“Archipelago Economical Development”
*Yoyarib Mau
*Yoyarib Mau
Masalah ekonomi menjadi pembahasan yang menarik dan semakin dipertegas mengenai mashab ekonomi yang cocok dan relevan guna diterapkan di Indonesia, sejak SBY menetapkan Boediono Mantan Gubernur Bank Indonesia menjadi calon wakil president untuk mendampingi. Karena pemahaman yang berkembang di masyarakat dan dilabelkan bagi Cawapres yang diusung oleh Partai Democrat ini sebagai antek asing oleh beberapa ekonom kawakan Indonesia Kwik Kian Gie bahwa alasan mengapa Ia melabelkan hal ini dengan alasan bahwa Boediono merupakan orang yang mendukung penjualan BCA ke tangan asing dengan harga murah karena tunduk pada tekanan IMF dan juga Boediono ikut mendorong pajak impor yang rendah atas gula dan kedelai. (Sinar Harapan 22 Mei 2009)
Mashab “neoliberalisme” berangkat dari diskursus yang berkembang di kalangan para ekonom yang berada di Washington DC untuk menyikapi krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Latin pada pertengahan 1980-an dengan tiga pilar utama; kebijakan fiscal yang disipilin dan konservatif, privatisasi BUMN dan liberalisasi pasar atau market fundamentalism (Kompas 27 Mei 2009). Dari pilar-pilar ini maka label neoliberalisme dianggap pro pasar dan tidak berpihak tehadap rakyat, jika diterapkan di Indonesia maka dapat merugikan bangsa dan negara. Menurut neoliberalisme pilar liberalisme pasar dimaksudkan agar pasar-pasar produk dan jasa maupun pasar factor produksi (modal-tenga kerja) di biarkan berjalan begitu saja tanpa perlu campur tangan pemerintah karena akan menyebabkan kegagalan pemerintah, karena menurut pertimabgan neoliberalisme apabila pemerintah ikut campur tangan dalam pasar akan menghasilkan para pemburu rente dan membangun mental korupti. maka mashab ini dapat digunakan untuk menyerang paket yang diusung oleh Partai Demokrat.
Dilain pihak ada dua paket capres – cawapres yang menitik beratkan pembangunan ekonomi dengan mashab “ekonomi kerakyatan”, JK- Win berkomitment untuk bersama-sama menjaga serta membangun NKRI, membangun ekonomi kerakyatan, dan berbagai kewenangan di pemerintah serta berjanji akan melindungi ekonomi rakyat. Paket Mega – Pro sepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan Indonesia, keberpihkan terhadap wong cilik, seperti petani, nelayan, buruh, guru, dan pedagang kecil, serta menjalankan kemandirian di bidang ekonomi (Kompas 19 Mei 2009), kedua pasangan ini kecenderungan kuat untuk lebih menitik beratkan program kerja mereka apabila tepilih di bidang ekonomi dan ada penegasan-penegasan tertentu yang menjadi komitmen mereka.
Sehingga kedua mashab ini menjadi isu yang dapat dijadikan oleh para Tim Sukses Para Capres – Cawapres untuk saling menyerang, kedua mashab ini tidak dapat disalahkan karena hadir berdasarkan permasalahan yang ada di tengah- tengah dunia dimana dengan tujuan memajukan ekonomi. Hal ini akibat kebuntuan yang disebabkan oleh krisis financial yang berkepanjangan yang tidak di ketahui kapan akan berakhir. Pada Pemilu President (Pilpres) 2009 isu ekonomi menjadi realisme utama dalam kampanye karena masalah ini menjadi pergumulan hampir di seluruh dunia terutama negara-negara berkembang. Semua negara berkembang hampir memiliki prinsip dan prioritas yang sama untuk menemukan mashab ekonomi yang tepat untuk membawa sebuak negara berada pada penikmatan politik yang baik, ada sebuah adagium bahwa “logika tanpa logistic mati” maksudnya bagaimana bisa berpikir apabila perut lapar, berpikir berhubungan dengan politik sedangkan perut berhubungan dengan ekonomi.
Negara Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dimana terbentang dari Sabang – Merauke, Mingaas – Rote, yang sebagian besar masyarakatnya membangun kehidupannya yang besifat agraris dan inilah yang menjadi kekuatan utama negara ini. Kekutan itu diperkuat dengan kemajemukan yang dimiliki seperti terdapat berbagai kelompok etnies, agama, dan ras dalam satu wilayah. Untuk menunjang nation building dan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperlukan sebuah konsep atau mashab ekonomi yang tepat untuk dapat menjawab apa yang di butuhkan oleh masyarakat Indonesia sesuai konteks.
Penulis tidak alergi dengan kedua mashab yang telah di bahas terdahulu dan mungkin mashab ekonomi kerakyatana tepat untuk di terapkan dalam Negara kita tetapi menurut penulis Implementasi dari ekonomi kerakyatan yang mereka tawarkan harus lebih menukik dan menyentuh dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, oleh karena itu lewat tulisan ini penulis menawarkan sebuah konsep yang mungkin tepat untuk menjawab kebuntuan yang di hadapi saat ini yakni; “pembangunan ekonomi kepulauan atau archipelago economical development” sepakat atau tidak sepakat itu hal kemudian, namun ada pertanyaan yang perlu kita diskusikan bersama mengapa harus pembangunan ekonomi kepulauan?
Pada awal Negara ini dengan komitment utama sebagai negara kesatuan, hal ini sudah final dan harga mati yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut C.F. Strong; Negara kesatuan ialah bentuk Negara di mana wewenang legislative tertingi dipusatkan dalam satu badan legislative nasional/Pusat”(Miriam Budiardjo – 2008) Sejak kemerdekaan hingga sebelum reformasi masa orde baru dimana kekuasaan dalam hal ini pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk mengatur seluruh kehidupan masyarakat hingga ke pelosok (sentralisasi) penguasa daerah sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat untuk melakukan program-program kerja, akibat konstelasi politik dalam perjalanan reformasi yang menelurkan demokratisasi di Indonesia menghasilkan sebuah konsep baru yakni pemerintah pusat membagi kekuasaan atau wewenang sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (otonomi daerah).
Dengan demikian supremasi tetap ada dalam tangan pusat untuk mengendalikan sebahagian urusan dalam negara ini. Namun kenyataan yang tejadi harapan dari otonomi daerah untuk memajukan seluruh daerah di kepulauan nusantara hingga hari ini dapat dikatakan belum menuai hasil yang maksimal sepertinya setengah hati menjalankan otonomi daerah, mengapa demikian pembangunan semua masih di pusatkan di wilayah Barat Indonesia terutama di Pulau Jawa, sedangkan di Pulau lain hanyalah pelengkap keindonesian untuk tetap di sebut NKRI.
Pemikiran ini pasti menuai perdebatan namun ada alasan yang mendasar yakni Ibukota Negara yang terletak di Jakarta, di sini juga di kembangkan kota Jasa, Kota perdagangan dimana Pusat Perbelanjaan yang tersebar di hampir seluruh Ibukota Negara, Kota Industri, Kota Pendidikan semua di pusatkan di Ibukota Negara, Pusat Militer dan hal – hal lain. Dengan demikian kemajuan ekonomi hanya bertumpu di Ibukota Negara dan tidak menyebar di seluruh kepulauan Indoensia. Sehingga tidak disalahkan sering terjadi konflik untuk mendapatkan sumber-sumber tetentu yang bersifat materil - jasmaniah untuk dapat hidup layak dan terhormat, hal ini sesuai dengan teori Marx dimana teori ini dikategorikan sabagai determinisme ekonomi dimana factor ekonomi adalah determinan dimana masalah kesenjangan social berupa perbedaan anatara kaya dan miskin (antara pusat dan daerah) teori ini dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pembangunan ekonomi di Indonesia jika di bandingkan Jawa dan luar Jawa.
Sehingga konsep ekonomi pembangunan kepulauan dimana pembangunan ekonomi perlu dipikirkan untuk menyebar di seluruh wilayah Indonesia bukan karena hadirnmya otonomi daerah sehingga segala pusat kegiatan yang besifat atau yang berurusan dengan pemerintahan Pusat semuanya di pusatkan di Ibu Kota Negara dan tidak perlu dibangun di daerah, contoh Jika Ibu Kota Negara berada di Jakarta, berarti Jakarta hanayalah sebagai Kota Pemerintahan, dan wilayah atau Kota lain di Indonesia di pikirkan sebagai pusat Bisnis, ada wilayah sebagai Pusat Pertanian, Pusat Peternakan, dan Pusat Pengembangan Militer, dan Pusat kegiatan lainya.
Apabila hal ini diterapkan maka diharapkan dapat memacu ekonomi di wilayah kepulauan lain di Indonesia karena tersebarnya infrastrukutur yang di bangun di seluruh wilayah di Indonesia. Sebenarnya telah ada pusat bisnis yang di bangun di Barat Indonesia yang di kenal dengan sebutan Otorita Batam karena memiliki keputusan hukum yang kuat tetapi hal ini tidak dilakukan di wilayah Timur Indonesia dengan membangun pusat bisnis yang sama, seyogiannya demi perimbangan ekonomi perlu ada Otorita Timor (Rote) atau Otorita Talaud (Miangas) sehingga ada perimbangan ekonomi. Konsep atau mashab “ekonomi pembangunan kepulauan” ini seandainya menjadi program kerja dari ketiga pasangan kandidat capres – cawapres maka dengan seyogianya rakyat Indonesia dapat mengentaskan kemiskinan sesuai dengan pembukaan UUD – 1945.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI / NPM : 0806383314
Mashab “neoliberalisme” berangkat dari diskursus yang berkembang di kalangan para ekonom yang berada di Washington DC untuk menyikapi krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Latin pada pertengahan 1980-an dengan tiga pilar utama; kebijakan fiscal yang disipilin dan konservatif, privatisasi BUMN dan liberalisasi pasar atau market fundamentalism (Kompas 27 Mei 2009). Dari pilar-pilar ini maka label neoliberalisme dianggap pro pasar dan tidak berpihak tehadap rakyat, jika diterapkan di Indonesia maka dapat merugikan bangsa dan negara. Menurut neoliberalisme pilar liberalisme pasar dimaksudkan agar pasar-pasar produk dan jasa maupun pasar factor produksi (modal-tenga kerja) di biarkan berjalan begitu saja tanpa perlu campur tangan pemerintah karena akan menyebabkan kegagalan pemerintah, karena menurut pertimabgan neoliberalisme apabila pemerintah ikut campur tangan dalam pasar akan menghasilkan para pemburu rente dan membangun mental korupti. maka mashab ini dapat digunakan untuk menyerang paket yang diusung oleh Partai Demokrat.
Dilain pihak ada dua paket capres – cawapres yang menitik beratkan pembangunan ekonomi dengan mashab “ekonomi kerakyatan”, JK- Win berkomitment untuk bersama-sama menjaga serta membangun NKRI, membangun ekonomi kerakyatan, dan berbagai kewenangan di pemerintah serta berjanji akan melindungi ekonomi rakyat. Paket Mega – Pro sepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan Indonesia, keberpihkan terhadap wong cilik, seperti petani, nelayan, buruh, guru, dan pedagang kecil, serta menjalankan kemandirian di bidang ekonomi (Kompas 19 Mei 2009), kedua pasangan ini kecenderungan kuat untuk lebih menitik beratkan program kerja mereka apabila tepilih di bidang ekonomi dan ada penegasan-penegasan tertentu yang menjadi komitmen mereka.
Sehingga kedua mashab ini menjadi isu yang dapat dijadikan oleh para Tim Sukses Para Capres – Cawapres untuk saling menyerang, kedua mashab ini tidak dapat disalahkan karena hadir berdasarkan permasalahan yang ada di tengah- tengah dunia dimana dengan tujuan memajukan ekonomi. Hal ini akibat kebuntuan yang disebabkan oleh krisis financial yang berkepanjangan yang tidak di ketahui kapan akan berakhir. Pada Pemilu President (Pilpres) 2009 isu ekonomi menjadi realisme utama dalam kampanye karena masalah ini menjadi pergumulan hampir di seluruh dunia terutama negara-negara berkembang. Semua negara berkembang hampir memiliki prinsip dan prioritas yang sama untuk menemukan mashab ekonomi yang tepat untuk membawa sebuak negara berada pada penikmatan politik yang baik, ada sebuah adagium bahwa “logika tanpa logistic mati” maksudnya bagaimana bisa berpikir apabila perut lapar, berpikir berhubungan dengan politik sedangkan perut berhubungan dengan ekonomi.
Negara Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dimana terbentang dari Sabang – Merauke, Mingaas – Rote, yang sebagian besar masyarakatnya membangun kehidupannya yang besifat agraris dan inilah yang menjadi kekuatan utama negara ini. Kekutan itu diperkuat dengan kemajemukan yang dimiliki seperti terdapat berbagai kelompok etnies, agama, dan ras dalam satu wilayah. Untuk menunjang nation building dan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperlukan sebuah konsep atau mashab ekonomi yang tepat untuk dapat menjawab apa yang di butuhkan oleh masyarakat Indonesia sesuai konteks.
Penulis tidak alergi dengan kedua mashab yang telah di bahas terdahulu dan mungkin mashab ekonomi kerakyatana tepat untuk di terapkan dalam Negara kita tetapi menurut penulis Implementasi dari ekonomi kerakyatan yang mereka tawarkan harus lebih menukik dan menyentuh dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, oleh karena itu lewat tulisan ini penulis menawarkan sebuah konsep yang mungkin tepat untuk menjawab kebuntuan yang di hadapi saat ini yakni; “pembangunan ekonomi kepulauan atau archipelago economical development” sepakat atau tidak sepakat itu hal kemudian, namun ada pertanyaan yang perlu kita diskusikan bersama mengapa harus pembangunan ekonomi kepulauan?
Pada awal Negara ini dengan komitment utama sebagai negara kesatuan, hal ini sudah final dan harga mati yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut C.F. Strong; Negara kesatuan ialah bentuk Negara di mana wewenang legislative tertingi dipusatkan dalam satu badan legislative nasional/Pusat”(Miriam Budiardjo – 2008) Sejak kemerdekaan hingga sebelum reformasi masa orde baru dimana kekuasaan dalam hal ini pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk mengatur seluruh kehidupan masyarakat hingga ke pelosok (sentralisasi) penguasa daerah sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat untuk melakukan program-program kerja, akibat konstelasi politik dalam perjalanan reformasi yang menelurkan demokratisasi di Indonesia menghasilkan sebuah konsep baru yakni pemerintah pusat membagi kekuasaan atau wewenang sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (otonomi daerah).
Dengan demikian supremasi tetap ada dalam tangan pusat untuk mengendalikan sebahagian urusan dalam negara ini. Namun kenyataan yang tejadi harapan dari otonomi daerah untuk memajukan seluruh daerah di kepulauan nusantara hingga hari ini dapat dikatakan belum menuai hasil yang maksimal sepertinya setengah hati menjalankan otonomi daerah, mengapa demikian pembangunan semua masih di pusatkan di wilayah Barat Indonesia terutama di Pulau Jawa, sedangkan di Pulau lain hanyalah pelengkap keindonesian untuk tetap di sebut NKRI.
Pemikiran ini pasti menuai perdebatan namun ada alasan yang mendasar yakni Ibukota Negara yang terletak di Jakarta, di sini juga di kembangkan kota Jasa, Kota perdagangan dimana Pusat Perbelanjaan yang tersebar di hampir seluruh Ibukota Negara, Kota Industri, Kota Pendidikan semua di pusatkan di Ibukota Negara, Pusat Militer dan hal – hal lain. Dengan demikian kemajuan ekonomi hanya bertumpu di Ibukota Negara dan tidak menyebar di seluruh kepulauan Indoensia. Sehingga tidak disalahkan sering terjadi konflik untuk mendapatkan sumber-sumber tetentu yang bersifat materil - jasmaniah untuk dapat hidup layak dan terhormat, hal ini sesuai dengan teori Marx dimana teori ini dikategorikan sabagai determinisme ekonomi dimana factor ekonomi adalah determinan dimana masalah kesenjangan social berupa perbedaan anatara kaya dan miskin (antara pusat dan daerah) teori ini dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pembangunan ekonomi di Indonesia jika di bandingkan Jawa dan luar Jawa.
Sehingga konsep ekonomi pembangunan kepulauan dimana pembangunan ekonomi perlu dipikirkan untuk menyebar di seluruh wilayah Indonesia bukan karena hadirnmya otonomi daerah sehingga segala pusat kegiatan yang besifat atau yang berurusan dengan pemerintahan Pusat semuanya di pusatkan di Ibu Kota Negara dan tidak perlu dibangun di daerah, contoh Jika Ibu Kota Negara berada di Jakarta, berarti Jakarta hanayalah sebagai Kota Pemerintahan, dan wilayah atau Kota lain di Indonesia di pikirkan sebagai pusat Bisnis, ada wilayah sebagai Pusat Pertanian, Pusat Peternakan, dan Pusat Pengembangan Militer, dan Pusat kegiatan lainya.
Apabila hal ini diterapkan maka diharapkan dapat memacu ekonomi di wilayah kepulauan lain di Indonesia karena tersebarnya infrastrukutur yang di bangun di seluruh wilayah di Indonesia. Sebenarnya telah ada pusat bisnis yang di bangun di Barat Indonesia yang di kenal dengan sebutan Otorita Batam karena memiliki keputusan hukum yang kuat tetapi hal ini tidak dilakukan di wilayah Timur Indonesia dengan membangun pusat bisnis yang sama, seyogiannya demi perimbangan ekonomi perlu ada Otorita Timor (Rote) atau Otorita Talaud (Miangas) sehingga ada perimbangan ekonomi. Konsep atau mashab “ekonomi pembangunan kepulauan” ini seandainya menjadi program kerja dari ketiga pasangan kandidat capres – cawapres maka dengan seyogianya rakyat Indonesia dapat mengentaskan kemiskinan sesuai dengan pembukaan UUD – 1945.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI / NPM : 0806383314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar