Rabu, 24 Juni 2009

"Tari Poco-Poco Ala Megawati"

“Tarian Poco-Poco ala Megawati”
*Yoyarib Mau
Mengamati pertarungan menuju kursi RI – 1 (satu) sangat menarik sejak Pilpres 2004 hingga menghadapi pilpres 2009 Megawati seakan tak kalah saingan dengan incumbent SBY dan JK yang akan bertarung lagi pada pilpres 2009. Pada setiap kesempatan Megawati selalu memosisikan diri sebagai kelompok oposisi, hal ini bukti ekspresi jati diri partai yang dipimpinya karena sejak pemilu 1971 PDIP yang kala itu masih tampil dengan nama PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang mengalami penyerderhanaan pada era President Soeharto karena alasan “efisiensi pemilihan”.

Pada pemilu 2004 maka PDIP kembali mempertegas diri sebagai partai opisisi yang sering mengidentikan diri sebagai partai wong cilik, yakni mereka yang termarjinalkan, dan minoritas dan selalu membakar semangat romantisme mendiang president Soekarno sebagai nasionalis dan tokoh kerakyatan yang tidak peduli pada dunia harta, pro rakyat dan anti asing menjadi ideology partainya.

Pada awal kepemimpinan SBY-JK partai yang di pimpin Megawati ini getol mengkritisi setiap kebijakan yang digelontorkan SBY-JK, peran PDIP sebagai oposisi yang tidak menguasai parlemen pada pemilu 2004 otomatis harus berperan sebagai pengontrol terhadap partai yang memegang tambuk kekuasaan, bukti peran sebagai oposisi yakni menolak kebijakan pemerintah yang melakukan import beras dan gula illegal, yang menarik adalah para politisi dari PDIP untuk mengenakan “topi petani” dalam setiap ruang rapat parlemen maupun di gantung di ruangan kerjanya sebagai bukti keseriusan PDIP dalam menolak kebijakan ini, tidak hanya itu saja tetapi saat kondisi minyak dunia yang mengalami kenaikan maka PDIP tetap menolak kenaikan minyak dan tetap menuntut agar subsidi minyak bagi rakyat tetap dipertahankan.

Fungsi politik yang dijalankan PDIP menarik simpati masyarakat bahkan sempat memosisikan diri sebagai partai yang memiliki elektabilitas yang cukup baik, bahkan program BLT (Bantuan Langsung Tunai) di anggap sebagai program pembodohan masyarakat, bahkan pemerintahan SBY-JK di anggap seperti “menari poco-poco” yang berpola dua langkah ke depan – dua langkah kebelakang, dua langkah ke samping kiri – dua langkah ke samping kanan, dan juga seperti permainan “yo yo” yang memiliki pola naik-turun Megawati sebenarnya hendak mengatakan bahwa pemerintahan ini tidak berbuat apa-apa. Bahkan dalam setiap kesempatan kampanye PDIP jelang Pemilu Legislatif 09 April 2009 yang lalu Megawati selalu mencebir program BLT.

Pasca Pemilu Legislatif PDIP keoposisian PDIP sebagai oposisi sejati dengan memotori beberapa partai politik untuk mengkritisi hasil Pemilu Legisltif karena ada kecurungan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dimana banyak rakyat tidak dapat mengikuti pemilu legislative karena pemerintah mengkhianati hak politiknya, bahkan permasalahan ini membawa sejumlah partai politik yang tergabung dalam koalisi besar yang akan bergabung dalam parlement untuk menandingi partai pemenang pemilu.

Namun dalam perjalanan menuju pilpres 2009 semuanya berubah ketika President Susilo Bambang Yudoyono mengutus Mensesneg Hatta Radjasa untuk menemui Mantan President Ibu Megawati di rumahnya di Jl. Teuku Umar, untuk melakukan komunikasi politik dan memberikan hibah rumah tersebut kepada mantan president ini, walaupun Hatta Radjasa adalah kader PAN tetapi mewakili President SBY untuk menyampaikan pesan-pesan politik diamana SBY sebagai ikon Partai Demokrat. Hal ini sebenarnya adalah sebuah kesalahan tetapi mereka mencoba membungkusnya dengan bahasa politik demi kamajuan bangsa.

Pembahasan dalam tulisan ini mengapa dengan mudahnya Megawati berputar haluan seperti jarum jam yang berputar 180 derajat? PDIP seakan lupa akan masa lalu apa yang telah diucapakan, ibarat “menjilat air ludah sendiri” karena tergiur dengan tawaran-tawaran politik dan melupakan apa yang menjadi hasil keputusan PDIP lewat mekanisme organisasi yakni hasil Kongres di Bali Maret 2007, Rakernas PDIP di Solo Jawa Tengah pada Januari 2009, dan terakhir dalam Rapimnas di Jakarta akhir yang lalu. Dimana Megawati tetap ditetapkan maju sebagai Capres. Berubahnya sikap Megawati pasca kunjungan Hatta Radjasa ke Teuku Umar membuat Megawati seperti kehilangan arah. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Megawati memiliki kesenangan berpoco-poco? dimana menyindir orang dengan tarian Poco-poco padahal dirinya sendiri sedang bermain Poco-poco.

Sikap Megawati ini mencerminkan bahwa dia sendiri tidak konsisten dalam setiap keputusannya, dengan alasan bahwa demi memikirkan “langkah strategis untuk memperkuat bangsa kedepan” padahal dalam posisi politik sebagai oposisi hal ini juga melakukan fungsi politik demi keamjuan bangsa yakni “cheks and balance” dalam pemerintahan juga dalam rangka memperkuat bangsa, namun pertimbangan lain yang mungkin di pikirkan oleh Megawati yakni lelah menjadi oposisi dan ingin berada dalam lingkaran kekuasaan sebagaimana yang di utarakan Gaetano Mosca (Ramlan Surbakti – Ilmu politik – 1992) bahwa “dalam masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol Pertama; kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua; kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan.”

Sesuai dengan pendapat diatas hal ini menunjukan bahwa Megawati kemungkinan besar tergiur dengan kekuasaan dan ingin menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan memilih berada pada posisi koalisi pemenang pemilu yang mayoritas menguasai parlement setidaknya sejumlah jabatan strategis akan di berikan kepada PDIP. Jika memang PDIP dalam hal ini Megawati sebagai Ketua Umum PDIP menerima tawaran untuk berkoalisi dengan Partai Democrat maka Hasil keputusan organisasi yang memberikan mandate dan mengaskan bahwa tetap Megawati maju sebagai Cawapres sudah final dan tambahan mandat untuk menentukan Cawapres sendiri menjadi “blunder” (cair), terkesan bahwa keputusan ini merupakan keputusan pribadi dan segelintir orang dalam lingkaran DPP PDIP dan tidak lagi melakukan mandat atau hasil keputusan PDIP.

Apabila hal ini benar dan dikemudian hari keputusan berkoalisi ini gagal karena menemui kebuntuan karena tidak menemukan titik temu, kemudian Megawati kembali menegaskan diri untuk maju sebagai Capres dan bergabung kembali dalam koalisi besar yang telah di gagas bahkan di tanda tangani di Teuku Umar (kediaman Megawati) sebagi bukti kesepakatan bersama maka sikap Megawati (PDIP) ini seperti menari poco-poco, karena Megawati ibarat wanita yang memiliki body Poco-poco (baca : tubuh seksi) yang didekati oleh para lelaki (baca : partai politik) untuk menarik hatinya dalam permainan poco-poco, maka akan sesuai dengan sepenggal lirik lagu “kau yang memulai kau yang mengakhiri”

Penulis Mahasiswa : Jurusan Ilmu Politik - Politik Indonesia, FISIP - Universitas Indonesia, Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar