Rabu, 24 Juni 2009

Berawal dari kisruh DPT Pilkada Jawa Timur

"Kisruh DPT Pilkada Jawa Timur"
*Yoyarib Mau
Kisruh DPT (Daftar Pemilih Tetap) di Jawa Timur merupakan hal yang tidak sewajarnya terjadi, karena merugikan berbagai pihak yang berkepentingan dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur (selanjutnya akan di pakai PILKADA JATIM) yang berlangsung dua putaran. Putaran kedua menyisihkan dua pasangan kandidat yakni Soekarwo – Saefulah Yusuf (Kar–Sa) dan Kofifah Indar Parawansa – Mujiono (Ka-Ji) bahkan setelah itu masih juga dilakukan Pilkada putaran ketiga di daerah Sampang dan Bangkalan.

Pada pilkada ulang yang dilakukan di dua daerah inilah, ditemukan ada indikasi tentang dugaan penggelembungan DPT . Permasalahan ini sebenarnya telah diinformasikan hasil audit LP3ES pada Agustus 2008 terhadap daftar pemilih yang pada saat itu masih berstatus sementara (DPS) Audit dilakukan secara dua arah, yakni dengan mencocokan nama dari daftar pemilih ke masyarakat (list-to-people test) dan sebaliknya mewawancara sejumlah orang untuk dicocokan daftar pemilih (people-to-list test) .

Pilkada Jatim merupakan salah satu pilkada yang menyedot perhatian dan energi serta biaya dari pemerintah pusat selain Pilkada Maluku Utara. Untung nya Pilkada Jatim kali ini tidak menimbulkan ketegangan hingga konflik fisik. Menarik bahwa kedua kubu memilih untuk melakukan gugatan melalui proses hukum yang berlangsung cukup sengit, karena tuntutan pihak Ka-Ji mengenai dugaan manipulasi ini melanggar UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Manipulasi data kependudukan meliputi, yang meninggal dunia, yang belum genap 17 tahun, satu nama bisa memiliki lebih dari Nomor Identitas Kependudukan dan KTP dengan alamat, tempat dan tanggal lahir yang sama.

Pasca Pilkada serta keputusan KPU dengan memenangkan pasangan Kar-Sa tidak dengan sendiri permasalahan hukum nya selesai, tetapi tetap dilakukan upaya penegakan hukum oleh pihak yang berwewenang yakni kepolisian dalam hal ini yang bertanggung jawab yakni Eks Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman Surjadi Sumawiredja, ketika masih menjabat Kapolda, Herman mengendus pemalsuan DPT di Sampang dan Bangkalani. Dia menemukan lebih 27 persen dari total pemilih yang terdapat dalam DPT adalah fiktif. Temuan yang dilakukan Eks. Kapolda Jatim ini akhirnya menjadikan ketua KPUD Jatim sebagai tersangka. Namun penegakan hukum yang dilakukan oleh oleh Mantan Kapolda Jatim ini menemui bencana dimana Ia harus rela menerima kenyataan karena di copot dari Kapolda dari Mabes Polri dengan alasan hendak pensiun, dan tidak hanya dirinya yang dicopot, tetapi juga status tersangka ketua KPUD Jatim, Wahyudi Purnomo diturunkan dari tersangka menjadi saksi. Herman lalu kecewa dan memilih mundur sebagai anggota Polisi

Penegakan hukum dalam negara Indonesia masih mengalami hambatan akibat intervensi atasan, kekuasaan yang berkuasa, atau keberpihakan akibat oligarki (pemerintahan yg dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu), dan menggerus idealisme serta perilaku etis-moral untuk menegakan kebenaran, dalam era reformasi menjunjung tingggi hukum hanyalah fatamorgana belaka.

Penegakan hukum menemui kebuntuan bahkan menciptakan konflik kepentingan antara para elit dan penguasa, menjadi pertanyaan yang perlu dijawab bersama yakni, “mengapa dalam menegakan hukum sebagai salah satu agenda reformasi bangsa Indonesia, harus berujung dengan pencopotan Jabatan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman Surjadi Sumiawiredja?”



Penyelesaian hukum tentang masalah DPT Pilkada Jawa Timur yang belum selesai mengalami kebuntuan karena Eks. Kapolda Jatim keburu dicopot dari jabatannya padahal hasil temuan tentang DPT fiktif dalam Pilkada Jawa sedang dalam penanganan dengan demikian hal ini menimbulkan konflik antara Eks. Kapolda Jawa Timur yang di copot dengan Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Konflik terjadi karena adanya kemungkinan adanya intervensi kekuasaan, hal ini sesuai dengan tulisan Ramlan Surbakti mengenai konsep Asumsi-asumsi Politik bahwa
“Pada setiap masyarakat, penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya yang istimewa. Upaya itu dilakukan dengan mencari pembenaran-pembenaran dalam bentuk ideologi, mitos nasional, ajaran agama, dan formula-formula politik lainnya. Maksudnya, penguasa acapkali melakukan pembohongan atau setengah benar-setengah bohong untuk menyakinkan masyarakat”.

Dalam menetapkan teori yang tepat, perlu di lihat hubungan antara elit dan penguasa terkait yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dalam Pilkada Jawa Timur yang dimenangkan oleh Kar-Sa. Perlu dilihat latar belakang Partai Pengusung dari masing-masing pihak, dimana salah satu partai pengusung adalah Partai Demokrat dan Saefulah Yusuf sendiri adalah mantan anggota Kabinet atau Menteri Pengembangan Daerah Tertinggal yang memiliki kedekatan atau hubungan emosional dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Kapolri terpilihpun adalah nama yang diajukan oleh Presiden sedangkan dari pihak Kaji, partai pengusung nya adalah PDIP.

Dengan demikian, kelompok kami akan meneropong konflik DPT di Jawa Timur dengan menggunakan teori konflik Scott” yakni “Patron-Klien”. James C. Scott memberikan defenisi kelompok patron-klien sebagai;

“Hubungan dua orang yang terdiri dari seorang dengan status sosioekonomi yang lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber kebutuhan hidup (resources) yang dimilikinya untuk member perlindungan dan keuntungan bagi orang lain (klien) yang membalasnya dengan memberikan dukungan dan bantuan”.

Patron sendiri adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan terpandang dalam masyarakat dan pemerintahan sehingga mempunyai pengaruh terhadap sejumlah besar orang lain dalam masyarakat. Kelompok patron klien adalah kelompok yang sangat informal . Tidak ada ketentuan-ketentuan tertulis yang mendasari pembagian kekuasaan dalam kelompok. Selain itu juga tidak ada peraturan-peraturan kelompok yang mengatur hubungan antar anggota dalam kelompok. Kelompok berjalan sebagaimana adanya tergantung keinginan dan kebutuhan patron. Kelompok ini juga tidak memerlukan pengesahan secara hukum dan terbentuk dengan sendirinya sesuai kebutuhan patron klien. Oleh sebab itu, seorang patron dapat memberikan bantuan kepada sejumlah kliennya tetapi dapat juga menarik bantuan tersebut jika si klien mulai menyimpang atau membelot dari perintah si patron. Begitu juga di pihak klien, para klien membalas pemberian patron dengan memberikan dukungan dan pelayanan terhadap patron. Namun dalam konflik DPT Jawa Timur dari dua model patron klien yakni; patron-klien-gugus dan patron-klien-piramida. Patron-klien-gugus hanya ada satu patron dengan beberapa klien, sedangkan patron-klien-piramida terdiri dari seorang patron tertinggi dan di bawah patron tertinggi terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi sejumlah klien. Sehingga pembahasan ini lebih mengerucut pada patron-klien-piramida karena permasalahannya bertingkat dan sesuai dengan permasalahan atau konflik ini dalam bidang pemerintahan dan politik. Teori ini juga memegang faktor penting, yaitu hubungan kekuasaan. Kekuasaan sendiri mengandung :
1. Suatu tipe pengaruh tertentu, akan tetapi tidak identik dengan nya.
2. Diwarnai dan dimodifikasi oleh nilai, kaidah atau patokan yang dianut oleh pihak yang berinteraksi. Apabila ada nilai yang disepakati, maka kekuasaan distabilkan dalam bentuk wewenang.
3. Oleh karena reaksi ambivalen atau negatif lebih sering terjadi daripada reaksi afeksional atau positif, maka biasa nya keadaan itu mengandung konflik atau friksi.
4. pengecualian terhadap konflik ada, apabila kekuasaan terjadi karena daya tarik seseorang yang dominant, atau mempunyai kharisma.

Karena kelebihan yang dimiliki oleh patron tertinggi lah, ia memiliki kekuasaan terhadap para klien-klien nya. Menurut Schermerhorn, kekuasaan menurut kasus diatas berdasarkan hubungan asimetris yang mempunyai cirri khas proses pengaruh-mempengaruhi yang tidak setara (timpang) artinya tipe pengaruh yang tidak mempunyai efek umpan balik yang setara .


Konflik ini lebih pada konflik politik dan bukan konflik ekonomi, karena berhubungan dengan kekuasaan. Pada kasus ini, patron tertinggi adalah Presiden bagi sejumlah klien seperti Kapolri dan KPU, sedangkan Patron Kecil Kapolri memiliki Patron kecil dengan Kapolda Jawa Timur, KPU berpatron kecil dengan KPUD serta KPUD memiliki klien yakni Pasangan Kar-Sa yang merupakan salah satu kandidat peserta Pilkada Jawa Timur.

Seorang klien akan dikeluarkan oleh patron dari kelompok patron-klien bila klien tersebut ia anggap tidak lagi setia atau loyal atau tidak lagi memberikan dukungan dan bantuan kepada patron. Oleh sebab itu terjadilah pencopotan Irjen. Pol.Herman Surjadi Sumawiredja dari Kapolda oleh Kapolri Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri. Ini menunjukan patron-klien-piramida, Presiden sebagai patron tertinggi dimana perintah Presiden kepada Kapolri (patron kecil) untuk menyelesaikan kasus tersebut, dan Irjen Pol. Herman Surjadiwiredja sebagai klien. karena menjadikan Ketua KPUD Jawa Timur sebagai tersangka, sehingga Herman di copot dari Kapolda dengan alasan Pensiun, status tersangka ketua KPUD Jatim diturunkan dari tersangka menjadi saksi, Herman lalu kecewa dan memilih mundur sebagai anggota Polri . Jika diteliti lebih lanjut posisi Herman untuk membeberkan masalah intervensi Kapolri terhadap kasus Pilkada Jatim, didukung sejumlah perwira, terutama yang satu lulusan dengannya, yakni angkatan 1975 atau perwira menengah (pamen), tetapi itu saja tidak kuat karena Kapolri didukung para jenderal, terutama yang satu angkatan dengan Kapolri BHD juga presiden.

Hal ini membuat jajaran Polri kebakaran jenggot karena harus mempertanggung jawabkan permasalahan ini kepada patron tertinggi yakni presiden, sehingga pada tanggal 20 Maret 2009 Kapolri mengumpulkan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pilkada Jatim, mereka yang diundang adalah ketua KPU Abdul Anshary beserta jajarannya, ketua KPUD Sampang Abu Ahmad Dhofier Syah, ketua KPUD Bangkalan Jazuli Nur, ketua Panwaslu Jatim Sri Sugeng Pujiatmoko, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jatim Made Suratmadja dan seluruh jajaran Polri hadir, sebut saja Kapolda Jatim Birgjen Pol. Anton Bachrul Alam yang didampingi Dirserse dan Dir Intel dan Kapolri sendiri tampil full team bersama Wakapolri Komjen Pol. Makbul Padmanegara, Kabareskim Komjen Pol. Susno Duadji, Kadiv. Humas Irjen. Pol. Abubakar Nataprawira, Irwasum Komjen Pol. Yusuf Manggabarani dan beberapa pejabat Polri.

Ini menunjukan bahwa teori patron-klien benar-benar tercermin karena Kapolri harus mempertanggung jawabkan permasalahan ini kepada patron tetinggi yakni Presiden, sehingga semua all out untuk menyelesaikan permasalahan ini, seyogyanya jika masalah DPT maka KPU yang berhak mengundang semua elemen untuk menjelaskan karena DPT merupakan ranah dan tugas KPU bukan masalah Kepolisian. Tugas polisi sebaiknya menindaklanjuti laporan tentang polemik daftar pemilih tetap. Sebenarnya Kepolisian berusaha untuk mencuci tangan atas kesalahan yang telah di buat dan melaksanakan apa yang di perintahkan Presiden, yang menarik adalah pasca pertemuan semua panwaslu yang hadir dalam acara tersebut terasa tidak berdaya lagi untuk menegakkan kebenaran, hal ini merupakan formula-formula politik yang diterapkan untuk mengamankan kekuasaannya.


Tidak dapat di pungkiri bahwa Kapolri tunduk dan taat kepada Presiden karena Kapolri merupakan jabatan birokrasi dimana jabatan tersebut dipilih oleh Presiden dengan meminta persetujuan wakil rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian bahwa ada domain kekuasaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya atas orang yang dipilih untuk menjabat posisi tertentu, sudah barang tentu orang yang di tunjuk untuk menjabat sebuah posisi pejabat birokrasi harus loyal kepada Presiden. Hal ini merupakan persoalan klasik yang kembali di ungkapkan oleh Miftah Thoha, bahwa dalam hubungan seperti ini timbul persoalan siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin, dan mendominasi siapa.
Sebaiknya pejabat birokrasi atau lembaga pemerintah harus bekerja secara professional tanpa ada intervensi dari pribadi atau patron lebih tinggi. Tak dapat di pungkiri bahwa penunjukan atau pemilihan nama sudah melalui deal-deal atau kesepakatan-kesepakatan tertentu sehingga tidak dapat disangkal bahwa patron-klien tetap terpelihara atau kompromi harus dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dengan formula-formula politik seperti yang dituliskan diatas bahwa Kapolri yang mengundang KPU dan Panwaslu ini menunjukan bahwa perilaku orde baru kembali hadir dimana kuatnya dominasi negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan masyarakat serta melaksanakan politik penyingkiran secara paksa, Hal ini dapat menghadirkan persepsi bahwa lembaga kepolisian sebagai pengabsah keputusan dan keinginan presiden.

Oleh Yoyarib Mau/ Mahasisa Ilmu Politik Universitas Indonesia/ NPM - 0806383314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar