak poster atau kelender sebagai daya tarik atau mengiklankan diri terlebih dahulu, yang disebarkan ke pelosok-pelosok, di pajang dirumah-rumah rakyat kemudian lembaga survei melakukan penelitian dan menentukan bahwa figure inilah yang dikehendaki oleh rakyat indikatornya hanyalah sebuah kelender tahunan.
Fenomena ini membuktikan bahwa partai-partai kecil yang diharapkan sebagai kekuatan demokrasi atau penyeimbang bagi partai-partai besar atau traditional hanya sekedar pajangan. Partai-partai kecil ini telah mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan figure yang berpotensi dari kelas masyarakat bawah. Seharusnya partai-partai kecil memiliki militansi dan nilai jual (posisi tawar) dimata rakyat sebagai pemberi perubahan (agen of change), contoh kasus dalam Pilkada Sumatera Utara dan Jawa Barat PKS-PAN mencalonkan kadernya sendiri bahkan mereka berdomisili di luar Jawa Barat mampu mengalahkan incumbent dari partai-partai besar.dengan demikian Partai-Partai kecil diharapkan aktif menyelesaikan masalah, bukan menjelang hari pelaksanaan Pilkada barulah beramai-ramai mencari siapa yang mau dicalonkan.
CITRA PARTAI BERWAJAH DUA
Partai politik haruslah memiliki program kerja yang jelas yang dapat di lakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti keberpihakan terhadap rakyat, karena komitment awal partai di bentuk dengan harapan ingin memperbaiki sistem di Negara ini yang tidak baik menjadi lebih baik.
Kenyataannya proses pengkaderan dan pembinaan kader hanya dalam bentuk seremonial belaka yakni adanya Rapimda dan Musda di tingkat daerah, atau apapun namanya untuk pergantian atau memperpanjang kepengurusan guna lolos dalam verifikasi partai guna turut dalam pemilu.
Akan tetapi mengkhianati fungsi partai sebenarnya dengan melibatkan semua golongan untuk berpartisipasi guna menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin.
Para stakeholder Partai-Partai kecil tidak mempersiapkan kader, sebab bagi mereka dengan membina hubungan emosional dengan keluarga dan kerabat saja dalam pemilu nanti, targetnya dapat memperoleh 1 atau 2 kursi di legislative sudah menjadi keuntungan bagi partainya karena figure yang berkeinginan untuk menjadi kandidat akan mendekatinya dan membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki pola yang sama sehingga terjadilah transaksi nilai.
Momentum Pilkada seharusnya di jadikan sebagai turbelensi politik dimana partai-partai kecil memanfaatkanya secara optimal menaikan citra partai untuk menarik simpati rakyat yang otomatis berpengaruh besar dalam Pemilu 2009. Namun Pilkada di coreng sebagai ajang “penjarahan” dan “pemerasan” dari pada aktor-aktor, akhirnya partai politik mengalami pergeseran makna tidak berjuang untuk memakmurkan rakyat namun sebaliknya berisi para penjarah dan pemeras dengan demikian Negara pun bersifat penjarah (predatory state) tidak salah apabila salah seorang kandidat dari partai tertentu mengatakan “maling jangan teriak maling”.
Penulis: Yoyarib Mau
Anggota GMKI Cabang Jakarta
Kannutuan@yahoo.com - (tulisan ini sudah di publikasikan di Media Lokal Timor Express)
"KPUD MEMBERIKAN KICK OFF BAGI KANDIDAT PARTAI KECIL"
KPUD MEMBERIKAN KICK OFF BAGI KANDIDAT PARTAI KECIL
Oleh : Yoyarib Mau
Keputusan KPUD sebagai wasit yang memimpin pertandingan Pilkada akhirnya hanya memutuskan 3 (tiga) kandidat yang lolos untuk mengikuti final pertandingan sedangkan 5 kandidat lainnya di diskualifikasi, karena ada syarat yang tidak dapat dipenuhi, keputusan ini sepertinya pahit namun keputusan ini sepertinya sudah final. Peran wasit seharusnya menengahi pertandingan ini dengan baik dan tidak berpihak kepada kandidat tertentu, sehingga tidak merugikan semua pihak terutama mengorbankan kepentingan rakyat (people interest).
Seyogiannya sekali lagi toleransi perpanjangan waktu bagi partai-partai kecil yang memiliki kursi di DPRD di tambah dengan partai-partai lain yang memilki jumlah suara pada pemilu 2004 yang lalu. Apabila dapat memenuhi persyaratan 15% maka satu kandidat lagi dapat ikut serta dalam Pilkada ini dengan pertimbangan bahwa menghargai Partai-partai kecil yang memiliki kursi di DPRD, yang paling penting adalah memberikan banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin yang tepat guna menjawab kebutuhan rakyat NTT. Jika hal ini tidak dilakukan oleh KPUD maka terkesan otoriter dan tidak akomodatif sehingga memberangus hak rakyat serta mencederai demokrasi atau KPUD lebih berpihak kepada wajah lama, teman lama sehingga ada kedipan mata dalam memberikan hukuman kick off;
Wajah Lama Masih Bercokol:
Kita semua pasti sepakat bahwa kebangkitan dari keterpurukan tidak selamanya bergantung pada siapa pemimpinnya akan tetapi keterpurukan yang tak beranjak senantiasa menempatkan pemimpin sebagai sentral harapan. Dalam kondisi ini pemimpin tak bisa menghindar dari posisinya sebagai penentu kebijakan sehingga peran pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang kuat, tegas, visioner, dan transformative bagi kemajuan rakyat.
Kandidat-kandidat yang lolos saat ini adalah mereka yang telah lama bergelut di birokrasi pemerintahan daerah NTT, pertanyaan yang timbul dalam benak penulis terhadap keputusan KPUD terhadap para kandidat ini adalah apakah jabatan pemimpin hanyalah penghargaan kepada mereka yang telah lama mengabdikan diri di Prov. NTT ? Atau sekedar menghibur mereka di masa tuanya. Hal ini perlu dilihat kembali bahwa ini tanggung jawab dan komitment terhadap nasib rakyat NTT 5 (lima) tahun kedepan, untuk itu sebaiknya banyak pilihan harus di tawarkan guna rakyat menakar dan kemudian menentukan pilihannya.
Kandidat lainya yang mungkin terkesan wajah baru di NTT di ibaratkan “pelanduk yang mati di antara gajah” karena tidak ada kedekatan emosional dengan para wasit atau tidak dapat membangun pertemanan dengan baik sehingga kecenderungan keputusan kick off ini diberikan.
Menelanjangi Gengsi antara Partai Kecil dan Kandidat
Harapan akan toleransi terakhir yang akan diberikan KPUD sangat di nantikan oleh Partai Kecil maupun oleh para kandidat yang tidak lolos, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menyamakan persepsi dan kepentingan dari para partai kecil dan para kandidat, guna membentuk koalisi serta menentukan kandidat yang akan di usung.
Jika antara partai dan kandidat menyadari bersama apa yang di perjuangan “power oriented Vs people interest” maka mereka akan merenung bersama dan dari hati yang jujur dan murni guna menentukan pilihan demi kebangkitan menuju perubahan di NTT maka mereka akan berbesar hati dan mengurungg niat pribadinya.
Partai-partai kecil besepakat bersama siapa yang layak dan berkompeten dari para kandidat yang belum lolos yang akan di usung bersama. Hal ini merupakan ide politik yang sering di sebut dengan negosiasi untuk memecahkan kebuntuan (Peter Scroder - 2005), sehingga menghadirkan satu kandidat lagi agar banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih, apabila kondisi ini di sepakati maka dapat memberikan preseden yang baik bagi Negara bahwa Prov. NTT dapat menjalankan demokrasi dengan baik. Permasalahannya apakah para kandidat mampu menanggalkan ego pribadi dan mengedepankan kebutuhan rakyat NTT ke depan.
Memang jujur gengsi ataupun ego tidak dapat dipungkiri, menguasai dan ada dalam diri para kandidat seperti “setali tiga uang” sehingga dibutuhkan pahlawan rakyat yang dinantikan hadir menjembatani 3 (tiga) kepentingan ini yakni; KPUD, Partai-partai Kecil dan Para kandidat yang belum di tetapkan sebagai peserta Pilkada. Peran Pahlawan rakyat yang dapat bertindak sebagai kelompok penekan (presure group) yang independent ke KPUD guna memberikan toleransi bagi kesepakatan partai-partai kecil yang kandidatnya gagal untuk mengajukan satu lagi kandidat yang akan di usung.
Pahlawan yang diharapkan dapat bertindak sebagai moderator atau fasilitator (political broker) dengan moral dan integritas yang baik dan teruji guna menyatukan kepentigan- kepentingan yang ada, guna memberikan solusi dan peran aktif masyarakat dalam memajukan demokrasi di NTT, namun pahlawan rakyat ini pun bukan memiliki perilaku “aji mumpung atau memancing di air keruh” untuk repenting pribadinya tetapi demi rakyat banyak.
Penulis : Yoyarib Mau
TTL : Kupang 03 Desember 1978
Alumni : Institut Filsafat Theologia dan Kepemimpinan Jaffray Jakarta
Organisasi: Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta
Alamat : Jl. Salemba Tengah Gg. Jubleg No. 15 A Jakarta Pusat
Kannutuan@yahoo.com (tulisan ini sudah dipublikasikan di media Lokal “Timor Exprees”
Oleh : Yoyarib Mau
Keputusan KPUD sebagai wasit yang memimpin pertandingan Pilkada akhirnya hanya memutuskan 3 (tiga) kandidat yang lolos untuk mengikuti final pertandingan sedangkan 5 kandidat lainnya di diskualifikasi, karena ada syarat yang tidak dapat dipenuhi, keputusan ini sepertinya pahit namun keputusan ini sepertinya sudah final. Peran wasit seharusnya menengahi pertandingan ini dengan baik dan tidak berpihak kepada kandidat tertentu, sehingga tidak merugikan semua pihak terutama mengorbankan kepentingan rakyat (people interest).
Seyogiannya sekali lagi toleransi perpanjangan waktu bagi partai-partai kecil yang memiliki kursi di DPRD di tambah dengan partai-partai lain yang memilki jumlah suara pada pemilu 2004 yang lalu. Apabila dapat memenuhi persyaratan 15% maka satu kandidat lagi dapat ikut serta dalam Pilkada ini dengan pertimbangan bahwa menghargai Partai-partai kecil yang memiliki kursi di DPRD, yang paling penting adalah memberikan banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin yang tepat guna menjawab kebutuhan rakyat NTT. Jika hal ini tidak dilakukan oleh KPUD maka terkesan otoriter dan tidak akomodatif sehingga memberangus hak rakyat serta mencederai demokrasi atau KPUD lebih berpihak kepada wajah lama, teman lama sehingga ada kedipan mata dalam memberikan hukuman kick off;
Wajah Lama Masih Bercokol:
Kita semua pasti sepakat bahwa kebangkitan dari keterpurukan tidak selamanya bergantung pada siapa pemimpinnya akan tetapi keterpurukan yang tak beranjak senantiasa menempatkan pemimpin sebagai sentral harapan. Dalam kondisi ini pemimpin tak bisa menghindar dari posisinya sebagai penentu kebijakan sehingga peran pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang kuat, tegas, visioner, dan transformative bagi kemajuan rakyat.
Kandidat-kandidat yang lolos saat ini adalah mereka yang telah lama bergelut di birokrasi pemerintahan daerah NTT, pertanyaan yang timbul dalam benak penulis terhadap keputusan KPUD terhadap para kandidat ini adalah apakah jabatan pemimpin hanyalah penghargaan kepada mereka yang telah lama mengabdikan diri di Prov. NTT ? Atau sekedar menghibur mereka di masa tuanya. Hal ini perlu dilihat kembali bahwa ini tanggung jawab dan komitment terhadap nasib rakyat NTT 5 (lima) tahun kedepan, untuk itu sebaiknya banyak pilihan harus di tawarkan guna rakyat menakar dan kemudian menentukan pilihannya.
Kandidat lainya yang mungkin terkesan wajah baru di NTT di ibaratkan “pelanduk yang mati di antara gajah” karena tidak ada kedekatan emosional dengan para wasit atau tidak dapat membangun pertemanan dengan baik sehingga kecenderungan keputusan kick off ini diberikan.
Menelanjangi Gengsi antara Partai Kecil dan Kandidat
Harapan akan toleransi terakhir yang akan diberikan KPUD sangat di nantikan oleh Partai Kecil maupun oleh para kandidat yang tidak lolos, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menyamakan persepsi dan kepentingan dari para partai kecil dan para kandidat, guna membentuk koalisi serta menentukan kandidat yang akan di usung.
Jika antara partai dan kandidat menyadari bersama apa yang di perjuangan “power oriented Vs people interest” maka mereka akan merenung bersama dan dari hati yang jujur dan murni guna menentukan pilihan demi kebangkitan menuju perubahan di NTT maka mereka akan berbesar hati dan mengurungg niat pribadinya.
Partai-partai kecil besepakat bersama siapa yang layak dan berkompeten dari para kandidat yang belum lolos yang akan di usung bersama. Hal ini merupakan ide politik yang sering di sebut dengan negosiasi untuk memecahkan kebuntuan (Peter Scroder - 2005), sehingga menghadirkan satu kandidat lagi agar banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih, apabila kondisi ini di sepakati maka dapat memberikan preseden yang baik bagi Negara bahwa Prov. NTT dapat menjalankan demokrasi dengan baik. Permasalahannya apakah para kandidat mampu menanggalkan ego pribadi dan mengedepankan kebutuhan rakyat NTT ke depan.
Memang jujur gengsi ataupun ego tidak dapat dipungkiri, menguasai dan ada dalam diri para kandidat seperti “setali tiga uang” sehingga dibutuhkan pahlawan rakyat yang dinantikan hadir menjembatani 3 (tiga) kepentingan ini yakni; KPUD, Partai-partai Kecil dan Para kandidat yang belum di tetapkan sebagai peserta Pilkada. Peran Pahlawan rakyat yang dapat bertindak sebagai kelompok penekan (presure group) yang independent ke KPUD guna memberikan toleransi bagi kesepakatan partai-partai kecil yang kandidatnya gagal untuk mengajukan satu lagi kandidat yang akan di usung.
Pahlawan yang diharapkan dapat bertindak sebagai moderator atau fasilitator (political broker) dengan moral dan integritas yang baik dan teruji guna menyatukan kepentigan- kepentingan yang ada, guna memberikan solusi dan peran aktif masyarakat dalam memajukan demokrasi di NTT, namun pahlawan rakyat ini pun bukan memiliki perilaku “aji mumpung atau memancing di air keruh” untuk repenting pribadinya tetapi demi rakyat banyak.
Penulis : Yoyarib Mau
TTL : Kupang 03 Desember 1978
Alumni : Institut Filsafat Theologia dan Kepemimpinan Jaffray Jakarta
Organisasi: Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta
Alamat : Jl. Salemba Tengah Gg. Jubleg No. 15 A Jakarta Pusat
Kannutuan@yahoo.com (tulisan ini sudah dipublikasikan di media Lokal “Timor Exprees”
"JANJI YANG MANIS TAK AKAN DI LUPAKAN"
JANJI YANG MANIS TAK AKAN DI LUPAKAN
*Yoyari Mau
“kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari” ini adalah sepenggal syair dari lagu hits Rhoma Irama si Raja Dangdut, tepat jika syair lagu ini dihubungkan dengan janji-janji manis yang di lontarkan oleh para kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur NTT.
Para Kandidat mulai menjual kecap manis ada yang menjual kecapnya dengan merek fren, merek gaul dan merek tulus. Mereka mencoba merayu rakyat dengan visi, misi yang intinya, mau mengentaskan kemiskinan dan memberantas korupsi. Namun bagi rakyat cukup sudah kegagalan ini dan jangan terulang lagi, rakyat tak mau di madu lagi. Sebab tatkala madu rakyat dihisap dan diperas kemudian rakyat ditinggalkan tetap menderita. Yang ada hanyalah kalimat penghiburan yang terucap ya nasib….. Ya nasib……
Masa kampannye bagi para kandidat telah dimulai, ada pasangan yang mencoba menarik simpati masyarakat dengan memposisikan diri sebagai orang yang di “zalimi” atau difitnah, kandidat ini mencoba mengolah perasan pendukung dan simpatisannya guna menarik empati dan rasa iba terhadap kandidat ini.
Sedangkan kandidat lain mencoba menarik simpati rakyat dengan menampilkan latar belakang asal usulnya sebagai anak petani desa yang miskin dan primitif, sehingga kondisi ini yang mendorongnya sebagai orang kecil untuk memberikan perubahan. Eksperesi diri ini sebagai anti terhadap kemapanan, ungkapan ini pun untuk menarik rasa iba rakyat.
Sedangkan ada pasangan kandidat tertentu lebih menekankan pendekatan kultur, bahwa ia dari turunan bangsawan tetapi tidak membuat jarak dengan rakyat karena sering “turba” (turun ke bawah) bersama-sama dengan rakyat seperti makan sirih pinang bersama. Namun menjadi pertanyaannya adalah perilaku ini telah dilakoni selama ini atau hanya menjelang proses pencalonan diri.
NABI YANG DINANTIKAN
Dalam artikel ini dapat di pahami Nabi sebagai pemimpin, yang mengarahkan dan memberikan pelepasan dari penderitaan dan penindasan yang di alami guna membawa ke arah yang benar (menyelamatkan). Dengan kondisi saat ini di NTT wajarlah jika dalam proses pemilihan langsung ini para kandidat hadir ditengah masyarakat dengan meneriakan perubahan melalui gagasan dan program-program.
Para kandidat ini bukan sekedar bertaruh tetapi mereka berusaha menjadi seorang Nabi untuk menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi rakyat NTT dengan sebaik-baiknya sehingga rakyat NTT menjadi rakyat yang beradab.
Konteks ini berbeda dengan nabi dalam Kitab Suci dimana di tentukan dengan sistem teokrasi ditentukan oleh Penguasa Ilahi, sepeti Petikan Suma Theologica Saint Thomas Aquinas bahwa “ dunia diatur melalui ketetapan Ilahi (Josep Losco - 2005).
Sedangkan Nabi yang diharapkan dalam Pilkada NTT di tentukan melalui sistem demokrasi dimana rakyat yang menentukan (vox populi vox dei) bahwa suara rakyat pun merepsesentasikan suara ilahi. Rakyat menentukan pilihan bukan berdasarkan apa yang dimiliki atau gunakan bahkan dibicarakan oleh kandidat, tetapi tindakan politik apa yang telah dilakukan oleh para kandidat yang sesuai dengan hati nurani rakyat.
Rakyat perlu mencermati praktik-praktik, perilaku-perilaku yang direkomendasikan atau diisaratkan oleh kelompok-kelompok independent (penegak moral), yang masih memiliki hati nurani yang murni sebagai salah satu sumber kebenaran dapat dijadikan sebagai indikator, rakyat menentukan Nabi (baca: pemimpin) NTT kedepan.
KONTRAK POLITIK
Janji yang manis tak akan terlupakan selalu terngiang di telinga, karena di sana ada harapan di sana ada kepastian namun, tak selamanya “mendung itu hujan” tak selamanya janji itu ditepati. Dengan demikian rakyat perlu memiliki ketegasan sebelum menentukan pilihannya dimana dilakukan dan diformulasikan dalam kesepakatan secara tertulis bersama antara rakyat dan kandidat yang akan diusung.
Kesepakatan ini lebih dikenal dengan istilah kontrak politik atau kontrak social dimana pola ini untuk menjamin bahwa janji - janji manis ini bukan pepesan kosong. Kesepakatan ini untuk mengikat para kandidat apabila terpilih nanti, kesepakatan ini akan dijadikan sebagai alat atau instrumen jaminan untuk mengontrol, apabila kandidat atau pemipin terpilih tidak merealisasikan apa yang di tawarkan dalam janji kampanyenya. Dengan demikian rakyat memiliki bukti untuk menggugat di kemudian hari jika pemimpinnya tidak menunaikan janji-janjinya.
Perlu diketahui iklan kecab bermerek, selalu di kelabui dengan tampilan desain grafis dan ligting, tipuan kamera yang semuanya begitu menawan hati. Perlu di cermati bahwa kadang produk itu telah kadarluasa, mengandung zat pengawet tertentu yang membahayakan kesehatan rakyat. Bahkan mematikan atau juga bisa saja produk gagal yang di selundupkan dan dipasarkan secara illegal. Oleh sebab itu rakyat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai janji-janji manis itu sehingga tidak terkecoh saat menentukan pilihan hati ….
Penulis : Anggota GMKI - Jakarta
kannutuan@yahoo.com
*Yoyari Mau
“kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari” ini adalah sepenggal syair dari lagu hits Rhoma Irama si Raja Dangdut, tepat jika syair lagu ini dihubungkan dengan janji-janji manis yang di lontarkan oleh para kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur NTT.
Para Kandidat mulai menjual kecap manis ada yang menjual kecapnya dengan merek fren, merek gaul dan merek tulus. Mereka mencoba merayu rakyat dengan visi, misi yang intinya, mau mengentaskan kemiskinan dan memberantas korupsi. Namun bagi rakyat cukup sudah kegagalan ini dan jangan terulang lagi, rakyat tak mau di madu lagi. Sebab tatkala madu rakyat dihisap dan diperas kemudian rakyat ditinggalkan tetap menderita. Yang ada hanyalah kalimat penghiburan yang terucap ya nasib….. Ya nasib……
Masa kampannye bagi para kandidat telah dimulai, ada pasangan yang mencoba menarik simpati masyarakat dengan memposisikan diri sebagai orang yang di “zalimi” atau difitnah, kandidat ini mencoba mengolah perasan pendukung dan simpatisannya guna menarik empati dan rasa iba terhadap kandidat ini.
Sedangkan kandidat lain mencoba menarik simpati rakyat dengan menampilkan latar belakang asal usulnya sebagai anak petani desa yang miskin dan primitif, sehingga kondisi ini yang mendorongnya sebagai orang kecil untuk memberikan perubahan. Eksperesi diri ini sebagai anti terhadap kemapanan, ungkapan ini pun untuk menarik rasa iba rakyat.
Sedangkan ada pasangan kandidat tertentu lebih menekankan pendekatan kultur, bahwa ia dari turunan bangsawan tetapi tidak membuat jarak dengan rakyat karena sering “turba” (turun ke bawah) bersama-sama dengan rakyat seperti makan sirih pinang bersama. Namun menjadi pertanyaannya adalah perilaku ini telah dilakoni selama ini atau hanya menjelang proses pencalonan diri.
NABI YANG DINANTIKAN
Dalam artikel ini dapat di pahami Nabi sebagai pemimpin, yang mengarahkan dan memberikan pelepasan dari penderitaan dan penindasan yang di alami guna membawa ke arah yang benar (menyelamatkan). Dengan kondisi saat ini di NTT wajarlah jika dalam proses pemilihan langsung ini para kandidat hadir ditengah masyarakat dengan meneriakan perubahan melalui gagasan dan program-program.
Para kandidat ini bukan sekedar bertaruh tetapi mereka berusaha menjadi seorang Nabi untuk menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi rakyat NTT dengan sebaik-baiknya sehingga rakyat NTT menjadi rakyat yang beradab.
Konteks ini berbeda dengan nabi dalam Kitab Suci dimana di tentukan dengan sistem teokrasi ditentukan oleh Penguasa Ilahi, sepeti Petikan Suma Theologica Saint Thomas Aquinas bahwa “ dunia diatur melalui ketetapan Ilahi (Josep Losco - 2005).
Sedangkan Nabi yang diharapkan dalam Pilkada NTT di tentukan melalui sistem demokrasi dimana rakyat yang menentukan (vox populi vox dei) bahwa suara rakyat pun merepsesentasikan suara ilahi. Rakyat menentukan pilihan bukan berdasarkan apa yang dimiliki atau gunakan bahkan dibicarakan oleh kandidat, tetapi tindakan politik apa yang telah dilakukan oleh para kandidat yang sesuai dengan hati nurani rakyat.
Rakyat perlu mencermati praktik-praktik, perilaku-perilaku yang direkomendasikan atau diisaratkan oleh kelompok-kelompok independent (penegak moral), yang masih memiliki hati nurani yang murni sebagai salah satu sumber kebenaran dapat dijadikan sebagai indikator, rakyat menentukan Nabi (baca: pemimpin) NTT kedepan.
KONTRAK POLITIK
Janji yang manis tak akan terlupakan selalu terngiang di telinga, karena di sana ada harapan di sana ada kepastian namun, tak selamanya “mendung itu hujan” tak selamanya janji itu ditepati. Dengan demikian rakyat perlu memiliki ketegasan sebelum menentukan pilihannya dimana dilakukan dan diformulasikan dalam kesepakatan secara tertulis bersama antara rakyat dan kandidat yang akan diusung.
Kesepakatan ini lebih dikenal dengan istilah kontrak politik atau kontrak social dimana pola ini untuk menjamin bahwa janji - janji manis ini bukan pepesan kosong. Kesepakatan ini untuk mengikat para kandidat apabila terpilih nanti, kesepakatan ini akan dijadikan sebagai alat atau instrumen jaminan untuk mengontrol, apabila kandidat atau pemipin terpilih tidak merealisasikan apa yang di tawarkan dalam janji kampanyenya. Dengan demikian rakyat memiliki bukti untuk menggugat di kemudian hari jika pemimpinnya tidak menunaikan janji-janjinya.
Perlu diketahui iklan kecab bermerek, selalu di kelabui dengan tampilan desain grafis dan ligting, tipuan kamera yang semuanya begitu menawan hati. Perlu di cermati bahwa kadang produk itu telah kadarluasa, mengandung zat pengawet tertentu yang membahayakan kesehatan rakyat. Bahkan mematikan atau juga bisa saja produk gagal yang di selundupkan dan dipasarkan secara illegal. Oleh sebab itu rakyat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai janji-janji manis itu sehingga tidak terkecoh saat menentukan pilihan hati ….
Penulis : Anggota GMKI - Jakarta
kannutuan@yahoo.com
"AMBIGUITAS PELAKSANAAN DEMOKRASI DISAAT PILKADA"
AMBIGUITAS PELAKSANAAN DEMOKRASI DISAAT PILKADA
*Yoyarib Mau
Aksi demontrasi 19 Mei 2008 untuk memprotes keputusan KPUD NTT tentang penetapan tiga paket Cagub-Cawagub diwarnai dengan kekerasan, peristiwa ini mencoreng demokrasi yang sejatinya sebagai sebuah tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada diri demokrasi tidak ada kesalahan tetapi proses pelaksanaannya selalu mengalami distorsi yang menyebabkan kekaburan, ketidakjelasan, bahkan bermakna ganda. Kesalahan dapat saja dilakukan oleh para demonstran yang melakukan aksinya sebagai alat control terhadap para pengambil kebijakan (KPUD) atau juga oleh aparat kepolisian sebagai penegak ketertiban dan keamanan.
Demokrasi hadir untuk meniadakan kekerasan yang selama ini dipraktekan oleh Negara-Negara yang menerapkan sistim monarki, aristokrasi dan lainnya yang terkesan repressive terhadap hak asasi manusia dimana ketidakbenaran, kecurangan, penipuan harus di tentang.
Dengan melihat kondisi yang terjadi dalam aksi yang diduga dari kelompok pendukung salah satu Bakal Calon Gubenur tertentu, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan demokrasi baru melalui masa transisi sehingga pemahaman dari kelompok pendemo dan pihak polisi masih sangat terbatas sehingga perlu memperdalam pemahaman tentang demokrasi sehingga tidak menimbulkan kekerasan.
MANAJEMEN AKSI
Team sukses yang dibentuk oleh Bakal Calon atau Calon Gubernur yang bertarung dalam pilkada tidak hanya mampu memobilisasi massa tetapi harus mampu menata masa yang dihimpun namun proses penataan ini membutuhkan strategi yang tepat untuk mencapai kekuasaan sehingga ada profesional yang dapat mengarahkan pelaksanaan aksi, biasanya di sebut “teknokrat” juga dapat disebut ideologiwan yang memikirkan prnsip-prinsip, perencanaan aksi yang efisien dan productive sehingga aksi ini dapat diarahkan dengan baik dan tidak anarkis.
Seorang teknokrat mampu menyiapkan perangkat aksi dan membagi peran ada yang menyusun isu, meredam massa, bertugas sebagai intel untuk mengawasi para provokator atau penyusup yang memperkeruh suasana, instrumen-instrumen inilah yang sangat diperlukan dalam sebuah aksi sebagai fungsi control.
Proses Pilkada adalah sebuah ajang pembelajaran bagi rakyat mengenai riak-riak demokrasi, karena hampir seluruh rakyat berperan dan memberikan dukungannya. Demontrasi dalam era demokrasi ini perlu dilakkukan dengan baik dan benar sehingga memberikan dampak yang baik bagi kemajuan demokrasi saat ini, apabila tidak ditata dengan baik maka akin menjadi momok dan masyarakat menjadi kecewa dan mendambakan romantisme masa lalu.
Tidak hanya para demonstran yang perlu memperhatikan hal ini tetapi pihak-pihak lain yang turut memberikan pengawasan dalam aksi ini yakni aparat kepolisian. Karena mereka pun harus memberikan jaminan bagi kebebasan rakyat menyampaikan pendapatnya, padahal militer memiliki pancamarga dan sumpah prajurit yang mengakui dan menghormati HAM (Hak Azazi Manusia) dan hukum humaniter secara universal.
Jika dipelajari dan menjadi karakter diri aparat maka tidak memperlakukan para demonstran dengan kekerasan. Tetapi melakukan dengan penuh persuasive dan sensual sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dan mitra tetapi bukan menganggap para pendemo ini sebagai musuh yang harus di benci.
POLITIK ETIS
Ketika para demonstran yang mengalami penganiayaan saat berjuang untuk kandidat tertentu, dan sudah sepantasnya memberikan perhatiannya sebagai tangggung jawab morilnya dengan mendatangi para pendukungnya yang di tahan oleh aparat. Perilaku ini yang disebut sebagai “politik etis” atau “politik balas budi” bukan habis manis sepah dibuang.
Gaya politik ini harus di tiru oleh semua kandidat, bukan hanya memberikan biaya personal untuk melakukan aksi mendukung setelah itu menganggap telah selesai tanggung jawabnya tetapi sebaiknya memberikan perhatian penuh. Namun politik balas budi pun tidak harus membuat seseorang buta dan overlap, bahkan melakukan tindak kekerasan yang tidak semestinya dilakukan. Apabila ini terjadi maka akan menyebabkan kontra productive bahkan citra buruk bagi kandidat tersebut.
Politik balas budi sebaiknya di barengi dengan perilaku yang santun. Hal ini akan terkesan premature dan kelihatan belum siap untuk bertarung, kembali lagi ke alinea di atas bahwa team sukses juga harus mempunyai team yang khusus mendampingi kandidat dari hal psikologis sehingga tatkala emosi yang meledak dapat di redam oleh team psikologis dan mengarahkan kepada team hukum untuk melakukan tuntutan secara hukum guna menunjukan bahwa hukum di jungjung tinggi.
Mungkin kita harus berkaca pada pertarungan pemilihan calon president di internal Partai Demokrat di Amerika Serikat. Dimana demokrasi cukup mengalami kemajuan yang pesat, di saat Barack Obama di serang dan diledek oleh Hilary Clinton ia tidak memperdulikan ocehan tersebut tetapi Obama mengalihkan isu kampanye tentang kekerasan yang di timbulkan oleh perang. Demokrasi bukan hanya dapat di wujudkan oleh figure tetapi bagaimana team yang bekerja sesuai dengan potensi diri dan dari berbagai aspek perlu di sertakan sehingga tidak membuat demokrasi menjadi kabur.......
*Penulis : Anggota GMKI Cabang Jakarta
kannutuan@yahoo.com
*Yoyarib Mau
Aksi demontrasi 19 Mei 2008 untuk memprotes keputusan KPUD NTT tentang penetapan tiga paket Cagub-Cawagub diwarnai dengan kekerasan, peristiwa ini mencoreng demokrasi yang sejatinya sebagai sebuah tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada diri demokrasi tidak ada kesalahan tetapi proses pelaksanaannya selalu mengalami distorsi yang menyebabkan kekaburan, ketidakjelasan, bahkan bermakna ganda. Kesalahan dapat saja dilakukan oleh para demonstran yang melakukan aksinya sebagai alat control terhadap para pengambil kebijakan (KPUD) atau juga oleh aparat kepolisian sebagai penegak ketertiban dan keamanan.
Demokrasi hadir untuk meniadakan kekerasan yang selama ini dipraktekan oleh Negara-Negara yang menerapkan sistim monarki, aristokrasi dan lainnya yang terkesan repressive terhadap hak asasi manusia dimana ketidakbenaran, kecurangan, penipuan harus di tentang.
Dengan melihat kondisi yang terjadi dalam aksi yang diduga dari kelompok pendukung salah satu Bakal Calon Gubenur tertentu, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan demokrasi baru melalui masa transisi sehingga pemahaman dari kelompok pendemo dan pihak polisi masih sangat terbatas sehingga perlu memperdalam pemahaman tentang demokrasi sehingga tidak menimbulkan kekerasan.
MANAJEMEN AKSI
Team sukses yang dibentuk oleh Bakal Calon atau Calon Gubernur yang bertarung dalam pilkada tidak hanya mampu memobilisasi massa tetapi harus mampu menata masa yang dihimpun namun proses penataan ini membutuhkan strategi yang tepat untuk mencapai kekuasaan sehingga ada profesional yang dapat mengarahkan pelaksanaan aksi, biasanya di sebut “teknokrat” juga dapat disebut ideologiwan yang memikirkan prnsip-prinsip, perencanaan aksi yang efisien dan productive sehingga aksi ini dapat diarahkan dengan baik dan tidak anarkis.
Seorang teknokrat mampu menyiapkan perangkat aksi dan membagi peran ada yang menyusun isu, meredam massa, bertugas sebagai intel untuk mengawasi para provokator atau penyusup yang memperkeruh suasana, instrumen-instrumen inilah yang sangat diperlukan dalam sebuah aksi sebagai fungsi control.
Proses Pilkada adalah sebuah ajang pembelajaran bagi rakyat mengenai riak-riak demokrasi, karena hampir seluruh rakyat berperan dan memberikan dukungannya. Demontrasi dalam era demokrasi ini perlu dilakkukan dengan baik dan benar sehingga memberikan dampak yang baik bagi kemajuan demokrasi saat ini, apabila tidak ditata dengan baik maka akin menjadi momok dan masyarakat menjadi kecewa dan mendambakan romantisme masa lalu.
Tidak hanya para demonstran yang perlu memperhatikan hal ini tetapi pihak-pihak lain yang turut memberikan pengawasan dalam aksi ini yakni aparat kepolisian. Karena mereka pun harus memberikan jaminan bagi kebebasan rakyat menyampaikan pendapatnya, padahal militer memiliki pancamarga dan sumpah prajurit yang mengakui dan menghormati HAM (Hak Azazi Manusia) dan hukum humaniter secara universal.
Jika dipelajari dan menjadi karakter diri aparat maka tidak memperlakukan para demonstran dengan kekerasan. Tetapi melakukan dengan penuh persuasive dan sensual sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dan mitra tetapi bukan menganggap para pendemo ini sebagai musuh yang harus di benci.
POLITIK ETIS
Ketika para demonstran yang mengalami penganiayaan saat berjuang untuk kandidat tertentu, dan sudah sepantasnya memberikan perhatiannya sebagai tangggung jawab morilnya dengan mendatangi para pendukungnya yang di tahan oleh aparat. Perilaku ini yang disebut sebagai “politik etis” atau “politik balas budi” bukan habis manis sepah dibuang.
Gaya politik ini harus di tiru oleh semua kandidat, bukan hanya memberikan biaya personal untuk melakukan aksi mendukung setelah itu menganggap telah selesai tanggung jawabnya tetapi sebaiknya memberikan perhatian penuh. Namun politik balas budi pun tidak harus membuat seseorang buta dan overlap, bahkan melakukan tindak kekerasan yang tidak semestinya dilakukan. Apabila ini terjadi maka akan menyebabkan kontra productive bahkan citra buruk bagi kandidat tersebut.
Politik balas budi sebaiknya di barengi dengan perilaku yang santun. Hal ini akan terkesan premature dan kelihatan belum siap untuk bertarung, kembali lagi ke alinea di atas bahwa team sukses juga harus mempunyai team yang khusus mendampingi kandidat dari hal psikologis sehingga tatkala emosi yang meledak dapat di redam oleh team psikologis dan mengarahkan kepada team hukum untuk melakukan tuntutan secara hukum guna menunjukan bahwa hukum di jungjung tinggi.
Mungkin kita harus berkaca pada pertarungan pemilihan calon president di internal Partai Demokrat di Amerika Serikat. Dimana demokrasi cukup mengalami kemajuan yang pesat, di saat Barack Obama di serang dan diledek oleh Hilary Clinton ia tidak memperdulikan ocehan tersebut tetapi Obama mengalihkan isu kampanye tentang kekerasan yang di timbulkan oleh perang. Demokrasi bukan hanya dapat di wujudkan oleh figure tetapi bagaimana team yang bekerja sesuai dengan potensi diri dan dari berbagai aspek perlu di sertakan sehingga tidak membuat demokrasi menjadi kabur.......
*Penulis : Anggota GMKI Cabang Jakarta
kannutuan@yahoo.com
"Eklusifisme (kita orang - kamu orang) jelang Pilkada"
EKLUSIFISME (KITA ORANG - KAMU ORANG) JELANG PILKADA
*Yoyarib Mau
Politik memperlihatkan wajahnyanya yang ambigu; wajah arif bijaksana-sekaligus licik, wajah luhur-busuk, jujur-penuh tipu daya, wajah humanis-juga antihumanis, wajah moralis-juga amoralis. Ironi memang tetapi inilah realitas yang terjadi namun diharapkan rakyat mampu menciptakan era baru dimana dapat dihasilkan pencerahan politik.
Dinamika dan tensitas politik pilkada Prov. NTT dalam kehidupan masyarakat semakin meningkat, paska penetapan kandidat yang lolos sebagai kandidat yang turut dalam pemilihan kepala daerah di Prov. NTT. Hal ini membentuk kehidupan masyarakat menjadi terkotak-kotak karena dukungan politik berdasarkan ikatan emotional dengan para kandidat. Sehingga wilayah, kabupaten, suku, agama telah disegel, diklaim, dikapling bahkan lebih ekstrim di police line oleh para kandidat bahwa wilayah ini dibawah kekuasannya. Pola ini di jadikan isu politik oleh masing-masing kandidat untuk politik jangka pendek. Pemilihan pasangan untuk berpasangan menjadi paket dalam Pilkada NTT telah menciptakan masyarakat hidup dalam eklusifisme kelompok tertentu menguatnya kesukuan dan sentimen keagamaan.
Masyarakat terjebak dalam pemikiran kita orang (kitorang) dukung Si A sedangkan kamu orang (kamorang) orangnya Si B. Pilihan ini tak dapat dipungkiri dan dihindari dalam kehidupan politik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia bahkan semangat kebersamaan yang ada dalam masyarakat yang tertuang dalam syair lagu flobamora yang menggambarkan kehidupan masyrakat NTT dengan filosofi “flobamora’ sebagai sebuah tanah air bersama, masih dapat dipertahankan atau semakin luntur dan melemah hanya karena hadirnya Pilkada langsung?
Pada massa penjajahan membangun semangat kebersamaan untuk mengusir penjajah terkesan lebih muda dari pada membangun semangat flobamora guna mengusir kemiskinan dan keterbelakangan. Kepentingan politik menghasilkan masyarakat hidup dalam dikotomi persaingan antara “kita-mereka (lu-beta) kitong-bosong dan sebagainya“, bahkan hidup bertetanggapun tanpa bersinggungan dan bersapa hanya karena berbeda pilihan dengan melihat kondisi ini, mungkinkah demokrasi dapat di bangun dengan baik guna menuju masyarakat yang adil dan sejahtera?
BUDAYA POLITIK CAMPURAN
Tak dapat dipungkiri bahwa agama dan entitas dari setiap kandidat ini dibentuk dalam agama dan adat, sehingga membudaya dalam diri mereka dan tak bisa dihilangkan. Saat ini para kandidat mencapai orientasi politik mereka, hal ini akan dipengaruhi oleh perilaku bahkan simbol-simbol yang telah membentuknya. Orientasi politik masyarakat pun dalam menentukan pilihan atau afiliasi politiknya berdasarkan sikap, keyakinan, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Almond and Powell).
Budaya politik dalam Pilkada Prov. NTT dikategorikan sebagai budaya politik campuran, karena kondisi masyarakat di NTT secara “cognitive” mengalami kematangan dan kedewasaan yang tak di ragukan lagi hal ini dibuktikan dengan tokoh-tokoh politik yang berkiprah dalam sejarah bangsa Indonesia dan tingkat pendidikan yang menghasilkan ahli (Prof. W.Z. Yohanes - ahli Medis). Namun tak dapat dihindari dengan mengentalnya aspek “affective” yakni perasaan dan ikatan emotional dalam masyarakat yang menghasilkan perasaan sesuku, seagama, sekampung dan sebagainya.
Tiga budaya yang penulis paparkan dalam tulisan ini sesuai dengan kondisi masyarakat kita, yakni ada kelompok masyarakat tertentu menganut:
(a). budaya politik kaula Masyarakat sadar dan mengetahui terhadap sistem politik adannya Pilkada tetapi tidak berpartisipasi mungkin karena kekecewaan terhadap kondisi ekonomi yang menghimpit, kenaikan BBM, kemiskinan yang tak beranjak, atau perilaku pejabat yang koruptor, atau masyarakat melihat para kandidat dengan sebutan 4L (lu lagi, lu lagi), sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi. Kelompok ini kebanyakan pendatang ataupun mereka yang dari daerah lain.
(b). budaya politik parochial Frekuensi budaya ini yang kelihatan menguat dalam kehidupan masyarakat NTT jelang Pilkada nanti, karena eklusive masyarakat atau otoritas feodal atau masyarakat. Pilihan masyarakat akan memberikan pilihannya kepada kandidat yang memiliki hubungan emotional dengannya atau sealiran, apa kata kepala suku atau tua adat. Pengetahuan kelompok ini akan kandidat sangat rendah, pilihan didorong oleh emosi yang mengalahkan perimbangan akal, namun karena sentimen kedaerahan (kesukuan) sehingga termobilisasi untuk memberikan dukungan.
(c). budaya politik partisipan Masyarakat yang menganut budaya ini dapat dikategorikan sebagai pemilih yang ideal dan pro perubahan, karena memiliki minat dan harapan yang tinggi. Kelompok ini aktif berpartisipasi penuh menggalang kekuatan untuk mengkritisi dan memprotes kepijakan atau visi dan misi para kandidat yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kelompok didominasi oleh para Intelektual, Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai penegak moral (moral force).
Kelompok-kelmpok penganut budaya ini akan berbenturan dan saling mengais jelang proses kampanye, hari pencoblosan, bahkan pasca pilkada karena jargon yang dijagokan menang atau kalah. Kondisi budaya yang ada ini dapat memicu terjadinya konflik vertikal antar masyarakat karena di satu sisi hadirnya pilkada sebagai salah satu model demokrasi tetapi sisi lain dorongan primordial dan semangat otoritarian suku juga menderu guna menunjukan bahwa dialah yang layak.
RUANG PUBLIK
Politik adalah bagaimana memperebutkan ruang (kapling, kursi dan wilayah) sehingga semua isu dikerahkan untuk menggapainya (Machiavellian) namun politik pun harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan, pilkada di beberapa daerah diwarnai dengan kekerasan yang menyebabkan banyak korban jiwa.
Menurut Michael Foucault “ganguan pada pikiran (mind) pada diri sebagai manusia adalah akibat dari penyerahan buta kita hasrat-hasrat (desire) kita sendiri, tanpa ketidakmampuan mengontrol atau menjinakan hawa nafsu (passion) kita” model politik seperti ini tidak dilandasi dengaan sila Perikemanusiaan dalam Pancasila.
Untuk menghindari konflik kekerasan di tengah masyarakat, pemerintah (birokrasi) seperti stadion, pasar. Lembaga/institusi keagamaan sebagai alat hegemoni (Gereja, Katedral, Masjid, Pura, Wihara) dan lembaga/intitusi adat, publik figure yang mampu membentuk opini sebagai repsentasi publik. Seyogianya tidak terkooptasi tetapi menciptakan ruang-ruang publik yang mampu menjembatani masyarakat yang berbeda dukungan kandidat dan partai politik pengusung.
Ruang tersebut sebagai ajang rakyat dapat berkumpul, berinteraksi, bersosialisasi dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda pilihan dan dukungan politik, dapat berkumpul dan membangun semangat kebersamaan dan pemaknaan sebagai makhluk social. Ruang ini dapat diakes oleh siapa saja karena sebagai oikos, untuk bercanda tawa dan saling menghargai (homoioi) dan bukan untuk saling memangsa satu dengan yang lain, dengan demikian dapat meminimalisir konflik dalam Pilkada dan mengkristalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Penulis : Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Cabang Jakarta, email : kannutuan@yahoo.com
*Yoyarib Mau
Politik memperlihatkan wajahnyanya yang ambigu; wajah arif bijaksana-sekaligus licik, wajah luhur-busuk, jujur-penuh tipu daya, wajah humanis-juga antihumanis, wajah moralis-juga amoralis. Ironi memang tetapi inilah realitas yang terjadi namun diharapkan rakyat mampu menciptakan era baru dimana dapat dihasilkan pencerahan politik.
Dinamika dan tensitas politik pilkada Prov. NTT dalam kehidupan masyarakat semakin meningkat, paska penetapan kandidat yang lolos sebagai kandidat yang turut dalam pemilihan kepala daerah di Prov. NTT. Hal ini membentuk kehidupan masyarakat menjadi terkotak-kotak karena dukungan politik berdasarkan ikatan emotional dengan para kandidat. Sehingga wilayah, kabupaten, suku, agama telah disegel, diklaim, dikapling bahkan lebih ekstrim di police line oleh para kandidat bahwa wilayah ini dibawah kekuasannya. Pola ini di jadikan isu politik oleh masing-masing kandidat untuk politik jangka pendek. Pemilihan pasangan untuk berpasangan menjadi paket dalam Pilkada NTT telah menciptakan masyarakat hidup dalam eklusifisme kelompok tertentu menguatnya kesukuan dan sentimen keagamaan.
Masyarakat terjebak dalam pemikiran kita orang (kitorang) dukung Si A sedangkan kamu orang (kamorang) orangnya Si B. Pilihan ini tak dapat dipungkiri dan dihindari dalam kehidupan politik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia bahkan semangat kebersamaan yang ada dalam masyarakat yang tertuang dalam syair lagu flobamora yang menggambarkan kehidupan masyrakat NTT dengan filosofi “flobamora’ sebagai sebuah tanah air bersama, masih dapat dipertahankan atau semakin luntur dan melemah hanya karena hadirnya Pilkada langsung?
Pada massa penjajahan membangun semangat kebersamaan untuk mengusir penjajah terkesan lebih muda dari pada membangun semangat flobamora guna mengusir kemiskinan dan keterbelakangan. Kepentingan politik menghasilkan masyarakat hidup dalam dikotomi persaingan antara “kita-mereka (lu-beta) kitong-bosong dan sebagainya“, bahkan hidup bertetanggapun tanpa bersinggungan dan bersapa hanya karena berbeda pilihan dengan melihat kondisi ini, mungkinkah demokrasi dapat di bangun dengan baik guna menuju masyarakat yang adil dan sejahtera?
BUDAYA POLITIK CAMPURAN
Tak dapat dipungkiri bahwa agama dan entitas dari setiap kandidat ini dibentuk dalam agama dan adat, sehingga membudaya dalam diri mereka dan tak bisa dihilangkan. Saat ini para kandidat mencapai orientasi politik mereka, hal ini akan dipengaruhi oleh perilaku bahkan simbol-simbol yang telah membentuknya. Orientasi politik masyarakat pun dalam menentukan pilihan atau afiliasi politiknya berdasarkan sikap, keyakinan, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Almond and Powell).
Budaya politik dalam Pilkada Prov. NTT dikategorikan sebagai budaya politik campuran, karena kondisi masyarakat di NTT secara “cognitive” mengalami kematangan dan kedewasaan yang tak di ragukan lagi hal ini dibuktikan dengan tokoh-tokoh politik yang berkiprah dalam sejarah bangsa Indonesia dan tingkat pendidikan yang menghasilkan ahli (Prof. W.Z. Yohanes - ahli Medis). Namun tak dapat dihindari dengan mengentalnya aspek “affective” yakni perasaan dan ikatan emotional dalam masyarakat yang menghasilkan perasaan sesuku, seagama, sekampung dan sebagainya.
Tiga budaya yang penulis paparkan dalam tulisan ini sesuai dengan kondisi masyarakat kita, yakni ada kelompok masyarakat tertentu menganut:
(a). budaya politik kaula Masyarakat sadar dan mengetahui terhadap sistem politik adannya Pilkada tetapi tidak berpartisipasi mungkin karena kekecewaan terhadap kondisi ekonomi yang menghimpit, kenaikan BBM, kemiskinan yang tak beranjak, atau perilaku pejabat yang koruptor, atau masyarakat melihat para kandidat dengan sebutan 4L (lu lagi, lu lagi), sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi. Kelompok ini kebanyakan pendatang ataupun mereka yang dari daerah lain.
(b). budaya politik parochial Frekuensi budaya ini yang kelihatan menguat dalam kehidupan masyarakat NTT jelang Pilkada nanti, karena eklusive masyarakat atau otoritas feodal atau masyarakat. Pilihan masyarakat akan memberikan pilihannya kepada kandidat yang memiliki hubungan emotional dengannya atau sealiran, apa kata kepala suku atau tua adat. Pengetahuan kelompok ini akan kandidat sangat rendah, pilihan didorong oleh emosi yang mengalahkan perimbangan akal, namun karena sentimen kedaerahan (kesukuan) sehingga termobilisasi untuk memberikan dukungan.
(c). budaya politik partisipan Masyarakat yang menganut budaya ini dapat dikategorikan sebagai pemilih yang ideal dan pro perubahan, karena memiliki minat dan harapan yang tinggi. Kelompok ini aktif berpartisipasi penuh menggalang kekuatan untuk mengkritisi dan memprotes kepijakan atau visi dan misi para kandidat yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kelompok didominasi oleh para Intelektual, Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai penegak moral (moral force).
Kelompok-kelmpok penganut budaya ini akan berbenturan dan saling mengais jelang proses kampanye, hari pencoblosan, bahkan pasca pilkada karena jargon yang dijagokan menang atau kalah. Kondisi budaya yang ada ini dapat memicu terjadinya konflik vertikal antar masyarakat karena di satu sisi hadirnya pilkada sebagai salah satu model demokrasi tetapi sisi lain dorongan primordial dan semangat otoritarian suku juga menderu guna menunjukan bahwa dialah yang layak.
RUANG PUBLIK
Politik adalah bagaimana memperebutkan ruang (kapling, kursi dan wilayah) sehingga semua isu dikerahkan untuk menggapainya (Machiavellian) namun politik pun harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan, pilkada di beberapa daerah diwarnai dengan kekerasan yang menyebabkan banyak korban jiwa.
Menurut Michael Foucault “ganguan pada pikiran (mind) pada diri sebagai manusia adalah akibat dari penyerahan buta kita hasrat-hasrat (desire) kita sendiri, tanpa ketidakmampuan mengontrol atau menjinakan hawa nafsu (passion) kita” model politik seperti ini tidak dilandasi dengaan sila Perikemanusiaan dalam Pancasila.
Untuk menghindari konflik kekerasan di tengah masyarakat, pemerintah (birokrasi) seperti stadion, pasar. Lembaga/institusi keagamaan sebagai alat hegemoni (Gereja, Katedral, Masjid, Pura, Wihara) dan lembaga/intitusi adat, publik figure yang mampu membentuk opini sebagai repsentasi publik. Seyogianya tidak terkooptasi tetapi menciptakan ruang-ruang publik yang mampu menjembatani masyarakat yang berbeda dukungan kandidat dan partai politik pengusung.
Ruang tersebut sebagai ajang rakyat dapat berkumpul, berinteraksi, bersosialisasi dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda pilihan dan dukungan politik, dapat berkumpul dan membangun semangat kebersamaan dan pemaknaan sebagai makhluk social. Ruang ini dapat diakes oleh siapa saja karena sebagai oikos, untuk bercanda tawa dan saling menghargai (homoioi) dan bukan untuk saling memangsa satu dengan yang lain, dengan demikian dapat meminimalisir konflik dalam Pilkada dan mengkristalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Penulis : Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Cabang Jakarta, email : kannutuan@yahoo.com
"Menakar Cagub dan Cawagub dalam Pilkada NTT"
MENAKAR CAGUB DAN CAWAGUB
DALAM PILKADA NTT*
Hajatan dan pesta demokrasi besar bagi provinsi NTT yakni dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Gubernur secara langsung, ini merupakan sejarah baru dan kali pertama rakyat memilih kebebasan yang longgar, terbuka, dan bahkan terkesan liberal dalam babakan baru, hal ini merupakan torehan amat penting bagi perjalanan provinsi NTT untuk keluar dari penyebab kemelut keterbelakangan (ekonomi) yang berkepanjangan. Kita semua harus jujur dan mengakui bahwa keterbelakangan ini terjadi dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena merosotnya political trust di kalangan elite dan hancurnya social trust di tingkat masyarakat.
Pesta ini dapat pula menggiring masyarakat untuk bereuforia yang berlebihan karena rakyat akan terlibat untuk memberikan dukungan bagi para calon dengan imbalan uang transport atau uang operasional yang dibagikan saat hadir dalam kampanye, namun yang menakutkan apabila sebagian rakyat yang antipati terhadap proses pilkada ini karena trauma dan mengganggab bahwa pemimpin boleh berganti tetapi keadaan tidak pernah beranjak ditambah dengan kekecewaan rakyat akan kader partai di legislatif yang korup bahkan para eksekutif yang hanya memperkaya diri dan keluargannya. Momentum ini membutuhkan komitment rakyat untuk berpartisipasi bersama untuk menakar dan meneropong Cagub dan Cawagub yang tepat guna membawa perubahan bagi masa depan provinsi NTT;
Dikotomi Orang Daerah dan Orang Pusat
Kebanyakan para kandidat menata karier politik dari birokrat (PNS) dan mencapai jenjang karier sebagai Bupati atau posisi strategis lainnya di Pemda, namun ada kandidat yang berasal dari pekerja sosial dan kemudian memilih untuk mengaktualisasikan diri lewat partai politik, ada yang berasal dari militer (Polisi) dan tidak ketinggalan juga para profesional yakni akademisi dan pengacara turut dalam pertarungan ini. Mereka yang menata karier di daerah sebagai birokrat dan kegiatan administratif pemerintahan daerah otomatis mereka lebih banyak berada di daerah dan memahami karakteristik budaya dan perilaku (behavioral) masyarakat penulis sebut saja sebagai Orang Daerah, sehingga terkadang mereka merasa bahwa merekalah yang layak untuk memimpin. Akan tetapi mereka yang memang berasal dari daerah tetapi karena pendidikan serta profesi mereka mengabdikan diri di Ibu Kota atau Kota Besar lainya yang kaya akan informasi-teknologi dan syarat dengan pemikiran global, konsep strategis dan sistematis yang matang karena pengamatan akan kemajuan di daerah lain mereka yang menghabiskan banyak waktunnya di kota besar penulis menyebut mereka sebagai Orang Pusat tidak menutup pintu bagi mereka untuk memajukan NTT.
Latar belakang para kandidat ini penulis sebut sebagai dikotomi orang daerah-orang pusat semua kandidat memiliki keunggulan namun secara mendasar dan faktual sudah terbentang kontradiksi diantara para kandidat terjadi faksi yang mendukung kandidat Orang Daerah yang berhak karena mereka yang membangun dan mengawal proses pembangunan di daerah tetapi faksi yang lain sebagai pendukung Orang Pusat merasa bahwa kandidat ini memiliki keterbebanan mereka untuk membangun daerah asalnya dan jaringan yang mereka jalin selama ini menjadi modal dan aset yang berharga untuk memberikan kontribusi berupa pemikiran dan investasi ke daerah asalnya karena NTT tidak hanya bergelut sebagai kota pegawai saja dimana peluang kerja hanya sebagai PNS akan tetapi dengan hadirnya investor ke daerah dapat membuka peluang kerja baru, komitment untuk memajukan dan mensejahterahkan masyarakat NTT merupakan kebaikan bersama (bonnum comune) dari semua pihak.
Polarisasi Etnik – Agama
Para kandidat terpolarisasi dengan memilih paketnya yang strategis untuk mencapai kemenangan dalam Pilkada ini, terlihat dari paket-paket yang ada yakni pola etnis (geografis) dan agama; pola etnis (geografis) maka akan terbentuk pola Flores-Timor (timor,rote,sabu) atau sebaliknya Timor (timor,rote,sabu)-Flores, Flores-Sumba dan bentuk lainya, jika pola agama maka akan terbentuk pola Katolik-Protestan atau Protestan-Katolik, penulis melihat pola ini terbentuk atas pertimbangan basis atau jumlah suara pemilih terbanyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada etnis lain atau agama lain di NTT yang memiliki figur atau kandidiat yang layak akan tetapi kecenderungan di NTT adalah pola-pola paket di atas hal ini berdasarkan pengamatan penulis pada Pilkada Walikota Kupang yang telah berlalu, pola ini yang dapat di eksploitasi dan dipolitisasi oleh Partai Politik untuk mencapai kekuasaan (moving) dengan demikian terciptalah fanatisme etnis dan agama peran partai politik hanyalah batu loncatan atau kendaraan politik yang dapat di sewa dengan sejumlah uang, para kandidat hanya menggunakan partai politik sebagai sarana dan bukan penentu sebab bagi mereka perimbangan geografis, etnis, dan agama lebih mendominasi dan kwalitas bukan sebagai penentu.
Peran tokoh agama dan adat sangat diharapkan untuk memiliki peran yang independent dan netral dengan memberikan pencerahan (insight) pemikiran bagi umat dan masyarakat guna memilih pemimpin yang memiliki kwalitas yang baik berdasarkan pertimbangan moral-etis dalam agama dan adat, mengapa demikian sebab apabila tokoh agama terlibat contohnya struktur hierarki yang dimiliki agama seperti Keuskupan (Katolik) atau Sinode (Protestant) terlibat dan memberikan arahan bagi umatnya maka semua akan mengikuti arahan tersebut. Seyogiannya peran tokoh agama dan tokoh adat membangun kesadaran warga dan umat agar tidak mudah terhasut oleh simbol-simbol agama dan etnis yang melekat pada para kandidat. Visi dan misi setiap kandidat akan dipaparkan sebagai daya tarik bagi rakyat untuk memilih, para kandidat akan berupaya untuk membahasakan visi dan misinya sebagai sebuah komitment apabila terpilih maka dirinya akan mengelola pemerintahan daerah ini dengan baik dan salah satu program dalam pemerintahannya adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) karena tema ini mungkin sebagai obat penawar bagi sinisme masyarakat akan para figure, namun kita tentu paham bahwa rakyat dibingungkan oleh visi dan misi tersebut karena janji pribadi kandidat terhadap para team sukses apabila dirinya terpilih posisi atau jabatan strategis akan di emban oleh mereka yang telah berperan mensukseskan dirinya. Dengan demikian bahasa hanya dipakai hanya untuk membangkitkan emosi manusia sehingga manusia terdorong melakukan tindakan tertentu, Seorang Filsuf Yunani Socrates mengatakan bahwa “janganlah percaya dan menerima suatu pengertian begitu saja sebelum diuji benar salahnya” pemikiran ini begitu penting karena tidak hanya kata-kata yang menarik yang dapat dijadikan indikator bagi pilihan rakyat tetapi ada hal lain yang tak kalah pentingnya dapat dijadikan bahan pertimbangan adalah rekam jejak (track record) dari para kandidat perlu diketahui atau dipublikasikan secara proporsional sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi rakyat untuk menentukan pilihan, dikala para kandidat ini mendaftarkan diri sebagi calon pejabat publik maka publik berhak untuk mengetahui kehidupan pribadi para kandidat ini untuk menentukan pilihan mereka dengan demikian proses demokrasi yang cukup baik akan tercipta dan bukan memilih karena kedekatan emosional; satu suku, satu agama.
*Yoyarib Mau (Masyarakat NTT bekerja di Jakarta)Alamat: Jl. Salemba Tengah Gg. Jubleg No. 15A Kec. Senen, Jakarta Pusat. Hand phone = 0813-1015-9683, kannutuan@yahoo.com (Tulisan ini sudah di publikasikan di media local : “Timor Exprees”
DALAM PILKADA NTT*
Hajatan dan pesta demokrasi besar bagi provinsi NTT yakni dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Gubernur secara langsung, ini merupakan sejarah baru dan kali pertama rakyat memilih kebebasan yang longgar, terbuka, dan bahkan terkesan liberal dalam babakan baru, hal ini merupakan torehan amat penting bagi perjalanan provinsi NTT untuk keluar dari penyebab kemelut keterbelakangan (ekonomi) yang berkepanjangan. Kita semua harus jujur dan mengakui bahwa keterbelakangan ini terjadi dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena merosotnya political trust di kalangan elite dan hancurnya social trust di tingkat masyarakat.
Pesta ini dapat pula menggiring masyarakat untuk bereuforia yang berlebihan karena rakyat akan terlibat untuk memberikan dukungan bagi para calon dengan imbalan uang transport atau uang operasional yang dibagikan saat hadir dalam kampanye, namun yang menakutkan apabila sebagian rakyat yang antipati terhadap proses pilkada ini karena trauma dan mengganggab bahwa pemimpin boleh berganti tetapi keadaan tidak pernah beranjak ditambah dengan kekecewaan rakyat akan kader partai di legislatif yang korup bahkan para eksekutif yang hanya memperkaya diri dan keluargannya. Momentum ini membutuhkan komitment rakyat untuk berpartisipasi bersama untuk menakar dan meneropong Cagub dan Cawagub yang tepat guna membawa perubahan bagi masa depan provinsi NTT;
Dikotomi Orang Daerah dan Orang Pusat
Kebanyakan para kandidat menata karier politik dari birokrat (PNS) dan mencapai jenjang karier sebagai Bupati atau posisi strategis lainnya di Pemda, namun ada kandidat yang berasal dari pekerja sosial dan kemudian memilih untuk mengaktualisasikan diri lewat partai politik, ada yang berasal dari militer (Polisi) dan tidak ketinggalan juga para profesional yakni akademisi dan pengacara turut dalam pertarungan ini. Mereka yang menata karier di daerah sebagai birokrat dan kegiatan administratif pemerintahan daerah otomatis mereka lebih banyak berada di daerah dan memahami karakteristik budaya dan perilaku (behavioral) masyarakat penulis sebut saja sebagai Orang Daerah, sehingga terkadang mereka merasa bahwa merekalah yang layak untuk memimpin. Akan tetapi mereka yang memang berasal dari daerah tetapi karena pendidikan serta profesi mereka mengabdikan diri di Ibu Kota atau Kota Besar lainya yang kaya akan informasi-teknologi dan syarat dengan pemikiran global, konsep strategis dan sistematis yang matang karena pengamatan akan kemajuan di daerah lain mereka yang menghabiskan banyak waktunnya di kota besar penulis menyebut mereka sebagai Orang Pusat tidak menutup pintu bagi mereka untuk memajukan NTT.
Latar belakang para kandidat ini penulis sebut sebagai dikotomi orang daerah-orang pusat semua kandidat memiliki keunggulan namun secara mendasar dan faktual sudah terbentang kontradiksi diantara para kandidat terjadi faksi yang mendukung kandidat Orang Daerah yang berhak karena mereka yang membangun dan mengawal proses pembangunan di daerah tetapi faksi yang lain sebagai pendukung Orang Pusat merasa bahwa kandidat ini memiliki keterbebanan mereka untuk membangun daerah asalnya dan jaringan yang mereka jalin selama ini menjadi modal dan aset yang berharga untuk memberikan kontribusi berupa pemikiran dan investasi ke daerah asalnya karena NTT tidak hanya bergelut sebagai kota pegawai saja dimana peluang kerja hanya sebagai PNS akan tetapi dengan hadirnya investor ke daerah dapat membuka peluang kerja baru, komitment untuk memajukan dan mensejahterahkan masyarakat NTT merupakan kebaikan bersama (bonnum comune) dari semua pihak.
Polarisasi Etnik – Agama
Para kandidat terpolarisasi dengan memilih paketnya yang strategis untuk mencapai kemenangan dalam Pilkada ini, terlihat dari paket-paket yang ada yakni pola etnis (geografis) dan agama; pola etnis (geografis) maka akan terbentuk pola Flores-Timor (timor,rote,sabu) atau sebaliknya Timor (timor,rote,sabu)-Flores, Flores-Sumba dan bentuk lainya, jika pola agama maka akan terbentuk pola Katolik-Protestan atau Protestan-Katolik, penulis melihat pola ini terbentuk atas pertimbangan basis atau jumlah suara pemilih terbanyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada etnis lain atau agama lain di NTT yang memiliki figur atau kandidiat yang layak akan tetapi kecenderungan di NTT adalah pola-pola paket di atas hal ini berdasarkan pengamatan penulis pada Pilkada Walikota Kupang yang telah berlalu, pola ini yang dapat di eksploitasi dan dipolitisasi oleh Partai Politik untuk mencapai kekuasaan (moving) dengan demikian terciptalah fanatisme etnis dan agama peran partai politik hanyalah batu loncatan atau kendaraan politik yang dapat di sewa dengan sejumlah uang, para kandidat hanya menggunakan partai politik sebagai sarana dan bukan penentu sebab bagi mereka perimbangan geografis, etnis, dan agama lebih mendominasi dan kwalitas bukan sebagai penentu.
Peran tokoh agama dan adat sangat diharapkan untuk memiliki peran yang independent dan netral dengan memberikan pencerahan (insight) pemikiran bagi umat dan masyarakat guna memilih pemimpin yang memiliki kwalitas yang baik berdasarkan pertimbangan moral-etis dalam agama dan adat, mengapa demikian sebab apabila tokoh agama terlibat contohnya struktur hierarki yang dimiliki agama seperti Keuskupan (Katolik) atau Sinode (Protestant) terlibat dan memberikan arahan bagi umatnya maka semua akan mengikuti arahan tersebut. Seyogiannya peran tokoh agama dan tokoh adat membangun kesadaran warga dan umat agar tidak mudah terhasut oleh simbol-simbol agama dan etnis yang melekat pada para kandidat. Visi dan misi setiap kandidat akan dipaparkan sebagai daya tarik bagi rakyat untuk memilih, para kandidat akan berupaya untuk membahasakan visi dan misinya sebagai sebuah komitment apabila terpilih maka dirinya akan mengelola pemerintahan daerah ini dengan baik dan salah satu program dalam pemerintahannya adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) karena tema ini mungkin sebagai obat penawar bagi sinisme masyarakat akan para figure, namun kita tentu paham bahwa rakyat dibingungkan oleh visi dan misi tersebut karena janji pribadi kandidat terhadap para team sukses apabila dirinya terpilih posisi atau jabatan strategis akan di emban oleh mereka yang telah berperan mensukseskan dirinya. Dengan demikian bahasa hanya dipakai hanya untuk membangkitkan emosi manusia sehingga manusia terdorong melakukan tindakan tertentu, Seorang Filsuf Yunani Socrates mengatakan bahwa “janganlah percaya dan menerima suatu pengertian begitu saja sebelum diuji benar salahnya” pemikiran ini begitu penting karena tidak hanya kata-kata yang menarik yang dapat dijadikan indikator bagi pilihan rakyat tetapi ada hal lain yang tak kalah pentingnya dapat dijadikan bahan pertimbangan adalah rekam jejak (track record) dari para kandidat perlu diketahui atau dipublikasikan secara proporsional sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi rakyat untuk menentukan pilihan, dikala para kandidat ini mendaftarkan diri sebagi calon pejabat publik maka publik berhak untuk mengetahui kehidupan pribadi para kandidat ini untuk menentukan pilihan mereka dengan demikian proses demokrasi yang cukup baik akan tercipta dan bukan memilih karena kedekatan emosional; satu suku, satu agama.
*Yoyarib Mau (Masyarakat NTT bekerja di Jakarta)Alamat: Jl. Salemba Tengah Gg. Jubleg No. 15A Kec. Senen, Jakarta Pusat. Hand phone = 0813-1015-9683, kannutuan@yahoo.com (Tulisan ini sudah di publikasikan di media local : “Timor Exprees”
Minggu, 08 November 2009
"Magic Ala Susno Duadji"
“Magic ala Susno Duadji”
* Yoyarib Mau
Magic di Indonesia main popular tatkala salah satu magician Indonesia Limbad melakukan atraksi-atraksi yang menghebohkan, pada puncak perayaan HUT RCTI beberapa bulan yang telah berlalu, magic yang di tampilkan oleh para magician atau pesulap sangat bervariasi ada yang melakukan berdasarkan kecermatan, kelihaiannya mengecoh para penonton, magic atau sulap juga dilakukan dengan kekuatan insting, ada juga yang menggunakan kekuatan gaib dimana kekuatan itu melebihi kekuatan asali yang dimiliki sang magician. Deretan nama para magician Indonesia antara lain Dedy Corbuzer, Romy Rafael, Limbad dan kini betambah satu lagi magician kita Susno Duadji.
Susno Duadji di kategorikan masuk sebagai seorang pesulap pendatang baru yang menghebohkan Indonesia dengan statement atau pernyataan-pernyataannya yang mempengaruhi bahkan meracuni pemikiran dan memicu pro dan kontra hampir seluruh rakyat Indonesia di pelosok nusantara. Statement yang menggelinding seperti bola liar namun kemudian berubah menjadi senjata makan tuan yakni kata Buaya Vs Cicak, Buaya diidentikan dengan Institusi Kepolisian (Polri) sedangkan Cicak dilabelkan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan sang Pesulap yang kedua yang menambah keruh suasana tatkala rapat dengan pendapat atau rapat kerja antara Kepolisian RI dan Komisi III DPR RI pada kamis 05 November 2009 yang di mulai pukul 19:30 WIB hingga Sabtu 06 November 2009 Pukul 03:00 WIB.
Dalam kesempatan rapat kerja tesebut Susno Duadji berkesempatan berbicara dan mengawalinya dengan “bersumpah” atas nama Allah bahwa dia tidak merekayasa terjadinya penahanan terhadap dua pejabat KPK, tetapi berdasarkan pernyataan polisi bahwa; “ada sejumlah bukti terjadi proses penyelagunaan wewenang dalam keluarnya surat cekal untuk Anggoro Widjojo, Direktur PT. Masaro Radiokom dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima. Menurut Polisi, keputusan seharusnya diambil oleh semua pemimpin KPK. Bibit dan Chandra menyanggah. Pencekalan atau pencabutan pencekalan, menurut mereka tidak membutuhkan keputusan seluruh pemimpin KPK. Polisi kemudian menuduh Bibit dan Chandra menerima suap dan memeras. Tuduhan ini didasarkan atas pengakuan Ary Muladi, Pengusaha yang diminta Anggogo Widjojo adik Anggoro untuk membereskan urusan sang Kakak yang sedang disidik KPK. Kepada Polisi, Ary Muladi mengaku menyerahkan duit dari Anggoro Rp. 5.1 miliar kepada Bibit dan Chandra. Belakangan Ary Muladi mencabut pengakuannya. Ia mengakui bahwa sebenarnya tidk pernah memberikan uang sepeser pun kepada Bibit dan Chandra. Menurut pengakuan Ary, pengakuan yang dibuatnya semata-mata hasil rekayasa Anggodo” (Majalah Tempo 2- 8 November 2009).
Aksi yang dilakukan Susno Duadji cukup memukau di sela-sela rapat kerja yang berlangsung kurang lebih 7 jam tersebut, di saat rehat Susno Duadji berkesempatan mendekati hampir keseluruhan Komisi III DPR RI dan memberikan salam dan mengajak berdialog, aksi ini sepertinya sebagai jurus pemungkas yang ampuh untuk menghipnotis sejumlah wakil rakyat yang ada di Komisi III. Dalam awal rapat kerja tersebut Polri mendapatkan banyak cercaan dari sejumlah politisi, namun akhir dari rapat tersebut tidak seperti kondisi semula dimana suasana panas malah berubah 180 derajat, Polri mendapatkan hadiah dari Komisi III yang membidangi masalah Hukun dengan pujian dan tepukan tangan atas penjelasan dan sikap Polri terkait dengan kasus Bibit dan Chandra.
Perilaku Susno Duadji merupakan sebuah fenomena baru mungkinkah hukum di Indonesia telah dikendalikan oleh para magician atau para pesulap, Benarkah Nalar Wakil Rakyat yang ada di Komisi III ditundukan oleh aksi Susno Duadji? Pertanyaan tersebut mendasari pembahasan penulisan ini dimana kebenaran yang seyogianya dipahami dengan rasionalitas berpikir yang matang tetapi runtuh oleh aksi panggung seorang pesulap pendatang baru yang berbakat.
Permasalahan yang menyeret berbagai institutusi negara ini merupakan berbagai permasalahan yang mencoreng keabsahan dan berbagai sendi kehidupan bernegara baik itu di bidang politik, hukum, ekonomi bahkan menghadirksn krisis kepercayaan rakyat terhadap negara (alat negara). Benturan antara Buaya Vs Cicak adalah konflik antar alat negara dan lebih pada dimensi politik, “Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik, dipertegas oleh Harold Laswell yang merumuskan politik sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Ramlan Surbakti - Memahami Ilmu Politik – Grasindo – 1992).
Konflik ini menyeret berbgai institusi ditambah aksi Susno Duadji menyeret Komisi III DPR RI terlibat dalam konflik ini, Aksi Susno mampu menghidupkan luka lama dimana institusi para wakil rakyat pernah di jebloskan oleh KPK karena kasus korupsi suap dan pemerasan termasuk masih memiliki keterkaitan dengan PT. Masaro Radikom yang menyeret sejumlah nama seperti Al Amin Nasution dari Fraksi PPP.
Luka lama yang belum hilang ingatan bagi Institusi DPR RI, membuat Komisi III berani melawan arus besar kekuatan rakyat, yang di buktikan dengan dukungan kuat masyarakat melalui dukungan akademisi yang dimotori oleh Forum Rektor Indonesia, Komunitas Cicak, Para Facebookers yang tergabung dalam Gerakan 1.000.000 Facebokeers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto, oposisi jalanan yang terbentuk dari para aktivis, mahasiswa dan seniman yang menggelar berbagai aksi di Ibukota Negara dan sejumlah kota di Indonesia menunjukan bahwa rasionalitas berpikir rakyat lebih matang dari pada para politisi kita. Mereka memiliki pemikiran yang sehat dimana memiliki keinginan agar Indonesia sehat dari Korupsi.
Arus dukungan buak KPK sebenarnya menunjukan kedaulatan ada di tangan rakyat kemana rakyat yang cerdas akan berpihak pada kebenaran, berangkat dari pemikiran ”Vox Populi Vox Dei” yang memiliki pengertian suara rakyat adalah suara Tuhan, karena berangkat dari hati nurani yang tulus dalam melihat persoalan tanpa di pengaruhi oleh pemahaman siapa dan mendapat apa? atau keinginan mempertahankan kekuasaan namun hanya dengan satu tujuan demi kebenaran. Wakil rakyat yakni Anggota DPR RI yang mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu legislatif, idealnya di harapkan untuk mewakili rakyat di parlement dalam melakukan fungsi kontrol dan pengawasan (cheks and balances) terhadap pemerintah ternyata gagal. Kegagalan wakil rakyat ini kemungkinan dipengaruhi oleh kepiawaian seorang Susno Duadji dengan aksi panggungnya yang mampu membutakan wibawa dan nalar berpikir wakil rakyat kita menjadi seperti ”Kerbau yang ditusuk Hidungnya”.
DPR RI dalam hal ini Komisi III sebenarnya memiliki kepekaan sosial serta rasional dalam berpkiri sebagai bahan pertimbangan berdasarkan berbagai fakta keterlibatan kepolisian dalam hal ini Komjen Susno Duadji yang terlibat dalam rekaman dialog yang diperdengarkan di mahkamah konstitusi, tidak hanya itu saja tetapi Susno juga terlibat dalam rekaman pembicaran dengan Budi Sampoerna dalam kasus Bank Century namun senyuman Susno mampu mematahkan rasionalitas atau nalar berpikir para pemikir yang bertugas dalam komisi hukum orang-orang yang sering ngotot di media seperti Ruhut Sitompul sebagai pengacara kondang yang sekarang menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat sehari sebelumnya meminta agar rekaman tersebut segera di buka di komisi III dengan berkata ”jelas-jelas disebutkan dalam rekaman soal Rp. 10 miliar terkait Bank Century. Memangnya siapa Susno itu, dia kebal hukum sekali” (Media Indonesia 05 November 2009).
Realitas politik ini sepertinya memberikan pembenaran bagi jurus sulap yang di diperagakan oleh Susno yang mampu mematahkan rasio berpikir dari para wakil rakyat, Susno seharusnya memberikan penjelasan secara profesional dan berdasarkan kajian ilmiah berdasarkan latar belakang profesi yang di emban namun itu tidak dilakukan olehnya ia lebih memilih memakai konsep magic fundamentalis-agamais yang diyakini sebagai jurus ampuh untuk menggugurkan nalar para wakil rakyat, dengan mengawalinya dengan melakukan sumpah atas nama Allah.... alakadabra............mampu menghipnotis wakil rakyat dengan cenderung memihak ke pihak kepolisisan dari pada memihak kepada KPK yang lebih banyak mendapatkan dukungan rakyat.
Kelihatannya Susno lebih lihai berpolitik dari pada para wakil rakyat yang membidangi hukum, dimana menerapkan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang diinginkannya. Memakai kata-kata yang agamais untuk membenarkan diri atau mempengaruhi orang lain bukan lah aspek politik tetapi aspek agamais dimana para kiai atau pendeta menggunakan kata-kata tersebut dalam melakukan pembimbingan kepada umat, mempengaruhi umat untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Susno telah menghalalkan cara untuk memperdaya hukum bahkan membelokan hukum demi mempertahankan kekuasaan, apa yang telah didapatkan dari proses mafia hukum yang telah dilakukannya dan mengamankan persekongkolan elit yang bersembunyi di balik baju institusi negara, sebagai alat negara seharusnya berperan menegakan dan memberikan kepastian hukum bagi warga negara dan tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah di berikan rakyat, saat menjabat pejabat di sumpah untuk melakukan tugas dengan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan bukan ketika telah bersalah memakai nilai-nilai keagamaan untuk membenarkan diri.
*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
* Yoyarib Mau
Magic di Indonesia main popular tatkala salah satu magician Indonesia Limbad melakukan atraksi-atraksi yang menghebohkan, pada puncak perayaan HUT RCTI beberapa bulan yang telah berlalu, magic yang di tampilkan oleh para magician atau pesulap sangat bervariasi ada yang melakukan berdasarkan kecermatan, kelihaiannya mengecoh para penonton, magic atau sulap juga dilakukan dengan kekuatan insting, ada juga yang menggunakan kekuatan gaib dimana kekuatan itu melebihi kekuatan asali yang dimiliki sang magician. Deretan nama para magician Indonesia antara lain Dedy Corbuzer, Romy Rafael, Limbad dan kini betambah satu lagi magician kita Susno Duadji.
Susno Duadji di kategorikan masuk sebagai seorang pesulap pendatang baru yang menghebohkan Indonesia dengan statement atau pernyataan-pernyataannya yang mempengaruhi bahkan meracuni pemikiran dan memicu pro dan kontra hampir seluruh rakyat Indonesia di pelosok nusantara. Statement yang menggelinding seperti bola liar namun kemudian berubah menjadi senjata makan tuan yakni kata Buaya Vs Cicak, Buaya diidentikan dengan Institusi Kepolisian (Polri) sedangkan Cicak dilabelkan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan sang Pesulap yang kedua yang menambah keruh suasana tatkala rapat dengan pendapat atau rapat kerja antara Kepolisian RI dan Komisi III DPR RI pada kamis 05 November 2009 yang di mulai pukul 19:30 WIB hingga Sabtu 06 November 2009 Pukul 03:00 WIB.
Dalam kesempatan rapat kerja tesebut Susno Duadji berkesempatan berbicara dan mengawalinya dengan “bersumpah” atas nama Allah bahwa dia tidak merekayasa terjadinya penahanan terhadap dua pejabat KPK, tetapi berdasarkan pernyataan polisi bahwa; “ada sejumlah bukti terjadi proses penyelagunaan wewenang dalam keluarnya surat cekal untuk Anggoro Widjojo, Direktur PT. Masaro Radiokom dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima. Menurut Polisi, keputusan seharusnya diambil oleh semua pemimpin KPK. Bibit dan Chandra menyanggah. Pencekalan atau pencabutan pencekalan, menurut mereka tidak membutuhkan keputusan seluruh pemimpin KPK. Polisi kemudian menuduh Bibit dan Chandra menerima suap dan memeras. Tuduhan ini didasarkan atas pengakuan Ary Muladi, Pengusaha yang diminta Anggogo Widjojo adik Anggoro untuk membereskan urusan sang Kakak yang sedang disidik KPK. Kepada Polisi, Ary Muladi mengaku menyerahkan duit dari Anggoro Rp. 5.1 miliar kepada Bibit dan Chandra. Belakangan Ary Muladi mencabut pengakuannya. Ia mengakui bahwa sebenarnya tidk pernah memberikan uang sepeser pun kepada Bibit dan Chandra. Menurut pengakuan Ary, pengakuan yang dibuatnya semata-mata hasil rekayasa Anggodo” (Majalah Tempo 2- 8 November 2009).
Aksi yang dilakukan Susno Duadji cukup memukau di sela-sela rapat kerja yang berlangsung kurang lebih 7 jam tersebut, di saat rehat Susno Duadji berkesempatan mendekati hampir keseluruhan Komisi III DPR RI dan memberikan salam dan mengajak berdialog, aksi ini sepertinya sebagai jurus pemungkas yang ampuh untuk menghipnotis sejumlah wakil rakyat yang ada di Komisi III. Dalam awal rapat kerja tersebut Polri mendapatkan banyak cercaan dari sejumlah politisi, namun akhir dari rapat tersebut tidak seperti kondisi semula dimana suasana panas malah berubah 180 derajat, Polri mendapatkan hadiah dari Komisi III yang membidangi masalah Hukun dengan pujian dan tepukan tangan atas penjelasan dan sikap Polri terkait dengan kasus Bibit dan Chandra.
Perilaku Susno Duadji merupakan sebuah fenomena baru mungkinkah hukum di Indonesia telah dikendalikan oleh para magician atau para pesulap, Benarkah Nalar Wakil Rakyat yang ada di Komisi III ditundukan oleh aksi Susno Duadji? Pertanyaan tersebut mendasari pembahasan penulisan ini dimana kebenaran yang seyogianya dipahami dengan rasionalitas berpikir yang matang tetapi runtuh oleh aksi panggung seorang pesulap pendatang baru yang berbakat.
Permasalahan yang menyeret berbagai institutusi negara ini merupakan berbagai permasalahan yang mencoreng keabsahan dan berbagai sendi kehidupan bernegara baik itu di bidang politik, hukum, ekonomi bahkan menghadirksn krisis kepercayaan rakyat terhadap negara (alat negara). Benturan antara Buaya Vs Cicak adalah konflik antar alat negara dan lebih pada dimensi politik, “Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik, dipertegas oleh Harold Laswell yang merumuskan politik sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Ramlan Surbakti - Memahami Ilmu Politik – Grasindo – 1992).
Konflik ini menyeret berbgai institusi ditambah aksi Susno Duadji menyeret Komisi III DPR RI terlibat dalam konflik ini, Aksi Susno mampu menghidupkan luka lama dimana institusi para wakil rakyat pernah di jebloskan oleh KPK karena kasus korupsi suap dan pemerasan termasuk masih memiliki keterkaitan dengan PT. Masaro Radikom yang menyeret sejumlah nama seperti Al Amin Nasution dari Fraksi PPP.
Luka lama yang belum hilang ingatan bagi Institusi DPR RI, membuat Komisi III berani melawan arus besar kekuatan rakyat, yang di buktikan dengan dukungan kuat masyarakat melalui dukungan akademisi yang dimotori oleh Forum Rektor Indonesia, Komunitas Cicak, Para Facebookers yang tergabung dalam Gerakan 1.000.000 Facebokeers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto, oposisi jalanan yang terbentuk dari para aktivis, mahasiswa dan seniman yang menggelar berbagai aksi di Ibukota Negara dan sejumlah kota di Indonesia menunjukan bahwa rasionalitas berpikir rakyat lebih matang dari pada para politisi kita. Mereka memiliki pemikiran yang sehat dimana memiliki keinginan agar Indonesia sehat dari Korupsi.
Arus dukungan buak KPK sebenarnya menunjukan kedaulatan ada di tangan rakyat kemana rakyat yang cerdas akan berpihak pada kebenaran, berangkat dari pemikiran ”Vox Populi Vox Dei” yang memiliki pengertian suara rakyat adalah suara Tuhan, karena berangkat dari hati nurani yang tulus dalam melihat persoalan tanpa di pengaruhi oleh pemahaman siapa dan mendapat apa? atau keinginan mempertahankan kekuasaan namun hanya dengan satu tujuan demi kebenaran. Wakil rakyat yakni Anggota DPR RI yang mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu legislatif, idealnya di harapkan untuk mewakili rakyat di parlement dalam melakukan fungsi kontrol dan pengawasan (cheks and balances) terhadap pemerintah ternyata gagal. Kegagalan wakil rakyat ini kemungkinan dipengaruhi oleh kepiawaian seorang Susno Duadji dengan aksi panggungnya yang mampu membutakan wibawa dan nalar berpikir wakil rakyat kita menjadi seperti ”Kerbau yang ditusuk Hidungnya”.
DPR RI dalam hal ini Komisi III sebenarnya memiliki kepekaan sosial serta rasional dalam berpkiri sebagai bahan pertimbangan berdasarkan berbagai fakta keterlibatan kepolisian dalam hal ini Komjen Susno Duadji yang terlibat dalam rekaman dialog yang diperdengarkan di mahkamah konstitusi, tidak hanya itu saja tetapi Susno juga terlibat dalam rekaman pembicaran dengan Budi Sampoerna dalam kasus Bank Century namun senyuman Susno mampu mematahkan rasionalitas atau nalar berpikir para pemikir yang bertugas dalam komisi hukum orang-orang yang sering ngotot di media seperti Ruhut Sitompul sebagai pengacara kondang yang sekarang menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat sehari sebelumnya meminta agar rekaman tersebut segera di buka di komisi III dengan berkata ”jelas-jelas disebutkan dalam rekaman soal Rp. 10 miliar terkait Bank Century. Memangnya siapa Susno itu, dia kebal hukum sekali” (Media Indonesia 05 November 2009).
Realitas politik ini sepertinya memberikan pembenaran bagi jurus sulap yang di diperagakan oleh Susno yang mampu mematahkan rasio berpikir dari para wakil rakyat, Susno seharusnya memberikan penjelasan secara profesional dan berdasarkan kajian ilmiah berdasarkan latar belakang profesi yang di emban namun itu tidak dilakukan olehnya ia lebih memilih memakai konsep magic fundamentalis-agamais yang diyakini sebagai jurus ampuh untuk menggugurkan nalar para wakil rakyat, dengan mengawalinya dengan melakukan sumpah atas nama Allah.... alakadabra............mampu menghipnotis wakil rakyat dengan cenderung memihak ke pihak kepolisisan dari pada memihak kepada KPK yang lebih banyak mendapatkan dukungan rakyat.
Kelihatannya Susno lebih lihai berpolitik dari pada para wakil rakyat yang membidangi hukum, dimana menerapkan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang diinginkannya. Memakai kata-kata yang agamais untuk membenarkan diri atau mempengaruhi orang lain bukan lah aspek politik tetapi aspek agamais dimana para kiai atau pendeta menggunakan kata-kata tersebut dalam melakukan pembimbingan kepada umat, mempengaruhi umat untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Susno telah menghalalkan cara untuk memperdaya hukum bahkan membelokan hukum demi mempertahankan kekuasaan, apa yang telah didapatkan dari proses mafia hukum yang telah dilakukannya dan mengamankan persekongkolan elit yang bersembunyi di balik baju institusi negara, sebagai alat negara seharusnya berperan menegakan dan memberikan kepastian hukum bagi warga negara dan tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah di berikan rakyat, saat menjabat pejabat di sumpah untuk melakukan tugas dengan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan bukan ketika telah bersalah memakai nilai-nilai keagamaan untuk membenarkan diri.
*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
Jumat, 30 Oktober 2009
"Kabinet Politik Imbalan Jasa"
“KABINET POLITIK IMBALAN JASA”
*Yoyarib Mau
Kekuasaan SBY mutlak dalam sistim pemerintahan presidensial pada kabinet yang di sebut SBY dengan sebutan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II), namun saat ini penulis lebih cenderung untuk memakai sebutan dalam tulisan ini dengan sebutan Kabinet Politik Imbalan Jasa, walaupun banyak sebutan lagi buat kabinet ini yakni kabinet politik balas budi, kabinet tukar-guling, dan juga kabinet barter, sebutan ini pasti ada sebab dan alasan yakni tiga kekuasaan dalam trias politika yakni eksekutif, legislatif, yudikatif ketiganya memiliki kekuasaan dan peran masing-masing namun kenyataan dalam kepemimpinan SBY saat ini hampir ketiganya di kuasai dan dikendalikan oleh SBY.
Sebutan Kabinet Politik SBY tidak menyertakan Boediono dalam sebutan ini karena tokoh sentral dalam kabinet ini hanyalah SBY, sedangkan Boediono tidak disebutkan. Hal ini tentu beralasan karena sejak penjaringan Calon Wakil President untuk mendampingi SBY, ada penekanan bahwa wapres adalah pembantu president, bukan memiliki kesejajaran yang sama. Wapres hanyalah membantu President dalam menyukseskan segala kebjakannya, dan tidak dapat memutuskan apalagi membuat kebijakan, bukan pada posisi penyeimbang seperti mengoreksi kebijakan. Posisi wapres dalam menjalankan tugas sepertinya hanyalah sebagai pemeran pengganti jika SBY berhalangan menghadiri atau melakukan aktifitasnya maka Boediono dapat menggantikannya. Guna menyelamatkan kekuasaan mungkinkah seorang SBY melakukan upaya politik dengan melakukan pembatasan secara massif dan sistematis terhadap peran legislatif, yudikatif dan eksekutif (eksekutif dalam hal ini lembaga pemerintahan, birokrasi dan BUMN serta sejumlah lembaga bentukan lainnya)?.
Pertanyaan diatas seyogianya telah dijawab oleh SBY dalam kebijakannya sejak kemenangannya namun pertanyaan ini penulis hadirkan kmbali guna memberikan arahan dalam memahami tulisan ini. tiga lembaga negara tersebut sebagai salah satu variabel penentu adanya demokrasi, bahwa demokrasi dapat terkelola dengan baik jika adanya peran yang optimal dari institusi elemen-elemen demokrasi. Samuel Huntington mengemukakan bahwa, sebuah negara demokrasi yang pelembagaan politiknya kacau dan lemah, maka akan berdampak buruk pada stabilitas (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Pendapat ini kembali ditegaskan oleh J. Mill bahwa, Semua sistem perlu dijalankan dengan ukuran yang besar oleh aturan-aturan yang pasti – oleh karena itu keberadaaan alat-alat pemerintah yang mandiri tersebut sangat dibutuhkan, untuk membentuk kemampuan tersebut dan melengkapinya dengan kesempatan serta pengalaman yang dibutuhkan bagi penilaian yang tepat bagi masalah-masalah praktis yang besar. (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Polititisasi jabatan dan peran ketiga kekuasaan pun hampir dikooptasi oleh SBY sebagaimana Legislatif saat ini diikat dalam dokument kontrak koalisi pendukung SBY – Boediono dari beberapa partai Politik sejak SBY dan Boediono mencalonkan diri untuk mengikuti pemilu President pada pemilu 2009 yang lalu, partai politik itu terdiri dari Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN dan pasca Munas Golkar yang dimenangkan oleh Aburizal Bakrie, Partai Golkar pun memilih untuk berkomitment dalam gerbong mendukung SBY – Boediono. Seluruh kursi DPR yang berjumlah 560 Kursi legislative sebagai wakil rakyat sudah seharusnya sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan untuk melakukan chek and balance, namun jumlah kursi koalisi sudah mayoritas yang berjumlah 423 Kursi sudah berpihak pada kekuasaan yakni mendukung seluruh kebijakan pemerintahan SBY – Boediono, sedangkan hanya sisa 137 Kursi dari PDIP 94 Kursi, Gerindra 26, dan Hanura 17 Kursi, dari jumlah kursi antara partai pendukung dan partai oposisi sebenarnya tidak imbang dan dalam sistem demokrasi hal ini tidak sehat.
Jumlah tersebut hampir mutlak dimana PDIP pun di dekati untuk bergabung dalam koalisi SBY yang nanti nya akan mendapat jatah dalam cabinet sebagai menteri, namun proses pendekatan ini tidak mempan hanya mampu saja mempengaruhi Taufik Kiemas dan cs –nya dan menempatkan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR , namun bagi Megawati beroposisi dengan memihak kepada rakyat adalah hal yang mutlak sehingga PDIP tetap sebagai oposisi.
Proses perekrutan kabinet yang di lakukan pun tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan jabatan yang di emban para menteri yang dipilih, sebagian besar di tempatkan tidak pada tempatnya dimana tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau kemampuan yang dimiliki seperti Hatta Rajasa yang berlatar belakang pendidikan tekhnik di tempatkan untuk mengurus perekonomian mungkin karena kabar yang santer berkembang bahwa Hatta Rajasa memiliki hubungan baik dengan SBY karena akan menjadi calon besan, sehingga posisi kementrian hanyalah bagi-bagi kedudukan untuk kepentingan kekeluargaan
Seandainya Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar, SH yang berlatar belakang pendidikanm hanya S1 Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, apakah cukup matang dan memiliki kompetensi untuk menetapkan dan menyusun sebuah kebijakan hukum? Bagaimana hukum di Indonesia akan berkwalitas jika mereka yang ditempatkan pada posisi tersebut tidak berkompeten? Penempatan ini kelihatannya hanyalah pertimbangan politik semata seharusnya tanpa memperthatikan kemampuan dan kompetensi keilmuan yang di miliki. Pemilihan diri Patrialis Akbar mungkin karena alasan imbalan jasa atas kesediaan dirinya mewakili PAN untuk menandatangani surat keputusan KPU tentang partai-partai pengusung SBY-Boediono pada pemilu president yang lalu, yang saat itu Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir berhalangan hadir karena sedang berobat ke luar negeri.
Padahal Hukum adalah panglima tertinggi dalam penegakan demokrasi jika posisi ini di jabat oleh seorang politisi maka akan ada tendensi keberpihakan demi kepentingan partai politik, keputusan hukum nantinya hanya akan berpihak bagi mereka yang memiliki kedekatan, hubungan emosional dan kepentingan partainya tidak berkeadilan bagi semua rakyat.
Dasar pembagian kekuasaan dan jabatan dalam membangun negara ini tidak bisa dilakukan hanya dengan pertimbangan imbalan jasa sebab, berbicara Hukum berarti bagaimana seorang pejabat menangani masalah pada satuan kerja dalam bidang hukum sehingga menurut Prof. Arief Rachman seorang begawan pendidikan ”otak dan watak” sebagai kriteria pejabat atau eksekutif (Kompas, 31 Oktober 2009), pengetahuan profesional memang berkontribusi pada keberhasilan seseorang pengetahuan profesional dapat diperoleh dari pendidikan formal yang cukup dan berkompeten, dan tidak hanya itu saja tetapi pertimbangan track record juga harus menjadi bahan pertimbangan seperti; kemampuan mekanisme kerja, komunikasi, kerja tim, dan etos kerja yang baik.
Kematangan Otak atau IQ seharusnya menjadi salah satu pilar pertimbangan untuk dipilih sebagai pejabat, selain memiliki karakter mungkin saja memiliki karakter yang tepat yakni memiliki keberanian mengambil keputusan tetapi kolaborasi dari berbagai aspek sebagai modal yang sangat tepat untuk menentukan seorang pejabat.
Penekanan penulis lebih pada masalah hukum sebab hukum jika ditegakan dengan benar dan berkeadilan maka akan menciptakan aura demokrasi yang mendatangkan kesejahteraan yang menyeluruh bagi rakyat. Karena masalah hukum yang tidak beres dalam negara ini salah satunya masalah korupsi, karena kegagalan Yudikatif menegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi sehingga terbentuk lah KPK yang dilengkapi dengan alat hukum atauUU KPK yang jelas, tetapi alat hukum yang dipakai oleh KPK di langgar oleh KPK sehingga menimbulkan ketidakstabilan dalam negara, tercipta ketidakharmonisan dalam penegakan hukum menyebabkan kekacauan dalam elemen-elemen negara.
Bahkan dengan masing-masing kewenangan dalam menafsirkan pasal-pasal hukum yang ada membuat mereka saling menjatuhkan sehingga peran pejabat hukum sangat dibutuhkan yang berkompeten sehingga tidak tumpang tindih dan memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugasnya sehingga tecipta aturan hukum yang jelas, penegakan hukum yang tidak memihak serta memiliki kesamaan dan kesetaraan dalam hukum.
Seandainya benar SBY memiliki komitment seperti yang diungkapkan dalam prosesi inaugurasinya dengan menyebutkan akan mengusung tiga hal dalam pemerintahannya saat ini yakni kesejahteraan, demokrasi dan keadilan. Dengan demikian jika mereka yang terlibat atau memiliki keterkaitan dengan masalah hukum maka demi keadilan mereka tidak dilibatkan dulu dalam pemerintahan atau penundaan pelantikan hingga ada kepastian hukum. Seperti kasus Bank Century dimana jelas-jelas ada keterkaitan dan garis koordinasi dalam permasalahan keuangan maka mereka yang ada di Kabinet Indonesia Bersatu II turut terlibat dimana ada dugaan yakni Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Gubernur Bank Indonesia.
Jika SBY memiliki komitment untuk menegakan demokrasi maka penentuan pejabat tidak berdasarkan asas imbalan jasa tetapi lebih pada kemandirian, kemampuan dan kompetensi, dengan demikian maka penegakan serta peran serta elemen-elemen pemerintahan yang optimal, akan tetapi elemen elemen ini kacau dan tak berperan dengan optimal maka tercipta kekacauan dalam negara bahkan antar lembaga negara sendiri.
*. Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI / 0806383314.
*Yoyarib Mau
Kekuasaan SBY mutlak dalam sistim pemerintahan presidensial pada kabinet yang di sebut SBY dengan sebutan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II), namun saat ini penulis lebih cenderung untuk memakai sebutan dalam tulisan ini dengan sebutan Kabinet Politik Imbalan Jasa, walaupun banyak sebutan lagi buat kabinet ini yakni kabinet politik balas budi, kabinet tukar-guling, dan juga kabinet barter, sebutan ini pasti ada sebab dan alasan yakni tiga kekuasaan dalam trias politika yakni eksekutif, legislatif, yudikatif ketiganya memiliki kekuasaan dan peran masing-masing namun kenyataan dalam kepemimpinan SBY saat ini hampir ketiganya di kuasai dan dikendalikan oleh SBY.
Sebutan Kabinet Politik SBY tidak menyertakan Boediono dalam sebutan ini karena tokoh sentral dalam kabinet ini hanyalah SBY, sedangkan Boediono tidak disebutkan. Hal ini tentu beralasan karena sejak penjaringan Calon Wakil President untuk mendampingi SBY, ada penekanan bahwa wapres adalah pembantu president, bukan memiliki kesejajaran yang sama. Wapres hanyalah membantu President dalam menyukseskan segala kebjakannya, dan tidak dapat memutuskan apalagi membuat kebijakan, bukan pada posisi penyeimbang seperti mengoreksi kebijakan. Posisi wapres dalam menjalankan tugas sepertinya hanyalah sebagai pemeran pengganti jika SBY berhalangan menghadiri atau melakukan aktifitasnya maka Boediono dapat menggantikannya. Guna menyelamatkan kekuasaan mungkinkah seorang SBY melakukan upaya politik dengan melakukan pembatasan secara massif dan sistematis terhadap peran legislatif, yudikatif dan eksekutif (eksekutif dalam hal ini lembaga pemerintahan, birokrasi dan BUMN serta sejumlah lembaga bentukan lainnya)?.
Pertanyaan diatas seyogianya telah dijawab oleh SBY dalam kebijakannya sejak kemenangannya namun pertanyaan ini penulis hadirkan kmbali guna memberikan arahan dalam memahami tulisan ini. tiga lembaga negara tersebut sebagai salah satu variabel penentu adanya demokrasi, bahwa demokrasi dapat terkelola dengan baik jika adanya peran yang optimal dari institusi elemen-elemen demokrasi. Samuel Huntington mengemukakan bahwa, sebuah negara demokrasi yang pelembagaan politiknya kacau dan lemah, maka akan berdampak buruk pada stabilitas (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Pendapat ini kembali ditegaskan oleh J. Mill bahwa, Semua sistem perlu dijalankan dengan ukuran yang besar oleh aturan-aturan yang pasti – oleh karena itu keberadaaan alat-alat pemerintah yang mandiri tersebut sangat dibutuhkan, untuk membentuk kemampuan tersebut dan melengkapinya dengan kesempatan serta pengalaman yang dibutuhkan bagi penilaian yang tepat bagi masalah-masalah praktis yang besar. (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Polititisasi jabatan dan peran ketiga kekuasaan pun hampir dikooptasi oleh SBY sebagaimana Legislatif saat ini diikat dalam dokument kontrak koalisi pendukung SBY – Boediono dari beberapa partai Politik sejak SBY dan Boediono mencalonkan diri untuk mengikuti pemilu President pada pemilu 2009 yang lalu, partai politik itu terdiri dari Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN dan pasca Munas Golkar yang dimenangkan oleh Aburizal Bakrie, Partai Golkar pun memilih untuk berkomitment dalam gerbong mendukung SBY – Boediono. Seluruh kursi DPR yang berjumlah 560 Kursi legislative sebagai wakil rakyat sudah seharusnya sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan untuk melakukan chek and balance, namun jumlah kursi koalisi sudah mayoritas yang berjumlah 423 Kursi sudah berpihak pada kekuasaan yakni mendukung seluruh kebijakan pemerintahan SBY – Boediono, sedangkan hanya sisa 137 Kursi dari PDIP 94 Kursi, Gerindra 26, dan Hanura 17 Kursi, dari jumlah kursi antara partai pendukung dan partai oposisi sebenarnya tidak imbang dan dalam sistem demokrasi hal ini tidak sehat.
Jumlah tersebut hampir mutlak dimana PDIP pun di dekati untuk bergabung dalam koalisi SBY yang nanti nya akan mendapat jatah dalam cabinet sebagai menteri, namun proses pendekatan ini tidak mempan hanya mampu saja mempengaruhi Taufik Kiemas dan cs –nya dan menempatkan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR , namun bagi Megawati beroposisi dengan memihak kepada rakyat adalah hal yang mutlak sehingga PDIP tetap sebagai oposisi.
Proses perekrutan kabinet yang di lakukan pun tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan jabatan yang di emban para menteri yang dipilih, sebagian besar di tempatkan tidak pada tempatnya dimana tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau kemampuan yang dimiliki seperti Hatta Rajasa yang berlatar belakang pendidikan tekhnik di tempatkan untuk mengurus perekonomian mungkin karena kabar yang santer berkembang bahwa Hatta Rajasa memiliki hubungan baik dengan SBY karena akan menjadi calon besan, sehingga posisi kementrian hanyalah bagi-bagi kedudukan untuk kepentingan kekeluargaan
Seandainya Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar, SH yang berlatar belakang pendidikanm hanya S1 Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, apakah cukup matang dan memiliki kompetensi untuk menetapkan dan menyusun sebuah kebijakan hukum? Bagaimana hukum di Indonesia akan berkwalitas jika mereka yang ditempatkan pada posisi tersebut tidak berkompeten? Penempatan ini kelihatannya hanyalah pertimbangan politik semata seharusnya tanpa memperthatikan kemampuan dan kompetensi keilmuan yang di miliki. Pemilihan diri Patrialis Akbar mungkin karena alasan imbalan jasa atas kesediaan dirinya mewakili PAN untuk menandatangani surat keputusan KPU tentang partai-partai pengusung SBY-Boediono pada pemilu president yang lalu, yang saat itu Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir berhalangan hadir karena sedang berobat ke luar negeri.
Padahal Hukum adalah panglima tertinggi dalam penegakan demokrasi jika posisi ini di jabat oleh seorang politisi maka akan ada tendensi keberpihakan demi kepentingan partai politik, keputusan hukum nantinya hanya akan berpihak bagi mereka yang memiliki kedekatan, hubungan emosional dan kepentingan partainya tidak berkeadilan bagi semua rakyat.
Dasar pembagian kekuasaan dan jabatan dalam membangun negara ini tidak bisa dilakukan hanya dengan pertimbangan imbalan jasa sebab, berbicara Hukum berarti bagaimana seorang pejabat menangani masalah pada satuan kerja dalam bidang hukum sehingga menurut Prof. Arief Rachman seorang begawan pendidikan ”otak dan watak” sebagai kriteria pejabat atau eksekutif (Kompas, 31 Oktober 2009), pengetahuan profesional memang berkontribusi pada keberhasilan seseorang pengetahuan profesional dapat diperoleh dari pendidikan formal yang cukup dan berkompeten, dan tidak hanya itu saja tetapi pertimbangan track record juga harus menjadi bahan pertimbangan seperti; kemampuan mekanisme kerja, komunikasi, kerja tim, dan etos kerja yang baik.
Kematangan Otak atau IQ seharusnya menjadi salah satu pilar pertimbangan untuk dipilih sebagai pejabat, selain memiliki karakter mungkin saja memiliki karakter yang tepat yakni memiliki keberanian mengambil keputusan tetapi kolaborasi dari berbagai aspek sebagai modal yang sangat tepat untuk menentukan seorang pejabat.
Penekanan penulis lebih pada masalah hukum sebab hukum jika ditegakan dengan benar dan berkeadilan maka akan menciptakan aura demokrasi yang mendatangkan kesejahteraan yang menyeluruh bagi rakyat. Karena masalah hukum yang tidak beres dalam negara ini salah satunya masalah korupsi, karena kegagalan Yudikatif menegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi sehingga terbentuk lah KPK yang dilengkapi dengan alat hukum atauUU KPK yang jelas, tetapi alat hukum yang dipakai oleh KPK di langgar oleh KPK sehingga menimbulkan ketidakstabilan dalam negara, tercipta ketidakharmonisan dalam penegakan hukum menyebabkan kekacauan dalam elemen-elemen negara.
Bahkan dengan masing-masing kewenangan dalam menafsirkan pasal-pasal hukum yang ada membuat mereka saling menjatuhkan sehingga peran pejabat hukum sangat dibutuhkan yang berkompeten sehingga tidak tumpang tindih dan memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugasnya sehingga tecipta aturan hukum yang jelas, penegakan hukum yang tidak memihak serta memiliki kesamaan dan kesetaraan dalam hukum.
Seandainya benar SBY memiliki komitment seperti yang diungkapkan dalam prosesi inaugurasinya dengan menyebutkan akan mengusung tiga hal dalam pemerintahannya saat ini yakni kesejahteraan, demokrasi dan keadilan. Dengan demikian jika mereka yang terlibat atau memiliki keterkaitan dengan masalah hukum maka demi keadilan mereka tidak dilibatkan dulu dalam pemerintahan atau penundaan pelantikan hingga ada kepastian hukum. Seperti kasus Bank Century dimana jelas-jelas ada keterkaitan dan garis koordinasi dalam permasalahan keuangan maka mereka yang ada di Kabinet Indonesia Bersatu II turut terlibat dimana ada dugaan yakni Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Gubernur Bank Indonesia.
Jika SBY memiliki komitment untuk menegakan demokrasi maka penentuan pejabat tidak berdasarkan asas imbalan jasa tetapi lebih pada kemandirian, kemampuan dan kompetensi, dengan demikian maka penegakan serta peran serta elemen-elemen pemerintahan yang optimal, akan tetapi elemen elemen ini kacau dan tak berperan dengan optimal maka tercipta kekacauan dalam negara bahkan antar lembaga negara sendiri.
*. Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI / 0806383314.
Sabtu, 17 Oktober 2009
"Revivalisasi Vs Oikoumene"
“REVIVALISASI Vs OIKOUMENE”
*Yoyarib Mau
Kehidupan kaum muda pada era kontemporer, menjadi pergumulan manusia di seantero dunia, pergulatan ini ibaratnya seperti mata uang dengan dua sisi, salah satu sisi kehidupan tersebut yakni retorika akan perjalanan sejarah hadirnya Gereja dan para pendiri dengan seluruh simbol, ritual dan serta doktrin yang influensanya hingga ke Indonesia.
Menjadi kebanggaan bagi warga gereja atau manusia pada umumnya. Seandainya mereka dapat mengalami atau menikmati kembali pergumulan sejarah gereja yang telah berlalu dalam kehidupannya. Hal tersebut yang dinamakan revivalisasi namun apabila tak memungkinkan untuk menjalani, menikmati bahkan sekalipun melalui upaya untuk mewujudkan hal sama maka warga gereja bahkan kehidupan manusia yang kebetulan memilih atau terlahir dalam kondisi yang tidak memberikan ruang untuk memilih berbeda keyakinan, atau dengan sadar memilih untuk berkeyakinan lain maka lompatan yang dilakukan adalah melakukan pengulangan melalui media lain yakni sandiwara, drama atau film dan media visual lainya.
Proses mengenang kembali suatu budaya atau sejarah yang telah berlalu tidak terbatas hanya untuk mengenang kembali yang dilakukan melalui peran yang dimainkan dalam sesion tertentu saja. Manusia mengadopsinya menjadi jati dirinya melalui doktrin yang dipercayai atau diyakini sebagai sebuah kebenaran, Perilaku ini tak sebatas itu saja namun ada langkah manusia yang konkrit guna melakukan revivalisasi atas sejarah yang telah berlalu melalui euforia tertentu. Aksi euforia berupa simbol dan aksesories tertentu sebagai sebagai pengenangan akan sebuah peradaban yang telah berlalu dan berkeinginan untuk menjelma kembali dalam kehidupan saat ini.
Pemuda Kristen akan melakukan revivalisasi dengan menggunakan aksesoris sebagai salah satu ekspresi diri, salah satu bentuk ekspresi tersebut yakni rantai salib dengan ukuran yang cukup besar dan dikenakan di leher dengan menempatkannya diluar baju di bagian depan dada. Indonesia saat ini sangat familiar dengan rantai salib yang dikenal dengan sebutan ”besi putih” dan aksesories ini menunjukan pada gereja mula-mula dimana para imam gereja atau para birawati sering menggenakannya kemanapun mereka berada sebagai tanda bahwa mereka adalah orang yang dikhususkan.
Makna ini bergeser dimana pemuda atau warga gereja mengenakan aksesories ini sebagai simbol, pertanda pemakainya adalah seorang penganut agama Kristen. Namun ada ciri-ciri yang lebih mengkhususkan lagi yakni ”rosario” yang kebanyakan dikenakan oleh penganut Katolik. Rantai salib yang terbuat dari besi putih ada ciri-ciri khusus yang lebih spesifik guna membedakan si pemakainya, apabila di rantai tersebut tergantung aksesories salib dan di salib tersbut tidak terdapat lukisan tertentu ini menunjukan bahwa ia seorang Protestant, apabila di salib tersebut ada lukisan atau relief Yesus yang tergantung di palang salib tersebut maka kemungkinan besar si pemakai adalah seorang Katolik.
Proses pembedahan dan pembelahan diri kelompok, penganut kepercayaan akan membelah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan menjadikan simbol atau aksesories sebagai identitas kelompok. Dengan adanya simbol atau aksesories tersebut mereka dapat diketahui bahkan diakui sebagai bagian dari komunitas atau kelompok tertentu.
Bangunan gereja dengan bentuk, relief, simbol atau aksesories yang tampak dalam sebuah bangunan akan membedakan dan sebagai petunjuk akan keberadaan gereja serta aliran dari gereja tersebut. Apabila di bubungan Gereja ada aksesories Seekor Ayam Jantan maka ada kemungkinan pemakai Bangunan tersebut adalah kelompok penganut Protestant Presbiterian (Calvinis – Luteran), namun jika ada gambar Salib dan burung merpati dan daun Zaitun maka ada kemungkinan pemakai Gedung tersebut adalah mereka adalah kelompok Kristen Pantekosta atau aliran Injili (Armenian).
Ada simbol-simbol yang banyak dengan berbagai vairannya dan di jadikan sebagai cirri dari aliran kepercayaan tertentu dalam Gereja, bahkan simbul tersebut tanpa sadar telah di maknai bahkan di domain sebagai milik atau penunjuk bagi komunitas tertentu. Bahkan di kemudian hari simbol, relief dan ciri-ciri yang berkembang sebagai bentuk dan identitas kelompok di jadikan sebagai sebuah kepemilikan yang tidak boleh di tiru atau di kenakan oleh kelompok lain jika mereka bukan menjadi bagian dari kelompok yang memiliki rumah tersebut.
Tidak terbatas pada identitas yang dikenakan tetapi pembenaran bahkan pengkultusan terhadap pribadi, simbol, aksesories terkadang menjadi sumber pembenaran yang dimiliki oleh kelompok tertentu, seketika ada orang lain yang salah menggunakan, memberikan aksen atau memperlakukan simbol atau aksesories tersebut tidak seturut dengan makna dan simbol asalinya maka dapat menyulut kesalahpahaman dan konflik horisontal.
Penggunaan simbol sebagai identitas kelompok pada awalnya sebagai proses pengenangan kembali akan sebuah peradaban yang telah berlalu, akan tetapi dalam perkembangannya simbol, relief, aksesories telah mengalami pergeseran makna atau bias makna sebagai jati diri dan bahkan disakralkan sebagai ruh dari kelompok tersebut.
Hadir sebuah pertanyaan mendasar yang patut di diskusikan bersama yakni, adanya simbol atau aksesories dalam kelompok – kelompok gerejawi perlu dikaji bersama penggunaannya, apakah menguntungkan atau menghadirkan bencana bagi kehidupan bergereja? Kemudian bagaimana kita memahami serta menggunakan simbol, aksesories serta reliefnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara.
Permasalahan diatas kini menjadi budaya dan mengakar dalam setiap komunitas gereja, namun perlu ada pemahaman yang total dan menyeluruh terhadap budaya simbol atau aksesories yang berkembang. Francis Fukuyama mengungkapkan budaya adalah konsep pilihan, dalam menimbang-nimbang pilihan budaya yang saling bersaing ini tidak dapat satu pun dianggab lebih baik dari yang lain, dengan demikian memerlukan kelompok norma tertentu yang membentuk modal sosial, dimana modal sosial tersebut sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka, kemudian Dia menambahkan bahwa modal sosial memberikan manfaat yang lebih luas, modal sosial penting sekali untuk mewujudkan masyarakat sipil yang sehat, dalama arti, kelompok dan himpunan yang terwujud diantara keluarga dan negara. (Guncangan Besar – Gramedia – 2005).
Revivalisasi lebih memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah budaya baru dalam kehidupan masyarakat dan juga kehidupan agama yang masing-masing tidak dapat disalahkan dan juga membenarkan yang lain, budaya tersebut yakni dalam bentuk simbol dan aksesories yang dikenakan dapat membentuk diri menjadi kelompok tertentu kuat, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Sebagai Identitas yang menjadi alat pembenaran bagi kelompok untuk saling mempertahankan diri serta membela kelompoknya jika simbol dan aksesories kelompoknya direndahkan atau di lecehkan sehingga menimbulkan rapuhnya kehidupan kebersamaan seperti yang diharapkan dalam konsep Oikoumene yakni membangun hubungan baik dengan semua institusi gereja, lembaga –lembaga Kristen yang menyakini keanekaragaman budaya dari simbol dan aksesoirs yang dimiliki dari masing-masing kelompok diharapkan tidak mempertajam hal tersebut sebagai perbedaan yang mendasar.
Tak disangkal konflik dan perbedaan dalam kehidupan bergereja terjadi karena perbedaan – perbedaan yang ada yang tidak mungkin di satukan terutama doktrin maupun tafsiran-tafsiran yang dimiliki, sehingga tawaran Fukuyamaa mengenai modal sosial menurut penulis dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun kerjasama, antara kelompok gerejawi yang memiliki pelbagai perbedaan budaya.
Perbedaan merupakan hasil rekonstruksi manusia sehingga tidak menutup kemungkinan bagi manusia untuk menghadirkan konsep baru seperti modal sosial, namun untuk konteks Indonesia saat ini modal sosial seperti apa yang dapat digunakan dengan tepat untuk membangun kebersamaan? Modal sosial dapat di bangun oleh berbagai kelompok dari berbagai berbgai denominasi untuk besama-sama mewujudkan kebersamaan. Gereja sudah saatnya memahami diri secara baru dimana tidak lagi hanya membanggakan diri sebagai institusi keselamatan dan mengumandangkan pengampunan dosa tetapi Gereja sudah saatnya menghadirkan diri secara baru dengan modal sosial guna meningkatkan pelayanan sosial dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sosial.
Modal sosial dapat berevolusi dalam berbagai bentuk yakni komunitas-komunitas sosial yang memfokuskan diri dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan lain-lainya. Komunitas sosial yang terbentuk diharapkan dapat menyelaraskan berbagai denominasi dengan berbagai simbol yang dimiliki karena ada obyek bersama yang dapat di namakan ”musuh bersama” untuk dibasmi.
Timbul keyakinan yang dapat membakar emosi para pemuda atau warga gereja bahwa ada musuh bersama yang dapat dijadikan alasan untuk menyatukan diri dan diharapkan mampu meminimalisir semangat revivalisasi pada kelompok, dengan adanya musuh bersama yakni permasalahan sosial kemasyarakatan para kelompok ini dapat membangun model oikoumene baru dalam komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas pencinta alam yang musuhnya adalah kerusakan alam, atau kelompok melek huruf, atau melek angka yang musuhnya adalah kebodohan, dan kelompok lainya yang memiliki spirit dan emosi yang sama untuk membangun kehidupan bersama tanpa kesenjangan. Muara dari modal sosial ini yang kemudian hari dapat dikategorikan menjadi NGO (Non Governon Oraginazation), civil society, LSM. Semuanya hadir dan diperankan oleh pemuda atau warga gereja sebagai modal social yang dapat membangun kebersamaan dan saling bekerja sama tanpa membedakan simbol aksesories, dan doktrin yang melekat pada diri, tetapi ada tujuan bersama yang mulia yang dapat menyatukan pelbagai perbedaan.
Semangat revivalisasi dapat diubah bentuknya melalui modal sosial dan tidak dengan membanggakan simbol atau aksesories lama untuk membentengi diri sebagai kekuatan tertentu tetapi dihadirkan kembali dalam bentuk modal social guna menciptakan kehidupan Oikoumenis.
*Penulis adalah Mahasiswa ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI dan Wakil Sekertaris Pada Badan Pengurus Perwakilan Gereja Masehi Injili di Timor Jakarta masa bhakti 2008 – 2012.
*Yoyarib Mau
Kehidupan kaum muda pada era kontemporer, menjadi pergumulan manusia di seantero dunia, pergulatan ini ibaratnya seperti mata uang dengan dua sisi, salah satu sisi kehidupan tersebut yakni retorika akan perjalanan sejarah hadirnya Gereja dan para pendiri dengan seluruh simbol, ritual dan serta doktrin yang influensanya hingga ke Indonesia.
Menjadi kebanggaan bagi warga gereja atau manusia pada umumnya. Seandainya mereka dapat mengalami atau menikmati kembali pergumulan sejarah gereja yang telah berlalu dalam kehidupannya. Hal tersebut yang dinamakan revivalisasi namun apabila tak memungkinkan untuk menjalani, menikmati bahkan sekalipun melalui upaya untuk mewujudkan hal sama maka warga gereja bahkan kehidupan manusia yang kebetulan memilih atau terlahir dalam kondisi yang tidak memberikan ruang untuk memilih berbeda keyakinan, atau dengan sadar memilih untuk berkeyakinan lain maka lompatan yang dilakukan adalah melakukan pengulangan melalui media lain yakni sandiwara, drama atau film dan media visual lainya.
Proses mengenang kembali suatu budaya atau sejarah yang telah berlalu tidak terbatas hanya untuk mengenang kembali yang dilakukan melalui peran yang dimainkan dalam sesion tertentu saja. Manusia mengadopsinya menjadi jati dirinya melalui doktrin yang dipercayai atau diyakini sebagai sebuah kebenaran, Perilaku ini tak sebatas itu saja namun ada langkah manusia yang konkrit guna melakukan revivalisasi atas sejarah yang telah berlalu melalui euforia tertentu. Aksi euforia berupa simbol dan aksesories tertentu sebagai sebagai pengenangan akan sebuah peradaban yang telah berlalu dan berkeinginan untuk menjelma kembali dalam kehidupan saat ini.
Pemuda Kristen akan melakukan revivalisasi dengan menggunakan aksesoris sebagai salah satu ekspresi diri, salah satu bentuk ekspresi tersebut yakni rantai salib dengan ukuran yang cukup besar dan dikenakan di leher dengan menempatkannya diluar baju di bagian depan dada. Indonesia saat ini sangat familiar dengan rantai salib yang dikenal dengan sebutan ”besi putih” dan aksesories ini menunjukan pada gereja mula-mula dimana para imam gereja atau para birawati sering menggenakannya kemanapun mereka berada sebagai tanda bahwa mereka adalah orang yang dikhususkan.
Makna ini bergeser dimana pemuda atau warga gereja mengenakan aksesories ini sebagai simbol, pertanda pemakainya adalah seorang penganut agama Kristen. Namun ada ciri-ciri yang lebih mengkhususkan lagi yakni ”rosario” yang kebanyakan dikenakan oleh penganut Katolik. Rantai salib yang terbuat dari besi putih ada ciri-ciri khusus yang lebih spesifik guna membedakan si pemakainya, apabila di rantai tersebut tergantung aksesories salib dan di salib tersbut tidak terdapat lukisan tertentu ini menunjukan bahwa ia seorang Protestant, apabila di salib tersebut ada lukisan atau relief Yesus yang tergantung di palang salib tersebut maka kemungkinan besar si pemakai adalah seorang Katolik.
Proses pembedahan dan pembelahan diri kelompok, penganut kepercayaan akan membelah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan menjadikan simbol atau aksesories sebagai identitas kelompok. Dengan adanya simbol atau aksesories tersebut mereka dapat diketahui bahkan diakui sebagai bagian dari komunitas atau kelompok tertentu.
Bangunan gereja dengan bentuk, relief, simbol atau aksesories yang tampak dalam sebuah bangunan akan membedakan dan sebagai petunjuk akan keberadaan gereja serta aliran dari gereja tersebut. Apabila di bubungan Gereja ada aksesories Seekor Ayam Jantan maka ada kemungkinan pemakai Bangunan tersebut adalah kelompok penganut Protestant Presbiterian (Calvinis – Luteran), namun jika ada gambar Salib dan burung merpati dan daun Zaitun maka ada kemungkinan pemakai Gedung tersebut adalah mereka adalah kelompok Kristen Pantekosta atau aliran Injili (Armenian).
Ada simbol-simbol yang banyak dengan berbagai vairannya dan di jadikan sebagai cirri dari aliran kepercayaan tertentu dalam Gereja, bahkan simbul tersebut tanpa sadar telah di maknai bahkan di domain sebagai milik atau penunjuk bagi komunitas tertentu. Bahkan di kemudian hari simbol, relief dan ciri-ciri yang berkembang sebagai bentuk dan identitas kelompok di jadikan sebagai sebuah kepemilikan yang tidak boleh di tiru atau di kenakan oleh kelompok lain jika mereka bukan menjadi bagian dari kelompok yang memiliki rumah tersebut.
Tidak terbatas pada identitas yang dikenakan tetapi pembenaran bahkan pengkultusan terhadap pribadi, simbol, aksesories terkadang menjadi sumber pembenaran yang dimiliki oleh kelompok tertentu, seketika ada orang lain yang salah menggunakan, memberikan aksen atau memperlakukan simbol atau aksesories tersebut tidak seturut dengan makna dan simbol asalinya maka dapat menyulut kesalahpahaman dan konflik horisontal.
Penggunaan simbol sebagai identitas kelompok pada awalnya sebagai proses pengenangan kembali akan sebuah peradaban yang telah berlalu, akan tetapi dalam perkembangannya simbol, relief, aksesories telah mengalami pergeseran makna atau bias makna sebagai jati diri dan bahkan disakralkan sebagai ruh dari kelompok tersebut.
Hadir sebuah pertanyaan mendasar yang patut di diskusikan bersama yakni, adanya simbol atau aksesories dalam kelompok – kelompok gerejawi perlu dikaji bersama penggunaannya, apakah menguntungkan atau menghadirkan bencana bagi kehidupan bergereja? Kemudian bagaimana kita memahami serta menggunakan simbol, aksesories serta reliefnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara.
Permasalahan diatas kini menjadi budaya dan mengakar dalam setiap komunitas gereja, namun perlu ada pemahaman yang total dan menyeluruh terhadap budaya simbol atau aksesories yang berkembang. Francis Fukuyama mengungkapkan budaya adalah konsep pilihan, dalam menimbang-nimbang pilihan budaya yang saling bersaing ini tidak dapat satu pun dianggab lebih baik dari yang lain, dengan demikian memerlukan kelompok norma tertentu yang membentuk modal sosial, dimana modal sosial tersebut sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka, kemudian Dia menambahkan bahwa modal sosial memberikan manfaat yang lebih luas, modal sosial penting sekali untuk mewujudkan masyarakat sipil yang sehat, dalama arti, kelompok dan himpunan yang terwujud diantara keluarga dan negara. (Guncangan Besar – Gramedia – 2005).
Revivalisasi lebih memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah budaya baru dalam kehidupan masyarakat dan juga kehidupan agama yang masing-masing tidak dapat disalahkan dan juga membenarkan yang lain, budaya tersebut yakni dalam bentuk simbol dan aksesories yang dikenakan dapat membentuk diri menjadi kelompok tertentu kuat, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Sebagai Identitas yang menjadi alat pembenaran bagi kelompok untuk saling mempertahankan diri serta membela kelompoknya jika simbol dan aksesories kelompoknya direndahkan atau di lecehkan sehingga menimbulkan rapuhnya kehidupan kebersamaan seperti yang diharapkan dalam konsep Oikoumene yakni membangun hubungan baik dengan semua institusi gereja, lembaga –lembaga Kristen yang menyakini keanekaragaman budaya dari simbol dan aksesoirs yang dimiliki dari masing-masing kelompok diharapkan tidak mempertajam hal tersebut sebagai perbedaan yang mendasar.
Tak disangkal konflik dan perbedaan dalam kehidupan bergereja terjadi karena perbedaan – perbedaan yang ada yang tidak mungkin di satukan terutama doktrin maupun tafsiran-tafsiran yang dimiliki, sehingga tawaran Fukuyamaa mengenai modal sosial menurut penulis dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun kerjasama, antara kelompok gerejawi yang memiliki pelbagai perbedaan budaya.
Perbedaan merupakan hasil rekonstruksi manusia sehingga tidak menutup kemungkinan bagi manusia untuk menghadirkan konsep baru seperti modal sosial, namun untuk konteks Indonesia saat ini modal sosial seperti apa yang dapat digunakan dengan tepat untuk membangun kebersamaan? Modal sosial dapat di bangun oleh berbagai kelompok dari berbagai berbgai denominasi untuk besama-sama mewujudkan kebersamaan. Gereja sudah saatnya memahami diri secara baru dimana tidak lagi hanya membanggakan diri sebagai institusi keselamatan dan mengumandangkan pengampunan dosa tetapi Gereja sudah saatnya menghadirkan diri secara baru dengan modal sosial guna meningkatkan pelayanan sosial dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sosial.
Modal sosial dapat berevolusi dalam berbagai bentuk yakni komunitas-komunitas sosial yang memfokuskan diri dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan lain-lainya. Komunitas sosial yang terbentuk diharapkan dapat menyelaraskan berbagai denominasi dengan berbagai simbol yang dimiliki karena ada obyek bersama yang dapat di namakan ”musuh bersama” untuk dibasmi.
Timbul keyakinan yang dapat membakar emosi para pemuda atau warga gereja bahwa ada musuh bersama yang dapat dijadikan alasan untuk menyatukan diri dan diharapkan mampu meminimalisir semangat revivalisasi pada kelompok, dengan adanya musuh bersama yakni permasalahan sosial kemasyarakatan para kelompok ini dapat membangun model oikoumene baru dalam komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas pencinta alam yang musuhnya adalah kerusakan alam, atau kelompok melek huruf, atau melek angka yang musuhnya adalah kebodohan, dan kelompok lainya yang memiliki spirit dan emosi yang sama untuk membangun kehidupan bersama tanpa kesenjangan. Muara dari modal sosial ini yang kemudian hari dapat dikategorikan menjadi NGO (Non Governon Oraginazation), civil society, LSM. Semuanya hadir dan diperankan oleh pemuda atau warga gereja sebagai modal social yang dapat membangun kebersamaan dan saling bekerja sama tanpa membedakan simbol aksesories, dan doktrin yang melekat pada diri, tetapi ada tujuan bersama yang mulia yang dapat menyatukan pelbagai perbedaan.
Semangat revivalisasi dapat diubah bentuknya melalui modal sosial dan tidak dengan membanggakan simbol atau aksesories lama untuk membentengi diri sebagai kekuatan tertentu tetapi dihadirkan kembali dalam bentuk modal social guna menciptakan kehidupan Oikoumenis.
*Penulis adalah Mahasiswa ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI dan Wakil Sekertaris Pada Badan Pengurus Perwakilan Gereja Masehi Injili di Timor Jakarta masa bhakti 2008 – 2012.
Langganan:
Postingan (Atom)