Rabu, 24 Juni 2009

"Budaya Mempengaruhi Karakter Politik"

“Feodalisme, Alam Gaib dan Modernisasi sebagai Karakter Politik ”
*Yoyarib Mau

Budaya adalah kependekan kata dari kebudayaan yang memiliki arti “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.” dengan demikian bahwa budaya adalah hasil interaksi social antara manusia yang menghasilkan tindakan atau konsep tertentu yang terjadi setiap waktu yang kemudian manusia menyimpulkan perilaku atau tindakan ini menjadi sebuah gagasan atau konsep yang baku. Pada dasarnya budaya adalah hasil perilaku manusia yang terus menerus di dilakukan dan menjadi kebenaran mutlak bagi komuniatas atau masyarakat yang menjalaninya.

Budaya setiap komunitas masyarakat tidak selamanya sama ada factor pembeda yang sangat di pengaruhi oleh factor alam atau letak geografis serta rutinitas keseharian dan termasuk juga agama. Budaya itu menjadi bagian yang melekat pada kehidupan masyarakat, bahkan budaya tersebut menjadi stigma bagi kelompok, suku atau agama tertentu yang dinyakininya.

Yang menjadi permasalahannya, budaya hadir dan terkadang semuanya itu di serap dan di telan mentah-mentah oleh masyarakat tanpa melalui proses atau mekanisme formal di tengah masyarakat untuk membedakan mana yang layak dan mana yang tidak boleh tidak.

Pembahasan mencoba mengulas peranan budaya dalam kehidupan manusia, dimana budaya dapat memberikan efek yang baik bagi kehidupan manusia apabila budaya tersebut digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi terkadang ada gagasan budaya yang ada dalam masyarakat memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan masyarakat bahkan menyebabkan masyarakat di perbudak oleh budaya tesebut.

Bagaimana manusia memandang dan menggunakan budaya itu dalam kehidupan kesehariannya? Demi sebuah harapan guna tidak dengan mudah masyarakat mengcopi budaya yang telah mengalami pencampuran dengan teknologi dan peradaban yang telah maju, dan juga masyarakat tidak menagalami ketertinggalan yang diakibatkan merasa alergi dengan kemajuan teknologi perlu adanya internalisasi budaya dalam institusi keluarga, masyarakat ataupun agama sehingga budaya tersebut dapat di pakai atau di manfaatkan untuk kehidupan manusia. Budaya dalam pembahasan ini hanya di batasi pada modernisasi dan dampaknya bagi manusia Indonesia.

Ada beberapa teori yang dapat di gunakan menjadi pembanding dalam penulisan ini yakni Teori Modernisasi yakni teori yang menganggap bahwa penyebab keterbelakangan suatu negara adalah factor internal. Factor internal yang di maksud di sini adalah manusianya dimana sangat berhubungan dengan gagasan dan perilaku yang dimiliki oleh manusia yang mempengaruhi terhadap kinerja dan kehidupan manusia.

Teori yang berikut adalah Teori ketergantungan teori ini adalah antithesis dari teori sebelumnya, teori ketergantungan adalah “suatu teori yang muncul atas dasar penolakan terhadap teori modernisasi, berbeda dengan para penganut teori modernisasi yang beranggapan bahwa penyebab terbelakangnya suatu negara adalah di sebabkan factor-faktor internal para penganut teori ketergantungan menganggap bahwa penyebab terjadinya keterbelakangan suatu negara justru di karenakan “campur tangan” dari pihak asing.” Ketergantungan disini adalah manusia mengalami ketergantungan pada dunia luar atau intervensi asing sebagai penentu kemajuan (neoliberalisme)

Teori ini dapat di gunakan guna menolong memahami pembahasan ini sehingga dapat memetakan permasalahan budaya yang menghambat dan budaya yang memberikan dampak positif serta konsep ke depan dengan berbagai pertimbangan terutama pemikiran Alex Inkeles, untuk Negara Indonesia yang sangat multicultur

Budaya Primitife (Alam Gaib) – Jalan Pintas

Alam gaib masih menjadi tempat bahkan perhatian masyarakat, berdialog dengan alam untuk mendapatkan magic, bahkan melakukannya dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi, kekuatan fisik untuk menjadi sakti. Hal ini menghasilkan budaya instant dan tidak mau bekerja mengolah alam yang telah di berikan oleh Sang Pencipta, padahal pengetahuan telah hadir di tengah peradaban baru dimana penguasaan akan teknologi yang dapat menentukan kemajuan bangsa, namun hal supranatural sebenarnya telah di patahkan oleh hadirnya Agama dimana kekuasaan alam ada dalam pengusaan Sang Pencipta, sehingga agama yang di anut sebenarnya mengarahkan manusia atau umat untuk tidak memikirkan akhirat saja tetapi bagaimana menghadirkan suasana akhirat itu di bumi. Etika Protestan yang dilahirkan Max Weber “hanyalah orang sukses bekerja di dunialah yang menjadi penghuni surga” maksudnya nilai-nilai agama ini di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak mencari sesuatu dengan tidak di terima oleh rasio namun pemikiran agama mengalami pertarungan dengan kekusaan yang diperoleh dari alam gaib.

Tahapan perkembangan ini menghasilkan orang-orang sakti yang berperan sebagai penguasa di wilayah-wilayah tertentu dan bahkan melegenda dalam kehidupan masyarakat, seperti; Si Pitung, Jaka Tengkir di Jawa dan lainya, namun budaya ini lebih pada pertarungan Hukum Rimba/alam siapa yang kuat dialah yang berkuasa akhirnya tercipta budaya kekerasan dimana sesorang yang berkuasa atau sakti semua orang akan tunduk kepadanya jika tidak tunduk maka akan di bantai sehingg tercipta budaya tunduk dan setia karena tekanan (pressure), alam demokrasi tidak memberikan ruang bagi pola atau karakter budaya seperti ini, namun kelihatannya “track record” dari para politisi kita banyak yang memiliki atau di besarkan dari budaya ini sehingga sebaiknya rakyat memiliki kepekaan dan pengetahuan yang cukup untuk mampu memilih pemimpinnya.

Budaya Feodalisme – Harap Gampang

Budaya feodal hadir akibat pewarisan dan perlakukan khusus penjajah (colonial) bagi raja-raja kerajaan wilayah nusantara, dimana penjajah membangun hubungan dengan raja dengan berbagai perjanjian tertentu dan seluruh hasil bumi harus ada penyerahan upeti kepada raja, dari pemikiran ini menghasilkan batasan-batasan cultural yang sangat menghambat akses masyarakat terhadap peradaban, suara raja mewakili keseluruhan rakyat.
Dalam bidang Pendidikan Belanda dengan politik etisnya hanya memberikan akses pendidikan bagi kaum ningrat atau turunan raja dan tidak semua masyarakat di berikan kesempatan untuk menikmati pembangunan yang memberikan kemajuan, karena pendidikan yang dapat memberikan kemajuan karena pendidikan yang mampu memberikan kemampuan kreatif atau inovatif. Namun budaya feodal mengental dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah mereka yang dapat memberikan perubahan adalah turunan ningrat, darah biru, dan juga memiliki postur tubuh yang ganteng dan berperawakan besar semua hal ini hampir di miliki oleh pra penguasa feodal ( Tokoh Gajah Mada).

Pemikiran ini memasung dan mematahkan kaum kecil atau rakyat untuk memberikan sumbangsih bagi pembangunan, karena Pembangunan ada karena tersedianya Sumber Daya Manusia yang memadai. Budaya ini sangat mengental dalam proses perekrutan dan keikutsertaan mereka dalam perpolitikan Indonesia, mereka adalah anak dari bangsawan atau anak raja (konteks nusantara) ataupun pejabat tinggi Negara mulai dari anak President seperti, Edi Baskoro anak SBY yang maju lewat Partai Demokrat, Puan Maharani anak Megawati maju lewat PDIP. Dan juga alat elit-elit politik senior yang sedangk berkuasa seperti Maruarar Sirait anak Sabam Sirait dan lainnya.

Dan tidak hanya di tingkat pusat tetapi di daerah, sejumlah anak mantan Pejabat di daerah seperti di Kalimantan Tengah dimana keluarga Gubernur Teras Narang hampir semuanya menjadi anggota legislative, mereka menang karena kekuatan birokrasi dan lembaga yang dipimpin oleh bapak, Ibu nya, pengetahuan minim dan apakah mereka lantang untuk menyeruakan kepentingan rakyat, apa yang akan mereka kerjakan di parlement? Apalagi umur yang belum matang seperti anak Gubernur Kalimantan Barat Karolin Margaret Natasa yang baru berusia 26 tahun lolos sebagai Anggota DPR RI terpilih mampukah mereka berargumen untuk memperjuangakan kepentingan rakyat serta mampu melaksanakan fungsi legislasi dan pengawasan serta control terhadap pemerintah atau sebaliknya hanya melakukan peran kompromistis.

Masa Otonomi Daerah ini pun kekuasaan Feodal kembali tampil karena mereka mampu memobilisasi diri sebagai penguasa local yang perlu mendapatkan perlakuan khusus, dan tercermin dalam pemerintahan Bupati atau Gubernur di daerah investor yang akan melakukan penanaman modal di daerah untuk mendapatkan surat ijin maka Investor tersebut harus menyerahkan sejumlah uang sebagai bentuk upeti dengan demikian jika hal ini terus sipertahankan maka para Investor akan meninggalkan Indonesia.

Budaya digit remote control - modernisasi

Membiaknya mesin-mesin kecepatan tombol speed, dial pada telephone, remote control, handphone, electric digital diary. Semua ini untuk meningkatkan profesionalisme dan makna kehidupan karena barang siap pakai dan memberikan dampak melakukan segala sesuatu dengan cepat, bekerja cepat, bicara cepat, menonton cepat, bisnis cepat semuanya serba cepat tanpa di batasi oleh ruang waktu. Kemajuan ini membuat manusia untuk dapat menghargai waktu dan berorientasi ke depan. Apabila tidak menguasai teknologi maka tidak dapat melakukan apa-apa karena untuk mengoperasikannya perlu kemampuan intelektual atau keahlian. Barack Obama President Amerika terpilih karena mampu memanfaatkan kemajuan teknologi dengan media sosialisasi terkini yakni Friendster, Facebook bahkan mereka memakai tim kerja yang khusus menangani website serta blog yang khusus untuk memperkenalkan dirinya, bahkan saat pemilu legislative yang telah berlalu kebanyakan para politisi berusaha untuk memanfaatkan media – media ini semaksimal mungin

Semua masyarakat memiliki budaya tersendiri untuk mengembangkan diri serta mencapai kepentingannya dengan memilih budaya mana yang tepat untuk bisa mencapai keinginan atau target yang akan dicapai. Menjadi persoalan apakah budaya ini menjadi kebutuhan dan milik pribadi-pribadi tertentu yang memiliki akses dan kemudahan untuk mendapatkan semua ini dan mereka yang tidak memiliki kesempatan dalam hal rakyat hanya menjadi sapi perahan atau sapi yang bisa di beli dengan sejumlah uang?

Tanggung jawab Negara untuk mencerdaskan masyarakat untuk berkompetensi dengan demikian maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan yakni membudayakan penghargaan (reward) kepada orang lain dengan menghargai hasil karya sesorang dalam segala bidang. Kebanyakan yang dilakukan selama ini hanya menghukum mereka yang salah (sanksi) dengan demikian mematahkan semangat serta mengkerdilkan naluri inovasi dalam diri. Akhirnya tercipta kecenderungan untuk bertahan hidup, tetapi tidak membudayakan penghargaan kepada mereka yang berkarya atau menghasilkan sesuatu karya melalui perjuangan dan kemampuan yang dimiliki.

Jika hal ini di lakukan bagi setiap orang maka dapat menghasilkan atau menciptkan etnerpreunership-eterpreneurship baru yang terus berinovasi dan berkreasi menghasilkan temuan-temuan baru dan bukan menghasilkan pemimpin yng karena kesaktian karena pengaruh alam gaib ataupun karena citra turunan raja atau pengusa orde baru ataupun pejabat Negara yang berkuasa. Sebaiknya pemerintah menciptakan ruang bagi semua orang guna berlomba untuk mendapatkan award yang di tawarkan atau di sediakan dan tercipta kompetisi-kompetisi yang sehat untuk kemajuan bersama dengan kompetisi ini membangun rasa percaya diri bangsa dengan mengikuti perkembangan dunia luar (baru sebatas bidang musik dan perfilman) dan tidak bergantung kepada negara asing serta mampu menciptkan profesionalisme dan lapangan kerja yang terbuka luas. Sehingga harapan terbesar adalah para capres- cawapres yang kita harapkan adalah pasangan yang mampu mengembangkan budaya masyarakat Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan jaman, Pengembangan Budaya yang benar akan mampu menghadirkan anak-anak bangsa yang mampu membangun ekonomi dan kemajuan bangsa Indonesia. Seperti apa yang di katakan the founding father kita Soekarno dengan konsep Berdikari (Berdiri diatas Kaki Sendiri).
Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI / NPM : 0806383314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar