“PRITA MULYASARI KEBEBASANNYA DIRENGGUT NEGARA”
*Yoyarib Mau
*Yoyarib Mau
Kasus Prita Mulyasari (32) yang di jerat dengan Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Thn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU - ITE) yang berbnunyi; “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yan memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”
Bunyi Undang-Undang ini menjerat Ibu dua anak ini serasa membuat dirinya terserabut dari kebahagian keluarganya dan tidak sesuai lagi dari maksud awalnya yakni ingin mencari bantuan serta merasa ketidakberesan yang di perlakukan RS. Omni saat dirinya masuk UGD pada tanggal 07 Agustus 2008, dirinya merasa ada keganjilan yang dilakukan oleh pihak RS. Omni terhadap perawatan dirinya yakni akibat ada beda informasi mengenai hasil tes laboratorium saat dirawat disana, dirinya mengalami bengkak di tangan, muka, dan mata, dan tidak sembuh setelah dirawat empat hari (Kompas 03 Juni 2009), keluhan ini membuat dirinya berharap hal ini dapat diketahui oleh teman-temannya, keluhan itu ia layangkan melalui email kepada sejumlah temannya.
Keluhan Prita yang semula untuk mengungkapkan kekesalan atas keteledoran pihak rumah sakit terhadap dirinya malah menuai bencana dimana dirinya harus dirumahkan di LP. Wanita Tanggerang derita ini ibarat pepatah kuno “sudah jatuh tertimpa tangga pula” proses hukum harus dialalui oleh wanita ini sebagai tergugat hingga harus masuk tahanan kejaksaaan pada tanggal 13 Mei 2009, menarik untuk disimak tatkala proses peradilan berlangsung sepertinya sepi dari perhatian publik, para wakil rakyat bahkan pemerintah sekalipun namun jelang masa kampanye pemilu president, para kandidat berebut untuk memberikan perhatian terhadap permasalahan Prita seolah-olah, mereka prihatin dan peduli terhadap derita yang di alami oleh san Ibu ini.
Para kandidat untuk memberikan pernyataan di media, JK mendesak kepolisian tidak langsung memenjarakan orang hanya karena e-mail dan gossip saja” , berbeda dengan Megawati yang mengunjungi LP. Wanita Tanggerang menurut Megawati, jika memang pasal-pasal dalam UU ITE itu melekat dengan hak-hak warga Negara, UU itu harus di revisi. Sedangkan berbeda dengan incumbent SBY dimana UU ITE disahkan dan ditanda tangani oleh dirinya saat sore harinya beliau, meminta kepada aparat penegak hukum tetap menggunakan hati nurani dan rasa keadilan sehingga keduanya dapat seimbang (Kompas, 04 Juni 2009). Pendapat dari para kandidat seolah-olah memberikan kepedulian dan rasa ibanya seolah-olah berperan seperti cerita dalam Injil dimana “tokoh Pilatus memutuskan hukuman bahwa Yesus bersalah, dan mencuci tangan nya pertanda dia tidak bertanggung jawab atas dosa Orang ini” ia hanya melakukan tugas seremonial sebagai pejabat Negara dan memutuskan perkara tetapi dosa di lemparkan kepada ornag lain.
Apa mau dikata “Nasi telah menjadi Bubur” proses hukum telah di jalani dengan berbagai beban yang harus dipikul yakni beban moril, social, material, psikologis oleh dirinya, suami dan kedua anakanya. Menjadi pertanyaan yang perlu kita pahami bersama, siapakah yang harus bertanggung jawab atas permasalahan hukum ini? Jika di tilik dengan seksama permasalahan ini mengalami berbagai pertentangan diantara produk hukum yang ada dalam Negara ini. Pihak Kepolisian dalam hal ini POLDA Metro Jaya menerima laporan dari Rs. Omni dengan pasal pencemaran nama baik, dan proses berlanjut dimana berkas-berkas penyilidikan di lanjutkan ke Kejari Tanggerang, pada dasarnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan merasa benar dalam menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan permasalahan ini kemungkinan dengan beralasan bahwa proses ini berdasar pada produk hukum yang di hasilkan oleh pemerintah.
Dalam era demokrasi kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu variabel penentu di mana deomokrasi telah mengalami perkembangan dengan baik selanjutnya dasar Negara juga turut menjamin, dalam Pancasila diamana dalam Sila Ke 5 bahwa “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD 1945 Pasal 28 Ayat 2 “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran,dan sikap, sesuai dengan hati nurani”, sedangkan Prita Mulyasari didakwa karena dianggap melanggar Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Jika Prita didakwa dengan pasal-pasal tersebut maka perlu di ketahui bahwa ada hal lain yang perlu diperhatikan bahwa hukum ketatanegaraan Indonesia menganut Teori Berjanjang (Stufen Teori) dari Hans Kelsen;
teori ini mengandung ajaran-ajaran sbb:
a. Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada di atasnya (dari bawah ke atas) atau,
b. Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada di bawah nya (dari atas ke bawah)
c. Secara acak diambil dua norma saja, bisa dari bawah bisa dari atas atau dari atas ke bawah.
Susunan Teori berjenjang seperti ini:
PancalisaBunyi Undang-Undang ini menjerat Ibu dua anak ini serasa membuat dirinya terserabut dari kebahagian keluarganya dan tidak sesuai lagi dari maksud awalnya yakni ingin mencari bantuan serta merasa ketidakberesan yang di perlakukan RS. Omni saat dirinya masuk UGD pada tanggal 07 Agustus 2008, dirinya merasa ada keganjilan yang dilakukan oleh pihak RS. Omni terhadap perawatan dirinya yakni akibat ada beda informasi mengenai hasil tes laboratorium saat dirawat disana, dirinya mengalami bengkak di tangan, muka, dan mata, dan tidak sembuh setelah dirawat empat hari (Kompas 03 Juni 2009), keluhan ini membuat dirinya berharap hal ini dapat diketahui oleh teman-temannya, keluhan itu ia layangkan melalui email kepada sejumlah temannya.
Keluhan Prita yang semula untuk mengungkapkan kekesalan atas keteledoran pihak rumah sakit terhadap dirinya malah menuai bencana dimana dirinya harus dirumahkan di LP. Wanita Tanggerang derita ini ibarat pepatah kuno “sudah jatuh tertimpa tangga pula” proses hukum harus dialalui oleh wanita ini sebagai tergugat hingga harus masuk tahanan kejaksaaan pada tanggal 13 Mei 2009, menarik untuk disimak tatkala proses peradilan berlangsung sepertinya sepi dari perhatian publik, para wakil rakyat bahkan pemerintah sekalipun namun jelang masa kampanye pemilu president, para kandidat berebut untuk memberikan perhatian terhadap permasalahan Prita seolah-olah, mereka prihatin dan peduli terhadap derita yang di alami oleh san Ibu ini.
Para kandidat untuk memberikan pernyataan di media, JK mendesak kepolisian tidak langsung memenjarakan orang hanya karena e-mail dan gossip saja” , berbeda dengan Megawati yang mengunjungi LP. Wanita Tanggerang menurut Megawati, jika memang pasal-pasal dalam UU ITE itu melekat dengan hak-hak warga Negara, UU itu harus di revisi. Sedangkan berbeda dengan incumbent SBY dimana UU ITE disahkan dan ditanda tangani oleh dirinya saat sore harinya beliau, meminta kepada aparat penegak hukum tetap menggunakan hati nurani dan rasa keadilan sehingga keduanya dapat seimbang (Kompas, 04 Juni 2009). Pendapat dari para kandidat seolah-olah memberikan kepedulian dan rasa ibanya seolah-olah berperan seperti cerita dalam Injil dimana “tokoh Pilatus memutuskan hukuman bahwa Yesus bersalah, dan mencuci tangan nya pertanda dia tidak bertanggung jawab atas dosa Orang ini” ia hanya melakukan tugas seremonial sebagai pejabat Negara dan memutuskan perkara tetapi dosa di lemparkan kepada ornag lain.
Apa mau dikata “Nasi telah menjadi Bubur” proses hukum telah di jalani dengan berbagai beban yang harus dipikul yakni beban moril, social, material, psikologis oleh dirinya, suami dan kedua anakanya. Menjadi pertanyaan yang perlu kita pahami bersama, siapakah yang harus bertanggung jawab atas permasalahan hukum ini? Jika di tilik dengan seksama permasalahan ini mengalami berbagai pertentangan diantara produk hukum yang ada dalam Negara ini. Pihak Kepolisian dalam hal ini POLDA Metro Jaya menerima laporan dari Rs. Omni dengan pasal pencemaran nama baik, dan proses berlanjut dimana berkas-berkas penyilidikan di lanjutkan ke Kejari Tanggerang, pada dasarnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan merasa benar dalam menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan permasalahan ini kemungkinan dengan beralasan bahwa proses ini berdasar pada produk hukum yang di hasilkan oleh pemerintah.
Dalam era demokrasi kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu variabel penentu di mana deomokrasi telah mengalami perkembangan dengan baik selanjutnya dasar Negara juga turut menjamin, dalam Pancasila diamana dalam Sila Ke 5 bahwa “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD 1945 Pasal 28 Ayat 2 “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran,dan sikap, sesuai dengan hati nurani”, sedangkan Prita Mulyasari didakwa karena dianggap melanggar Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Jika Prita didakwa dengan pasal-pasal tersebut maka perlu di ketahui bahwa ada hal lain yang perlu diperhatikan bahwa hukum ketatanegaraan Indonesia menganut Teori Berjanjang (Stufen Teori) dari Hans Kelsen;
teori ini mengandung ajaran-ajaran sbb:
a. Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada di atasnya (dari bawah ke atas) atau,
b. Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada di bawah nya (dari atas ke bawah)
c. Secara acak diambil dua norma saja, bisa dari bawah bisa dari atas atau dari atas ke bawah.
Susunan Teori berjenjang seperti ini:
UUD 1945
Ketetapan-Ketetapan MPR
Undang/Undang Perpu
Peraturan Pemerintah
Peraturan Daerah
Oleh karena itu melihat jenjang teori ini bahwa produk hokum atau kaidah hokum yang di pakai oleh Kejati untuk menjerat Prita harus sesuai dengan dasar berlakunya suatu kaidah atau produk hukum yang ada di atasnya.dan teori menganut asas hukum yakni “lex superiori derogat lex inferiori” (hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya).
Dari hierarki di urutan jenjang di atas jelas bahwa dua pasal yang di tujukan yakni KUHP Pasal 310 dan UU ITE Pasal 27 merupakan perundang-undangan yang paling bawah, sehingga dengan sendirinya keberadaanya tidak boleh bertentangn dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Meskipun Pancasila tidak di sebutkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan namun Pancasila adalah norma dasar hokum di Indonesia harus di jadikan acuan utama dalam membuat Undang-Undang.
Menkoinfo perlu bertanggung jawab sebagi eksekutif yang mengajukan rancangan draft Undang-undang ini ke DPR RI, di tambah lagi dengan peran DPR RI yang bertanggung jawab untuk melakukan kajian dan pengesahan atas Undang-Undang ini sehingga dengan mudah UU ITE dapat di gunakan sebagi penafsiran hukum oleh Rs. Omni untuk menjerat Prita Mulyasari, sehingga Iwan Fals menggkritik DPR bahwa mereka hanyalah “Paduan Suara” yang hanya mensahkan dan menyayikan kata sepakat atas produk hukum.
Penentu tertinggi atas hadirnya sebuah UU adalah President karena yang menanda tangani untuk menyepakati rancangan undang-undang ini menjadi Undang-Undang padahal banyak pihak memprotes pasal-pasal yang perlu di revisi karena melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) namun tidak di gubris karena menyangkut nama baik nya sebagai representasi Partai pemerintah dan Pemerintahan yang berkuasa dianggab tidak kapabel sehingga mencuci tangan bahw ayang bertanggung jawab adalah Kepolisian dn pihak Kejaksaan.
Sehingga semua kandidat President yang akan maju dalam pemilu president 2009 bertanggung jawab dan perlu memohon maaf terhadap korban karena mereka semua bertanggung jawab atas UU ITE, karena dua dari mereka tidak serta merta menanda tangani tetapi sebagai representasi Partai Politik yakni GOLKAR dan PDIP yang paling banyak anggota DPR RI sebagai wakil rakyat sehingga, dengan demikian tidak salah jika dapat di simpulkan bahwa Pemerintahlah yang menyebabkan adanya tangisan, merenggut dan memenjarakan Prita Mulyasari.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar