Rabu, 24 Juni 2009

"Apa bedanya Soeharto dan Amien Rais"

“Apa bedanya Soeharto dan Amien Rais”
*Yoyarib Mau

Partai Politik di Indonesia memiliki banyak varian dalam struktur partainya, secara nasional struktur tertinggi yakni Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dalam struktur ini ada bagian strukutur yang memiliki peran penentu dalam setiap kebijakan (decision maker), sedangkan ada nama dalam strukutur yang idealnya sebagai penanggung jawab organisasi namun kenyataannya hanyalah jabatan seremonial. Bagian-bagian struktur ini hampir ada dalam setiap partai politik baik itu partai nasionalis dan agamais. Struktur Partai dengan model bertingkat seperti dalam Partai Golkar ada DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dimana penanggung jawab organisasi ada pada Ketua Umum (Ketum) dan Sekertaris Jenderal (Sekjend) juga ada Dewan Penasihat DPP Golkar, di PDIP juga memiliki susunan Dewan Pimpinan Pusat dan juga Dewan Penasihat Partai, demikian juga Partai Demokrat, sedangkan PAN ada Dewan Pimpinan Pusat dan ada Majelis Penasihat Partai, sedangkan ada partai politik dengan fungsi struktur yang sama namun nama berbeda seperti Partai Kebangkitan Bangsa ada Dewan Pimpinan Pusat yang di kenal dengan sebutan Dewan Tanfidziah Pusat dan juga Dewan Penasihat Partai yang biasanya di sebut Dewan Syuro Partai.

Menarik dalam struktur partai-partai politik ini, karena berbagai jenjang struktur yang ada seperti DPP. Partai Demokrat Ketua Umum-nya Hadi Utomo, tetapi keputusan akan dikonsultasikan dengan Ketua Dewan Penasihat Partai yakni Susilo Bambang Yudoyono, demikian juga dengan Partai Kebangkitan Bangsa keputusan partai harus disepakati atau mendapatkan restu dari Abdurahman Wahid (alias = Gus Dur). Demikian juga partai baru yang memiliki struktur yang sama, Partai Gerindra walaupun dalam struktur partai Ketua Umum tetapi keputusan perlu diketahui atau di konsultasikan telebih dahulu dengan Ketua Dewan Penasihat Partai Gerindra Prabowo Subianto. Partai lainya pun memiliki pola yang hampir sama seperti PKS, PAN.

Peranan para Ketua Dewan Penasihat, Ketua Majelis Penasihat Partai, Ketua Dewan Syuro dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), Rapat Kerja Nasional (Rakernas), dan kegiatan organisasi partai lainya sejak pemilu legislative hingga menjelang pemilu president, penentu kebijakan seolah-olah dikendalikan oleh para tokoh sentral yang berperan sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai maupun sebagai Ketua Umum Partai. Peran para tokoh sentral atau para Ketua Dewan Penasihat adalah sebagai penentu akhir kebijakan, partai walaupun telah melalui mekanisme Partai Politik dalam rapat kerja atau rapat pimpinan dengan hasil akhir merekomendasikan kepada tokoh sentral untuk menentukan kebijakannya sebagai representasi partai, realitas ini yang terjadi dalam penentuan capres dan cawapres dalam pemilu president bulan Juli.

Partai Democrat yang tokoh sentralnya SBY maju sebagai Calon President, partai merekomendasikan kepadanya untuk menentukan Cawapresnya, demikian juga PDIP merekomendasikan kepada Megawati Soekarno Putri untuk menentukan Cawapresnya. Demikian juga Partai Golkar yang tidak memiliki tokoh sentral namun hasil rapat partai yang walaupun melalui pro dan kontra tetapi memutuskan Jusuf Kalla sebagai Capres dan merekomendasikan kepadanya untuk menentukan Cawapres.

Semua partai politik yang lolos masuk Parliamentary Treshold – 2,5 % suara sah secara nasional sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan koalisi dengan Partai lain untuk mengajukan Capres atau Cawapres, yang menarik adalah Partai Amanat Nasional, partai ini didirikan oleh Amien Rais mantan Ketua Umum PP. Muhamadiah dengan basis masa Muhamadiah – muslim modernis, Pendiri sekaligus manjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional pada Agustus 1998 pasca reformasi dan mendapatkan 7% suara pada pemilu 1999 dan menghentarnya menjadi Ketua MPR.

PAN hadir dengan tujuan terwujudnya masyarakat modern dan demokratis yang bebas dari pola-pola loyalitas politik yang tradisional feodal (Kevin Raymond Evans- Sejarah Pemilu dan Partai Politik – 2003) dan pada pemilu 2004 PAN kembali menorehkan diri sebagai Partai Besar yang masih eksis sebagai peserta pemilu masih menorehkan diri sebagai 5 partai besar dan pada pemilu president 2004 PAN mengusung Ketua Umum PAN Amien Rais sebagai Capres berpasangan dengan Kader Partai Golkar Siswono Yudo Husodo Sebagai Cawapres (Amien – Sis).

Pasangan yang diusung PAN ini kalah pada pemilu president putaran I, pasca kekalahannya Amien Rais memilih mundur dari dunia Politik dan kembali ke dunia Academik sebagai Guru Besar Universitas Gajah Madah, namun sebelum meninggalkan Partai yang didirikannya ini melalui Munas PAN beliau mampu mempersiapkan kader yang siap menggantikannya, Soetrisno Bachir seorang Pengusaha Batik asal Pekalongan yang sempat bersaing bersama Hatta Radjasa memenangi pemilihan Ketua Umum, peran Amien Rais diposisikan sebagai Majelis Pertimbangan Pusat PAN. Menjadi Pertanyan adalah “mengapa Amien Rais yang telah memilih mundur dari dunia Politik tetapi pada pemilu president 2009 ini kembali hadir sebagai tokoh sentral dalam mengarahkan pilihan koalisi serta penentuan kader PAN yang akan diusung sebagai cawapres?”

Kepemimpinan Soetrisno Bachir sebagai Ketua Umum PAN dengan tanggung jawab dan beban yang cukup berat untuk mempertahankan basis PAN, yang pada periode kepemimpinannya sebagian kader kecewa serta memilih untuk membentuk partai baru dengan nama Partai Matahari Baru (PMB) yang juga target basis massanya adalah warga Muhamadiah. Hal ini membuat Soetrisno Bachir (SB) harus berjuang untuk membesarkan PAN yang besar karena pengaruh figure Amien Rais, strategi SB sangat spectakuler dengan menggelontorkan dana dari kocek pribadi untuk biaya iklan, iklan SB memiliki trade marck “hidup adalah perbuatan” membuat elektabilitas public terhadap dirinya sebagai salah satu capres meningkat.

Proses organisasi yang dipimpin selama lima tahun cukup baik dan solid dalam internal kepengurusan PAN serta dukungan untuk caprespun mendapat sambutan yang baik, namun pasca pemilu legislative 2009 dimana hasil suara PAN mampu meraih perolehan suara sebesar 6.254,580 atau kurang – lebih 7,50% suara (Sinar Harapan 13 Mei 2009) hasil ini tidak memungkinkan PAN mengajukan capres, dan hanya bisa mempersiapakan diri untuk menjadi cawapres. Permasalahan yang berkembang dalam internal pengurus PAN bahwa PAN akan mengajukan SB dan Hatta sebagai calon untuk mendampingi SBY, namun dorongan untuk mengusung Hatta lebih kuat pasca pertemuan Amien Rais dengan Susilo Bambang Yudoyono (tokoh sentral PAN – tokoh sentral P. Demokrat) (Majalah Tempo Edisi 20 – 26 April 2009) sehingga memberikan peluang lebih besar kepada Hatta untuk mendampingi SBY.

Awal meruncingnya persoalan di Internal PAN diawali kehadiran Amien Rais bertatap muka dengan SBY, perilaku yang dilakukan Amien Rais menurut French & Raven sebagai bentuk “legitimate power” sebagai Majelis Pertimbangan Partai dimana “individu dalam struktur organisasi menggunakan kekuasaan terhadap bawahannya, kekuasaan ini dapat digunakan oleh A untuk mempengaruhi B, jika B percaya bahwa A memiliki hak untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya.” (Haris – Politik Organisasi – 2006) pasca pertemuan tersebut seakan memberikan sinyal positif bagi sebagian kader PAN sehingga 27 DPW PAN (Dewan Pimpinan Wilayah) sepakat untuk mengusung Hatta Radjasa (HR) sebagai calon wakil president mendampingi SBY (Suara Karya 28 April 2009), padahal penentuan arah koalisi baru akan dilakukan PAN pada Rakernas di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 2009 SB sebagai penanggung jawab organisasi telah membentuk tim kecil untuk melakukan komunikasi politik dengan partai lain untuk menyamakan paltform untuk melakukan koalisi (Suara Karya 28 April 2009) akhirnya menyebabkan dua faksi dalam PAN di Rakernas Yogyakarta hal ini membuat gusar SB sebagai penanggung jawab organisasi merasa dikhianati sehingga sebelum Rakernas usai beliau terlebih dahulu meninggalkan tempat Rakernas tanpa menghadiri penutupan dan pembacaan keputusan Rakernas bahkan stiker kampanye pun yang di tampilkan adalah wajah Amien Rais dan Hatta Radjasa mewakili PAN yang di tampilkan bersama SBY.
Sikap SB menunjukan bahwa penghianatan terhadap dirinya sebagai penanggung jawab organisasi telah terjadi, dengan tanpa mengindahkan mekanisme organisasi. Dirinya hanyalah boneka dan Rakernas hanyalah ajang seremonial untuk melegitimasi apa yang telah di sepakati oleh Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Amien Rais mencoba untuk mengobati kekecewaan SB bahwa akan diadakan Rapimnas II di Jakarta yang kemudian diubah menjadi Rapat Koordinasi PAN Pemenangan Pemilu President 2009 namun SB tetap tidak menghadiri acara tesebut yang diadakan pada Selasa 26 Mei 2009, dengan alasan berobat ke Singpaura. Untuk menghindari perpecahan dalam tubuh PAN Amien Rais sepertinya mengambil alih kekuasaan PAN dengan memberikan Pengarahan dalam acara tersebut yang secara organisatoris harus dilakukan oleh Ketua Umum Partai.

Tujuan Awal didirikannya PAN agar terwujudnya masyarakat modern dan demokratis yang bebas dari pola-pola loyalitas politik yang tradisional feodal, namun tujuan ini hanyalah kenangan belaka. Amien Rais sepertinya lupa diri dan mengkhianati sejarah dimana dirinya di kenal sebagai salah satu tokoh reformasi karena dikenal sangat getol menentang praktek-praktek loyalitas politik, yang di lakukan oleh penguasa orde baru dibawah kekuasaan Soeharto. Soeharto dalam kekuasaannya sebagai tokoh sentral yang mengendalikan Golkar di masa orde baru, apa keinginan Soeharto merupakan keputusan Golkar yang hanya di legitimacy melalui mekanisme organisasi, dengan demikian apalah bedanya Amien Rais dan Soeharto………….

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – Universitas Indonesia NPM : 0806383314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar