“DIMANAKAH ENGKAU”?
(refleksi sosio-teologis terhadap aliran “Sion Kota Allak”
*Yoyarib Mau
Hadirnya aliran sesat di Kota Kupang membuat semua pihak terperangah dan tidak pernah menyangka bahwa akan hadir aliran sesat dalam gereja, terkuaknya aliran ini ketika Kepolisian Resot Kota Kupang (Polresta) Kupang ketika menahan pimpinan aliarana ini. Padahal dalam sejarah Gereja banyak aliran-aliran yang muncul akibat penafsiran secara harfiah terhadap ayat-ayat suci. Aliran sesat ini membentuk diri melalui kelompok Persekutuan Doa dengan nama “Sion Kota Allah” pimpinan Nimbrot Lasbau. Ajaran aliran ini menekankan beberapa hal (Antara News 1-06-2009) yang dianjurkan oleh pimpinan aliran ini, seperti ;(refleksi sosio-teologis terhadap aliran “Sion Kota Allak”
*Yoyarib Mau
a. tidak boleh ke gereja, para pengikut
b. diberi nama baru sesuai nama-nama nabi dan imam besar yang ada dalam Kitab Suci Agama Kristen (Alkitab)
c. tidak boleh melayat ke tempat duka karena dalam pandangan mereka biarlah orang mati mengurus orang mati, bukan orang hidup mengurus orang mati.
d. Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh Gereja Masehi di Timor (GMIT) menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran agama, karena roti dan anggur hanya di gunakan sebagai lambang menurut Nimbrot roti yang digunakan harus “roti sahabat”.
e. Menganggab pemberkatan nikah di gereja juga dianggab tidak tepat, karena gereja digunakan sebagai tempat ibadah, bukan untuk kegiatan lainnya.
f. Menggunakan jubah saat ibadah.
Bentuk penekanan ajaran ini terkesan berdasarkan penafsiran yang harfiah, dan pembedaan ritual ibadah yang di lakukan gereja masa kini, mereka memiliki kecenderungan untuk menjalankan apa yang ada dalam “perjanjian lama” (bagian tertentu dari Alkitab) dengan ritual tertentu sebagai ke-khas-an nya. Aliran ini sejak hadir ke public lewat media massa menyebabkan banyak perhatian baik di internal GMIT karena sebgaian pengikut dan pemimpinan aliran ini masih tercatat di GMIT Jemaat Rehobot Bakunase, Pemerintah Daerah, bahkan warga GMIT maupun simpatisan GMIT yang tersebar di seluruh Indonesia karena masalah ini menjadi pergumulan Gereja sepanjang segala abad.
Dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas penulis tidak akan berdebat tentang ajaran dan dokrin yang diyakini para penganut dan dikomparatifkan dengan doktrin yang berlaku umum di Gereja (GMIT) tetapi pembahasan ini lebih pada masalah “social responsifnes” dimana lingkungan masyarakat tempat Persekutuan Doa “Sion Kota Alak” ini ada. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar yakni “siapakah yang bertanggung jawab atas hadirnya aliran ini?” Sepertinya Nimbrot dicebir dan dianggab sebagai biang kerok hadirnya aliran ini seandainya dia tidak dibawah perlindungan pihak polisi sudah barang tentu Ia dan para pengikutnya di hakimi massa, Karena dianggab meresahkan masyarakat.
Sebelum kita masuk dalam pembahasan pertanyaan tentang siapakah yang bertanggung jawab atas hadirnya aliran ini, sesuai dengan judul tulisan diatas “dimanakah engkau? Dikutip dari AlKitab Kejadian 3 : 9 Saat manusia jatuh ke dalam dosa dan bersembunyi terhadap Tuhan di pohon-pohonan dalam taman Eden. Adam di tempatkan sebagai penanggung jawab utama dengan “hak dan kewajiban” mengusahakan dan memelihara taman itu (Kejadian 2 :16-17) ada hak dan kewajiban diwariskan kepada Adam yang dapat kita sebut sebagai Pelayan Pertama dimuka bumi, namun dalam perjalanan Adam lalai bahkan lengah dengan melakukan pembiaran terhadap Hawa, penolong yang ditempatkan bagi Adam.
Konteks Adam di taman Eden dapat memberikan alasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan dalam pembahasan ini siapakah yang betanggung jawab? Jika dilihat dari komunitas aliaran ini maka mereka berada dalam sebuah struktur social dimana dapat dilihat dari salah satu penekanan ajaran ini yakni Perjamuan Kudus yang dilakukan GMIT (Gereja Masehi Injil di Timor) tidak sesuai dengan ajaran agama.
GMIT adalah salah satu organisasi keagamaan yang melakukan pelayananan dan penggembalaan spiritual di wilayah Nusa Tenggara Timur. Sehingga GMIT adalah salah satu stuktur social yang memiliki hak dan kewajiban atas jemaat pelayanannya.
Pada prinsipnya struktur social merupakan bentuk stratifikasi masyarakat atau stratifikasi social. Menurut Soekanto Soerjono (1987 - Rajawali) terdapat 2 unsur dari terbentuknya suatu stratifikasi social yaitu: Pertama adalah kedudukan social, yaitu tempat seseorang secara umum dalam masyarakat terkait dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak serta kewajibannya, Kedua adalah peranan, yaitu suatu aspek dinamis dari kedudukannya. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukan, maka orang tersebut telah menjalankan suatu peranan. Seandainya GMIT sebagai lembaga social maka GMIT merupakan salah satu unsur social dalam struktur social, secara langsung bertanggung jawab atas hak dan kewajibanya dalam pelayanan kepada umat sehingga dalam kedudukan social terendah GMIT Jemaat Rehobot Bakunase yang di gembalai oleh seorang “Pendeta” dengan memiliki sejumlah hak dan kewajiban dalam menjalankan peranannya bertanggung jawab penuh terhadap adanya aliran ini.
Seandainya Pendeta dalam menjalankan peranannya sebagai “gembala” (pemimpin) perlu mengetahui keadaan spiritual “jemaat” (anggotanya) dan tidak membiarkan mereka berkembang sendiri, tanpa ada control wewenang, kekuasaan yang di berikan penuh untuk melakukan pemberdayaan seandainya hal ini dilakukan dengan benar maka tidak akan hadir aliran seperti ini.
Faktor kegagalan peranan Pendeta guna melakukan peranannya bisa saja diperdaya oleh beberapa unsur seperti terciptanya “pelapisan masyarakat” dimana warga gereja di masukan dalam stratum tertentu dengan polarisasi jemaat dalam kelas-kelas seperti kedudukan rendah dan tinggi (hierarki feodal), kaya- miskin, berpendidikan dan tidak berpendidikan. Seandainya Pendeta mampu mengusahakan dan mengelola kewajibannya dengan penuh kreatif dan improvisasi pelayanan yang baik dengan memperhatikan dimensi-dimensi pelapisan masyarakat ini maka tidak akan terjadi “penafsiran yang salah akan ritual keagamaan”
Hal lain yang seharusnya turut menentukan adalah hak Pendeta yang tidak terpenuhi “kondisi ekonomi”, Gembala sibuk melakukan kegiatan lain diluar kewajiban utamanya yakni berbisnis guna menutupi kebutuhan hidupnya, atau menyibukan diri dengan memberikan dukungan politik kepada calon anggota legislative tertentu dengan “pola dagang sapi” sehingga Jemaat tersesat dengan melakukan penafsiran sendiri atas kebenaran-kebenaran kitab suci tanpa ada bimbingan atau tuntunan dari “gembala” (pendeta).
Jemaat yang akhirnya tersesat dan terjebak dalam proses pemahamannya membuat mereka menentukan bahwa apa yang dipahami adalah sebuah “kebenaran” ? membuat komunitas “Sion Kota Allah” terpojok dan dikucilkan dari masyarakat. Seandainya suara Tuhan memanggil “Dimanakah Engkau?” kepada seluruh struktur social yang ada dalam lembaga GMIT maka semua akan mencari kambing hitam untuk melempar tanggung jawab, bisa saja kambing hitamnya adalah lembaga bentukan yang dibentuk oleh Sinode GMIT untuk memfasilitasi Persekutuan-Persekutuan Doa, atau sebagai penanggung jawab tertinggi yakni Majelis Sinode namun mungkin saja mereka menjawab kami sedang ke luar negeri Kampen (Belanda) untuk mencari dukungan dana Pensiun bagi para Pendeta yang melakukan penggembalaan di GMIT. Akhirnya pertanyaan “Dimanakah Engkau” hanya dapat ditanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik - Politik Indonesia - FISIP - UI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar